Tangerang Selatan, (variabanten.com)
Kasus Posisi
Bermula pada Tanggal 1 Desember 2017 klien saya ada perjanjian kerja secara lisan dengan pemberi kerja, dengan upah sebesar 3.000.000 perbulandan mendapatkan uang makan perhari sebesar 25.000. selama klien saya bekerja di kantor notaris Tintin mendapatkan kenaikan upah dari Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), menjadi Rp. 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah), namun pada awal tahun 2021 Indonesia dilanda bencana yaitu covid 19 sehingga mulai saat itu upah yang harus didaptkan oleh kelien saya mulai telat dan hanya di bayar sebagian saja tanpa persetujuan kelien saya dan tidak dijelaskan kapan akan dibayarkan sisa upah yang belum terbayarkan.
Mulai dari bulan Mei 2021 samapai bulan Februari tahun 2022 upah tidak pernah dibayarkan sesuai dengan perjanjian diawal sehingga sisa total upah yang belum dibayarkan sebesar Rp 12.750.000 (dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupah). Sekitar bulan April 2022 terjadi perubahan yang awalnya Notaris Tintin yang sudah pensiun menjadi Notaris Kurnia Yusmartina SH. M,Kn. Bahwa klien saya diperintahkan oleh Notaris Tintin untuk bekerja dikantor Kurnia Yusmartina SH. M,Kn. dengan upah Rp 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah), uang makan Rp 30.000/hari, pasa bulan November 2022 Tintin menaikan gaji klien saya sebesar Rp 5.000.000 ( lima juta ribu rupiah), lalu Notaris Kurnia Yusmartina mensetujui permintaan NotarisTintin sehingga kelien saya bekerja di kantor Notaris Yusmartina. Namun upah nya klien saya akan tetap dibayarkan oleh Notaris Tintin yang sudah pensiun.
Pada awal tahun 2023 Bula Januari sampai dengan bulan Juli 2023 klien saya hanya mendapatkan sebagian upahnya dan tidak ada kejelasan sehingga klien saya mengalami kerugian sebesar Rp 15. 000.000 ( lima belas juta ribu rupiah ), semenjak bulan Januari 2023 samapai Bulan Juli 2023. Pada tanggal 04 Agustus 2023 Klien saya diberhentikan sepihak hanya lewat chat aplikasi Whatsapp Lalu klien saya menanyakan ewat aplikasi Whatsapp mengenai sisa upah yang belum di bayarkan lalu Ibu Tintin menjawab “ minta saja ke Notaris Kurnia Yusmartina”.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana jika dimasa awal bekerja tidak memiliki perjanjian tertulis?
2. Apakah ketika di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) masih dapat uang pesangon?
Pendapat Hukum
A. Sebelum menjawab pada pertanyaan kasus posisi di atas, kita perlu memastikan status hubungan kerja dari karyawan tersebut, apakah karyawan kontrak PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau sebagai karyawan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Ini penting karena akan menentukan hak-hak karyawan dikemudian hari.
Merujuk pada ketentuan Pasal 50 dan 51 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa :
Pasal 50 berbunyi:“Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.”
– Pasal 51 ayat (1) berbunyi: “Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.”
– Pasal 51 ayat (2) berbunyi: “Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.”
Berdasarkan penjelasan Pasal di atas, bahwa Jika tidak ada perjanjian secara tertulis, maka perjanjian kerja tersebut dianggap sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Meskipun di tempat kerja memiliki kesepakatan dengan karyawan secara lisan, misalkan seperti tempat kerja meminta karyawan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan menjanjikan gaji/upah pembayarannya, hal ini sudah dapat disebut dengan perjanjian secara lisan yang mengikat. Karena pada prinsipnya telah ada kesepakatan antara pemberi keja dengan karyawan dan dianggap akan bekerja untuk si pemberi kerja selama karyawan di PHK atau mengundurkan diri sendiri.
Lain halnya jika status karyawan tersebut adalah karyawan kontrak maka, wajib hukumnya untuk dibuatkan perjanjian secara tertulis. Lebih lanjut, pada Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, menyebutkan bahwa :
– Pasal 57 ayat (1) berbunyi: “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”
Berdasarkan penjelasan Pasal di atas, wajib hukumnya untuk karyawan yang bekerja secara kontrak (PKWT) dibuatkan perjanjiannya. Jika tidak dibuatkan, maka akan hal tersebut bertentangan dengan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang menyebutkan bahwa :
– Pasal 57 ayat (2) berbunyi: “Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia”.
Dan didalam Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa :
– Pasal 63 ayat (1) berbunyi: “Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.”
– Pasal 63 ayat (2) berbunyi: “Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah”.
Berdasarkan penjelasan Pasal di atas, merupakan ketentuan pemberi kerja untuk memberikan perjanjian kerja secara tertulis kepada karyawan kontrak.
B. Jika di atas kita telah membahas mengenai perjanjian kerja tidak tertulis (lisan), maka selanjutnya kita membahas uang pesangon. Lalu bagaimana jika terjadi pemutusan hubungan kerja pada kasus di atas?
Merujuk pada Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang menyebutkan bahwa :
Pasal 40 ayat (1) berbunyi: “Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/ Buruh maka Pekerja/Buruh berhak atas:
a. uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);
b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan
c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).”
Berdasarkan penjelasan Pasal di atas, secara umum menjelaskan bahwa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak diberikan kepada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagai berikut:
-karyawan telah memasuki masa pensiun;
-karyawan mengajukan pemutusan hubungan kerja sendiri karena terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan;
– adanya pemutusan hubungan kerja masal karena perusahaan mengalami penurunan profit atau merugi.
Namun ada juga terdapat karyawan tidak mendapatkan uang pesangon, yaitu misalkan karyawan di PHK dengan telah melakukan tindak pidana menggelapkan uang perusahaan. Sebagaimana yang tercantum beberapa ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Kesimpulan
Terkait kasus posisi diatas, karyawan yang tidak memiliki aturan tertulis, maka dianggap secara hukum adalah karyawan tetap (PKWTT).
Sebagai keryawan tetap, maka seharus karyawan yang bersangkutan berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Asalkan dalam PHK nya tidak memuat karena alasan mendesak seperti contoh diatas melakukan tindak pidana penggelapan uang perusahaan. VB-Putra Trisna.