Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara.
Perlindungan yang diberikan terhadap anak harus diberikan secara menyeluruh yang terus diupayakan oleh Pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat agar tercipta suasana aman, tentram dan makmur seperti yang tersirat dalam tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia IV yakni mewujdkan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan lebih jelasnya telah diamanatkan dalam Pasal 28B ayat (2) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 bahwa :
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Pertumbuhan dan perkembangan anak amat ditentukan oleh lingkungan di sekitar anak. Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah keluarga terdiri dari ayah dan ibu yang sering dikenal sebagai orang tua. Secara umum dapat diambil pengertian bahwa orang tua atau keluarga adalah:
1. Merupakan kelompok kecil yang umumnya terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak.
2. Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana afeksi dan rasa tanggung jawab.
3. Hubungan sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan atau adopsi.
4. Umumnya orang tua berkewajiban memelihara, merawat, dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar meraka mampu mengendalikan
diri dan berjiwa social. (Nursyamsiyah Yusuf, 2000: 66).
Orang tua merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik.(Binti Maunah, 2009: 92). Untuk membuktikan telah terjadi penelantaran anak, KPAI berkoordinasi dengan aparat polsek dan polres setempat mendatangi lokasi dan ditemukan penelalantaran 5 orang anak oleh orang tua kandung, berdasarkan hasil survey dan wawancara masyarakat sekitar berupa :
Terjadi kekerasan selama bertahun – tahun dan penelantaran semenjak bulan Desember 2014 terhadap 5 orang anak.
Pengusiran anak oleh orang tua kandung terhadap anak bungsu berinisial D yang telah berlangsung selama dua bulan lalu dan tidur di Pos Jaga
Kondisi di dalam rumah, sampah terlihat di mana-mana. piring kotor menumpuk. mana pakaian yang kotor atau bersih sudah tidak jelas oleh orang tua. lah penelantaran 5 anak di Cibubur.
Tindak Kekerasan yang dialami oleh lima anak tersebut oleh orang tua apabila mendapatkan bantuan dari warga sekitar, maka orang tua akan memarahi anak-anaknya.
Perlindungan hukum terhadap anak diperhatikan serius oleh negara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memberikan jaminam kesejahteraan, perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia dikarenakan anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus. Negara Indonesia telah memberikan posisi anak dalam peraturan perundang undangan Indonesia yaitu Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dicantumkan dalam Pasal 2 angka (1), menyatakan : Pasal 2 (1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. suami, isteri, dan anak;
Hak anak yang memerlukan peranan penting orang tua telah dicantumkan pada Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa : Pasal 6 Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan Orang Tua atau Wali.
Selanjutnya penelantaran anak oleh orang tua kandung yang menjadi kajian penelitian ini menurut Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dikategorikan sebagai kekerasan terhadap anak dikarenakan perbuatan menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, penelantaran, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. sebagaimana dicantumkan Pasal 1 angka 15 (a) dan didalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga dicantumkan larangan melakukan kekerasan terhadap anak yang merupakan anggota dalam lingkup rumah tangga, menyatakan :
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Negara Indonesia telah mengatur sanksi hukuman bagi pelaku penelantaran anak yang dikategorikan sebagai kekerasan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 terkait Perlindungan Anak, sebagai berikut : Pasal 76 B Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 77B
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). dan juga diatur di dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut : Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Fenomena Penelanataran anak yang terjadi tidak ada satupun kasus yang diproses hukum dalam penegakan hukum terhadap orang tua yang melakukan tindakan penelantaran terhadap anaknya, hal ini merupakan terpuruknya dunia anak di Indonesia. dunia anak yang diharapkan merupakan kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitas diwarnai data kelam dan menyedihkan anak Indonesia masuh terus mengalami kekerasan. secara kebudayaan mereka masih berada di tengah situasi menindas, gambaran tentang anak-anak ideal seperti yang tertera dalam Konvensi Hak Anak masih jauh dari kenyataan, mereka masih menjadi bagian yang terpinggirkan, tereksplorasi, terepresi oleh Lingkungan dan budaya dimana mereja hidup , seperti dalam keluarga, masyarakat pendidikan formal di sekolah dan sector kehidupan lainnya. Modernisasi di negeri ini belum memperhatikan persoalan anak dengan baik justru yang terjadi mereka menjadi korban dari modernitas yang tengah berlangsung. (Abu Huraerah, 2006: 15).
Kebijakan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Penelantaran Oleh Orang Tua Menurut Persfektif Hukum Indonesia
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Penelantaran Oleh Orang Tua menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dimana didalam Undang Undang ini diatur hak-hak anak, tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anak-anak mereka dan peranan Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat, dengan penjelasan sebagai berikut:
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Penelantaran Oleh Orang Tua Menurut Undang Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia, dimana Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (Pasal 1 Angka 5) yang memiliki asas-asas dasar sebagai hak asasi manusia yang diakui dan dijunjung oleh Negara Republik Indonesia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan (Pasal 2). Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyrarakat, dan pemerintah (Pasal 6 ayat (1)) menjadi tanggung jawab pemerintah (Pasal 8). (Binti Maunah, 2009: 92-100).
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Penelantaran Oleh Orang Tua Menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dimana anak merupakan bagian dari lingkup keluarga dan dilarang melakukan kekerasan terhadap anak dan pengaturan sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan kekerasan terhadap anak, diketahui bahwa penelantaran anak oleh orang tua merupakan wujud kekerasan yang dapat berdampak fisik maupun psikis, menyatakan bahwa :
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: a. suami, isteri, dan anak; Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mulai berlaku semenjak 17 Oktober 2014 dengan dasar pertimbangan anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia; dan dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Harkristuti Harkrisnowo, 2003/2004).
Berkaitan dengan penelantaran anak didalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 termasuk kedalam tindakan kekerasan terhadap anak, secara jelas dinyatakan Pasal 1 Angka 15a : “Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.”. sehingga anak berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan yang dialami (Pasal 15) dan menjadi tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua, menyatakan :
Pasal 20
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak Orang tua yang menjadi pelaku penelantaran terhadap anaknya didalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 secara tegas dilarang keras, sebagai berikut :
Pasal 76B
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 76C
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Selanjutnya di dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014, sanksi hukuman pelaku penelanataran anak telah diatur sebagai berikut :
Pasal 77B
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dengan demikian, terlihat besar tanggung jawab orang tua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga persekutuan hidup pada lingkungan keluarga tempat dimana ia menjadi diri pribadi atau diri sendiri, keluarga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk dari dalam fungsi sosialnya. Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak. Sebagaimana peranan guru yang dikemukakan Sadirman adalah sebagai berikut:
a. Informator
Sebagai pelaksana cara mengajar informatif laboratorium, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
b. Organisator
Guru sebagai organisator, pengelola kegiatan akademik, silabus dan lain-lain. Komponen- komponen yang berkaitan dengan kegiatan belajar- mengajar, semua diorganisasikan dengan sedemikian rupa, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efesiensi dalam belajar pada diri sendiri.
c. Motivator
Peranan guru sebagai motivator ini penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar.
d. Inisiator
Guru dalam hal ini sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar. Sudah barang tentu ide-ide merupakan kreatif yang dapat dicontoh oleh siswa.
e. Transmitter
Dalam kegiatan belajar guru juga akan bertindak selaku penyebar kebijasanaa pendidikan dan pengetahuan.
f.Fasilitator
Berperan sebagai fasilitator, guru dalam hal ini akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar, misalnya saja dengan menciptakan suasana kegiatan belajar mengajar yang sedimikian rupa, sesuai dengan perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar mengajar akan berlangsung secara efektif
g.Mediator
Guru sebagai dapat diartikan sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa. Misalnya menengahi atau memberikan jalan keluar kemacetan dalam kegaitan diskusi siswa. Mediator juga diartikan sebagai penyedia media.
h. Evaluator
Ada kecenderungan bahwa peran sebagai evaluator, guru mempunyai otoriatas untuk menilai prestasi siswa dalam bidang akademis maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana siswa itu berhasil atau tidak. (Sardiman, 2011: 144).
Diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak. Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tidak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat dimana dia berada. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak kita ini. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk mental dan pribadi anak. Penyelenggara siaran TV bertanggungjawab untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang positif. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Pemerintah harus memberikan ketegasan pada masyarakat tentang Perlindungan Anak, bila perlu memberikan sosialisasi bahwa ada Undang-undang bertujuan dalam perlindungan anak serta dijelaskan juga sanksi terhadap yang melanggar Undang- Undang tersebut. Pemerintah juga harus memberikan fasilitas pelatihan dan pembelajaran anak. Maka pemerintah harus siap menampung anak-anak yang terlantar sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat (1), “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Nursyamsiyah. Ilmu Pendidikan. Tulung Agung: Pusat Penerbitan dan Publikasi, 2000.
Maunah, Binti. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Teras, 2009.
Huraerah, Abu. Kekerasan Anak Terhadap Anak. Bandung: Nuansa, 2006.
Harkrisnowo, Harkristuti. “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai Supermasi Hukum yang Berkeadilan.” Jurnal Keadilan Vol. 3, No. 6 (2003/2004).
Sardiman. Interaksi Motivasi Belajar dan Mengajar. Jakarta: Rajawali Press, 2011.VB-Putra Trisna.