Berita Banten - Portal Banten - Media Online Banten

Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Pengawas ketenagakerjaan adalah agen yang aktif untuk kemajuan sosial.Dalam melaksanakan kunjungan dan pertukaran informasi dengan mitra sosial dan aktor lainnya, pengawas mendapatkan pengetahuan yang luas mengenai situasi material pekerja, kondisi kerja merejam situasi sosial dan konomi dalam berbagai cabang kegiatan dan seluruh permasalahan teknis. Terima kasih kepada pengetahuan dan pengalaman langsung mereka di tempat kerja,pengawas ketenagakerjaan sangat ideal ditempatkan untuk mengidentifi kasikan kesenjangan (peraturan yang telah kuno atau kekosongan perlindungan) dalam peraturan ketenagakerjaan (peraturan perundang-undangan) dan untuk mengusulkan tindakan perbaikan.Sebenarnya, salah satu fungsi utama pengawas adalah memberitahukan kepada otoritas yang berwenang mengenai kekurangan atau penyalahgunaan aturan yang tidak secara spesifi k diatur dalam ketentuan peraturan yang berlaku. Peranan mereka adalah untuk menganalisa situasi, menunjukkan konsekuensi yang timbul dari peraturan dan praktik yang berlaku dan kelemahan-kelemahan yang timbul serta menyarankan perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan.Kekurangan yang dicatat dapat timbul dari ketidaksesuaian peraturan yang berlaku atau dari penghapusan ketentuan dengan konsekuensi peraturan tersebut tidak memberikan perlindungan yang memadai untuk kategori pekerja tertentu. Pengetahuan pengawas mengenai permasalahan ketenagakerjaan dan situasi pekerja,khususnya mengenai perlindungan yang dijamin kepada pekerja oleh peraturan perundang-undangan sosial,menempatkan mereka pada posisi untuk selalu menginformasikan otoritas yang berwenang.

Keterbatasan Pengawasan Ketenagakerjaan
Pengawasaan ketenagakerjaan telah diatur secara khusus dalam UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (UU No. 3 Tahun 1951). Adapun istilah pengawasaan ketenagakerjaan dalam UU No. 3 Tahun 1951 disebut sebagai pengawasan perburuhan.Berdasarkan penjelasan umum ini, salah satu alasan pembentukan dari UU khusus tentang pengawas perburuhana dalah untuk memperkuat posisi pegawai pengawas. Pada saat itu pengawas perburuhan sering ditolak atau dipersulit dalam menjalankan tugasnya. Meskipun UU No. 3 Tahun 1951 telah berlaku lebih dari 68 tahun namun sampai saat ini pengawas perburuhan tetap kerap menerima penolakan.Hal ini menunjukkan adanya permasalahan terkait penegakan hukum, aturan pengawasan ketenagakerjaan khususnya UU No.3 Tahun 1951. Menurut Soerjono Soekanto (2004: 8), ada lima faktor yang memengaruhi penegakan hukum, yaitu hukum itu sendiri, penegak hukum,sarana atau fasilitas, masyarakat dan budaya. Segi hukum dipengaruhi 3 hal yaitu tidak diikutinya asas berlakunya UU; belum ada aturan pelaksana yang sangat dibutuhkan; dan ketidakjelasan arti kata dalam UU. Salah satu asas berlakunya UU yang tidak dipenuhi oleh aturan pengawasan ketenagakerjaan adalah asas sinkronisasi peraturan. Aturan yang tidak sinkron tersebut terkait dengan kedudukan pengawas ketenagakerjaan. Menurut Pasal 178 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kedudukan pengawas terdapat di pusat,provinsi, dan/atau kabupaten/kota.Sedangkan menurut UU No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan (UU Pengesahan Konvensi ILO) kedudukan pengawas ketenagakerjaan terdapat di pusat.Selanjutnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menentukan bahwa pengawasan ketenagakerjaan hanya dilakukan oleh pusat dan provinsi.Selain itu, UU No. 3 Tahun 1951 juga tidak menentukan mengenai pendelegasian aturan pelaksanaan terhadap UU tersebut. Padahal UU No. 3 Tahun 1951 membutuhkan aturan pelaksana karena sifat pengaturannya yang sangat umum. Dari segi penegak hukum, ada beberapa faktor yang menghalanginya melakukan penegakan hukum, antara lain keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dan minimnya kemampuan untuk menunda pemuasan kebutuhan terutama kebutuhan materil (Soerjono Soekanto, 2004: 34-35).

Kedua faktor inilah yang menghalangi pengawas ketenagakerjaan dalam upaya menegakkan hukum ketenagakerjaan. Keterbatasan kemampuan menempatkan diri dipengaruhi oleh sistem perekrutan tenaga pengawas yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari pejabat di daerah sehingga pengawas tidak dapat berkehendak bebas (independen). Sedangkan minimnya kemampuan untuk menunda pemuasan kebutuhan terlihat dari berkembangnya praktek suap dalam tubuh pengawas ketenagakerjaan. Dari segi sarana atau fasilitas,penegakan hukum dipengaruhi oleh keberadaan tenaga pengawas yang berkualitas, organisasi yang baik, peralatan yang memadai dan keuangan yang cukup (Soerjono Soekanto, 2004: 37). Keempat hal ini menjadi permasalahan pengawasan ketenagakerjaan. Peningkatan kualitas pengawas terhambat oleh system kepegawaian dari tenaga pengawas di mana posisi pengawas sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari pejabat di daerah. Pada prakteknya sering kali pengawas ketenagakerjaan yang sudah dilatih menggunakan pendanaan yang tidak sedikit dipindahkan ke bagian lain Permasalahan organisasi pengawasan ketenagakerjaan terjadi akibat pengawasan ketenagakerjaan tidak hanya dilakukan pegawai pengawas Kemenaker akan tetapi juga instasi terkait lainnya seperti kepolisian, dan imigrasi (Kemenkumham). Antarinstansi ini terkadang terdapat overlapping kewenangan seperti terkait pengawasan terhadap tenaga kerja asing (TKA). UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur TKA sebagai objek pengawasan ketenagakerjaan, sedangkan imigrasi juga melakukan pengawasan berdasarkan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.Ditariknya pengawasan keprovinsi juga berpengaruh kepada penganggaran dan ketersedian peralatan penunjang kegiatan.Faktor keempat yang memengaruhi penegakan hukum adalah faktor masyarakat, yaitu pendapat masyarakat mengenai hukum yang dipengaruhi oleh pandangannya terhadap perilaku penegak hukum. Berkembangnya pandangan miring terkait kinerja pengawas yang tidak independen dan mudah disuap akan menimbulkan sikap antipati dan ketidakpedulian masyarakat terhadap pengawasan ketenagakerjaan. Faktor terakhir yang memengaruhi penegakan hukum adalah kebudayaan yang mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dipatuhi dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari (Soerjono Soekanto, 2004: 59-60). Pengawas ketenagakerjaan memiliki peranan penting dalam menumbuhkan budaya patuh terhadap aturan ketenagakerjaan termasuk pada aturan K3. Permasalahannya, dengan keterbatasan pengawasan dari segi jumlah dan kualitas membuat tidak semua perusahaan dapat diawasi dan diberikan pemahaman tentang pentingnya mematuhi aturan ketenagakerjaan.VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *