Kota Tangerang Selatan (Varia Banten) Indonesia diharapkan dapat menjadi penjaga kedamaian dalam Invasi Rusia terhadap Ukraina Oleh: KIKI ANDRIAN (Advokat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Unoversitas Pamulang, Banten).
Perang merupakan suatu peristiwa yang memiliki umur yang sama tuanya dengan peradaban manusia di muka bumi ini. Dimana perang itu lahir dari hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah suatu peristiwa yang akan mewarnai sejarah kehidupan dan peradaban manusia di muka bumi ini. Peristiwa perang biasanya terjadi dengan alasan adanya perselisihan antara dua belah pihak yang tidak mau mengalah terhadap suatu kepentingan. Baik itu kepentingan politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. Perang merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan oleh siapapun. Namun, dalam keadaan tertentu peperangan tentu saja dapat terjadi karena situasi politik maupun karena keegoisan pihak tertentu, dimana masing-masing pihak berusaha untuk memaksakan kehendaknya, bahkan pada zaman sekarang kita sering mendengar peperangan terjadi dengan dalih untuk membela keadilan bahkan dengan dalih menciptakan kedamaian dalam kehidupan di dunia.
Seperti yang terjadi beberapa hari belakang ini terjadi sebuah peperangan antara Ukraina dan Rusia. Konflik ukraina dan Rusia bukan konflik yang pertama, Rusia pernah menyerbu Ukraina pada tahun 2014 ketika kelompok separatis yang didukung oleh Presiden Putin, merebut sebagian besar wilayah timur Ukraina. Saat itu, Rusia telah mencaplok Krimea. Rusia menyerang Ukraina ketika presidennya yang pro-Rusia digulingkan pada awal 2014. Perang di timur itu telah merenggut lebih dari 14.000 nyawa.
Isu serangan bergulir sejak November 2021. Sebuah citra satelit menunjukkan penumpukan baru pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina. Beberapa hari kemudian, tepatnya 17 Desember, Rusia mengajukan tuntutan keamanan yang terperinci kepada Barat, termasuk meminta NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina. Rusia meminta aliansi tersebut untuk tidak pernah menerima Ukraina atau negara-negara bekas Soviet lainnya sebagai anggota. Puncaknya adalah 21 Februari 2022. Putin memberi pengumuman mengakui kemerdekaan milisi Donbas, Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR). Pada saat itu, dekrit pengiriman pasukan dengan dalih “menjaga keamanan” juga ditandatanganinya. Sehari setelahnya parlamen Rusia menyetujui mobilisasi tentara yang diusulkan Putin. Persis 24 Februari, Putin tiba-tiba mengumumkan “operasi militer”. Serangan dilakukan di sejumlah kota. AS dan sekutu menyebut Rusia melanggar kedaulatan negara lainnya, dan sampai pada hari senin 14 Maret 2022 Peperangan Rusia-Ukraina masih berlangsung dan belum mencapai titik temu untuk mengakhiri konflik.
Selaku praktisi dan akademisi hukum ada rasa prihatin yang sangat mendalam akan apa yang terjadi saat ini. Dunia seharusnya tidak hanya sekedar mengamati dan memberikan komentar akan apa yang terjadi di Ukraina, perang antara kedua negara tersebut harus segera mungkin diselesaikan.
Menurut analisa Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana (Detik News, kamis 24 feb 2022) perihal penyebab invasi Rusia ke Ukraina penyebabnya ada dua narasi yang berbeda antara Rusia dan Ukraina. Dalam perspektif Rusia, operasi militer yang dilancarkan adalah dalam rangka kerja sama pertahanan antara Rusia dengan dua Republik yang baru saja mendapatkan pengakuan dari Rusia atas kemerdekaannya dari Ukraina, yaitu Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Presiden Rusia Vladimir Putin mendalilkan operasi militer tersebut berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB yang memberi hak negara untuk membela dirinya baik secara individual maupun kolektif melalui pakta pertahanan.
Masih menurut Prof Hikmahanto Juwana, Sementara narasi dari pihak Ukraina, Rusia dengan pengakuan terhadap dua Republik yang selama ini dianggap sebagai gerakan separatis telah mengganggu integritas wilayah Ukraina, dengan demikian Tentu Ukraina tidak ingin tinggal diam terhadap pelaku separatis dan karena melakukan tindakan terhadap para pemberontak. Presiden Ukraina pun menyatakan bila Rusia terlibat perang dalam skala besar maka tidak ada pilihan bagi Ukraina untuk membalasnya berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. Dalam konteks demikian hukum internasional hanya digunakan sebagai legitimasi baik Rusia maupun Ukraina untuk menggunakan kekerasan.
Sementara, pada hari kamis 24 Febuari 2022, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan sikapnya lewat cuitan Twitter. Jokowi meminta menghentikan perang tetapi tidak menyebut atau menunjukkan nama negara. “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia,” cuitan Jokowi lewat akun @jokowi. Cuitan Jokowi disampaikan secara singkat dan tanpa memberikan konteks terhadap kondisi peperangan mana yang ia maksud.
Bagi Prof Hikmahanto Juwana “Presiden Jokowi telah tepat menyatakan sikap Indonesia terkait situasi di Ukraina dengan mengatakan ‘penanganan krisis Ukraina harus dilakukan secara cermat agar bencana besar bagi umat manusia bisa dihindarkan.’ Hal ini karena konsisten dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif,”
Sikap Presiden Jokowi tersebut menggambarkan prinsip diplomasi Indonesia yang menerapkan politik luar negeri bebas aktif. Menurut UU No.37 tahun 1999, politik luar negeri bebas aktif artinya Indonesia bebas menentukan sikap tanpa terikat pada salah satu poros politik dunia serta aktif dalam penyelesaian konflik global.
Menurut saya, terlepas dari apa pun alasan dan justifikasi yang disampaikan Rusia, jelas bahwa invasi merupakan tindakan yang melanggar hukum internasional dan tidak bisa dibenarkan. Pengakuan Rusia atas kemerdekaan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk terjadi juga pada Negara Abkhazia dan Ossetia Selatan di tahun 2008, hal ini bisa saja kelak akan memicu munculnya negara-negara baru yang belum diakui oleh negara induk atau negara tetangga. Setiap wilayah atau Negara ada saja gerakan-gerakan yang ingin menentukan nasib sendiri dan tindakan Rusia dapat memicu dorongan untuk deklarasi kemerdekaan dari banyak kelompok-kelompok yang mungkin saja ada di negara-negara lainnya, sepertihalnya yang terjadi di Papua dan aceh pada negara Indonesia.
Sementara sampi saat ini, Indonesia belum mengambil langkah spesifik baik pemberian sanksi atau pun sikap lain terhadap Rusia. Oleh karenanya Indonesia diharapkan dapt mengambil sikap dan berperan aktif dalam menjaga kedamaian dalam konflik Rusia dan Ukraina, sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 alenia pertama “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Dan alenia ke empat “… dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”.(VB-BS)