Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Kekerasan dalam keluarga (KDRT) merupakan masalah serius yang mengancam hak anak di Indonesia. Anak sering kali menjadi korban atau saksi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya, yang dapat berupa kekerasan fisik, psikologis, atau pengabaian. KDRT terhadap anak melanggar berbagai hak yang dijamin oleh hukum, termasuk hak untuk hidup dan berkembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan, dan hak untuk didengar pendapatnya.
Dasar hukum yang mengatur perlindungan anak di Indonesia mencakup Konvensi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak Anak (CRC), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang memperkuat sanksi terhadap pelaku kekerasan. Dalam menghadapi kasus KDRT, langkah-langkah hukum yang dapat diambil meliputi pelaporan kepada pihak berwenang, penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku, serta perlindungan dan pemulihan bagi anak korban.
Dengan demikian, penegakan hukum yang tegas dan dukungan bagi korban sangat penting untuk melindungi hak anak dan mencegah kekerasan dalam keluarga, serta menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
Opini hukum ini disusun untuk memberikan analisis dan rekomendasi terkait pelanggaran hak anak yang terjadi dalam sebuah kasus keluarga di mana seorang anak mengalami kekerasan fisik dan emosional dari orang tua kandungnya. Kasus ini dilaporkan oleh tetangga dan guru, tetapi tidak ada tindakan hukum yang diambil oleh pihak berwenang.
Identitas Kasus: Seorang anak berinisial R (10) mengalami kekerasan fisik (pukulan, tendangan) dan emosional (penghinaan) dari orang tua kandungnya A (51) dan W (45). Kejadian tersebut dilaporkan oleh guru dan tetangga yang menyaksikan langsung tindakan kekerasan tersebut.
Fakta-fakta: R (10) sering datang ke sekolah dengan bekas luka dan memar, R (10) mengaku merasa takut pulang ke rumah, Masyarakat sekitar telah melaporkan kejadian ini kepada pihak berwenang, tetapi tidak ada langkah lanjut yang diambil.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 1: Perlindungan anak adalah semua kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Pasal 4: Setiap anak berhak atas perlindungan dari perlakuan diskriminatif, kekerasan, dan eksploitasi. Pasal 77: Menyatakan bahwa setiap orang yang mengetahui terjadinya kekerasan terhadap anak wajib melaporkan kepada pihak berwenang.
Konvensi Hak Anak (United Nations Convention on the Rights of the Child/CRC)
Pasal 19 : Negara harus melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, termasuk penelantaran atau perlakuan kasar.
Menurut Penulis, Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua A (51) dan W (45) kepada R (10) jelas melanggar hak anak untuk hidup bebas dari kekerasan, sebagaimana diatur dalam undang-undang dan konvensi internasional. Kekerasan fisik dan emosional tidak hanya menyebabkan luka fisik tetapi juga dampak psikologis jangka panjang, seperti trauma, depresi, dan masalah perilaku.
Kewajiban Negara dan Aparat Penegak Hukum, Berdasarkan prinsip perlindungan anak, pihak berwenang memiliki kewajiban untuk segera melakukan penyelidikan dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi anak dari kekerasan. Dalam hal ini, tidak adanya respons dari pihak berwenang terhadap laporan yang masuk menunjukkan kelalaian dalam penegakan hukum dan pelanggaran terhadap kewajiban perlindungan anak. Keterlambatan atau ketidakmampuan dalam menanggapi laporan dapat berakibat fatal bagi keselamatan anak, terutama dalam kasus kekerasan dalam keluarga. Dampak Psikologis dan Sosial, Kekerasan yang dialami Rina tidak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga mengganggu kesehatan mental dan emosionalnya. Anak yang mengalami kekerasan cenderung memiliki masalah dengan perkembangan sosial, emosional, dan akademik.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan perilaku agresif di kemudian hari. Dalam jangka panjang, dampak ini dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang sehat dan berfungsi dalam masyarakat.
Contoh kasus di atas tidak hanya relevan dalam konteks pelanggaran hak anak, tetapi juga memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapi di negara berkembang terkait eksploitasi anak.
Di Nepal, banyak anak menjadi korban perdagangan manusia, sering kali untuk tujuan eksploitasi seksual atau kerja paksa. Sebuah kasus pada tahun 2019 mengungkap sekelompok anak perempuan berusia 10 hingga 15 tahun yang dijanjikan pekerjaan di kota-kota besar seperti Kathmandu, tetapi malah dipaksa bekerja sebagai pekerja seks atau di pabrik dengan kondisi yang sangat buruk. Banyak orang tua mereka, terjebak dalam kemiskinan dan kurangnya pendidikan, terjebak dalam penipuan sindikat perdagangan manusia.
Undang-undang perlindungan anak Nepal dan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh negara tersebut menetapkan hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi. Kasus ini menunjukkan kegagalan dalam perlindungan hak anak dan perlunya langkah-langkah yang lebih kuat dari pemerintah untuk memberantas perdagangan anak. Rekomendasi termasuk peningkatan kesadaran masyarakat dan perlindungan hukum yang lebih ketat. Kasus ini menyoroti tantangan global yang dihadapi dalam memastikan hak-hak anak terpenuhi dan menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan masyarakat.
Penulis Merekomendasikan Beberapa Cara Penangan, Tindakan Segera oleh Pihak Berwenang. Penyelidikan yang Transparan, Segera lakukan penyelidikan terhadap kasus ini dan ambil langkah-langkah perlindungan untuk menjamin keselamatan Rina. Penyidikan harus melibatkan psikolog anak dan tenaga sosial untuk menilai keadaan psikologis dan sosial Rina serta menentukan intervensi yang tepat. Pelindungan Anak, Pertimbangkan untuk melakukan intervensi sosial untuk memberikan dukungan psikologis kepada Rina. Ini dapat mencakup konseling, terapi bermain, dan program rehabilitasi untuk membantu anak pulih dari trauma yang dialaminya.
Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat. Kampanye Kesadaran, Tingkatkan kampanye kesadaran di masyarakat tentang hak anak dan perlunya melaporkan kekerasan terhadap anak kepada pihak berwenang. Informasikan masyarakat mengenai saluran pelaporan yang tepat dan langkah-langkah yang harus diambil jika mereka menyaksikan kekerasan. Pelatihan bagi Aparat, Lakukan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial tentang cara menangani kasus kekerasan terhadap anak secara sensitif dan efektif. Pelatihan ini dapat mencakup teknik wawancara dengan anak, pemahaman tentang dampak kekerasan, dan bagaimana memberikan dukungan yang sesuai.
Dukungan untuk Keluarga. Program Rehabilitasi, Pertimbangkan program rehabilitasi bagi orang tua yang melakukan kekerasan agar mereka dapat memahami dampak dari tindakan mereka dan belajar cara mendidik anak yang baik. Ini dapat melibatkan konseling, pendidikan tentang pengasuhan anak, dan program dukungan keluarga. Mediation and Support. Pihak berwenang harus mempertimbangkan untuk melibatkan mediator profesional dalam penyelesaian konflik keluarga untuk mencegah kekerasan berulang dan mempromosikan komunikasi yang sehat dalam keluarga.
Dalam menghadapi tantangan pelanggaran hak anak, baik di dalam keluarga maupun dalam konteks yang lebih luas, penting bagi kita untuk terus berkomitmen pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Kasus kekerasan yang dialami Rina merupakan cermin dari permasalahan sistemik yang lebih besar yang perlu diatasi dengan keseriusan dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan.
Kita harus berupaya untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua anak, di mana mereka dapat tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut akan kekerasan. Tindakan nyata, baik dalam penegakan hukum maupun pendidikan masyarakat, adalah langkah penting untuk memastikan bahwa hak-hak anak tidak hanya diakui, tetapi juga dihormati dan dilindungi.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk berbicara dan bertindak demi kepentingan anak-anak, karena masa depan bangsa ini sangat bergantung pada generasi yang sehat, aman, dan terlindungi. Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk mendorong perubahan positif dan perlindungan hak anak, demi terciptanya masyarakat yang lebih baik dan berkeadilan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, jelas bahwa pelanggaran hak anak dalam kasus kekerasan yang dialami R (10) oleh orang tua kandungnya A (51) dan W (45) merupakan tindakan yang melanggar undang-undang perlindungan anak serta konvensi internasional yang mengatur hak-hak anak. Tindakan kekerasan fisik dan emosional tidak hanya merusak kesejahteraan fisik anak, tetapi juga dapat menyebabkan dampak psikologis yang serius dan berkepanjangan.
Pihak berwenang, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga perlindungan anak, memiliki tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi Rina dan memastikan keselamatannya. Keterlambatan dalam menanggapi laporan tentang kekerasan ini dapat memperburuk kondisi anak dan mengakibatkan kerugian yang lebih besar di masa depan.
Dalam menghadapi isu ini, pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif diperlukan. Masyarakat, pemerintah, dan lembaga terkait harus bekerja sama dalam meningkatkan kesadaran tentang hak anak, mendorong pelaporan kekerasan, dan menyediakan dukungan yang memadai bagi anak-anak dan keluarga yang mengalami masalah. Melalui intervensi yang tepat dan dukungan yang berkelanjutan, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung bagi anak-anak, memastikan bahwa mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Akhirnya, opini hukum ini menyerukan tindakan nyata dari semua pihak untuk mengedepankan perlindungan hak anak dan mencegah terulangnya kasus kekerasan di masa depan. Kesadaran dan komitmen kolektif terhadap perlindungan anak adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Opini hukum ini disusun dengan harapan dapat memberikan panduan bagi pihak berwenang dan masyarakat untuk mengambil tindakan yang tepat dalam menangani kasus pelanggaran hak anak. Perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama yang harus diutamakan untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Melalui langkah-langkah yang jelas dan komprehensif, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang.
Referensi
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia. [Link undang-undang](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/ulasan/lt5ac34d3a87f0f/uu-no-35-tahun-2014-tentang-perlindungan-anak)
Konvensi Hak Anak. Diakses dari situs resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
[Linkkonvensi](https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-rights-child)
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/Penanganan%2520Kekerasan%2520Terhadap%2520Anak.pdf&ved=2ahUKEwiO6tz7g5qJAxXfxzgGHUPwBNcQzsoNegQIBhAH&usg=AOvVaw3dntc4XfFrm0-FKfttifPZ
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/6527&ved=2ahUKEwjNyNiqlpqJAxWWyDgGHes3Ax4QFnoECBsQAQ&usg=AOvVaw2Vyx_9quiwczRD-3pCdjtB
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 1. [Lihat undang-undang](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/ulasan/lt5ac34d3a87f0f/uu-no-35-tahun-2014-tentang-perlindungan-anak).Konvensi Hak Anak, Pasal 19. [Lihat konvensi](https://www.ohchr.org/en/instrumentsmechanisms/instruments/convention-rights-child). Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada Rina jelas melanggar hak anak untuk hidup bebas dari kekerasan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, Konvensi Hak Anak menekankan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental.VB-Putra Trisna.