Tangerang Selatan (Varia Banten) – Implikasi Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Terhadap Lingkungan Hidup. Oleh Rifto Andriawan I (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang, Tangerang Selatan-Banten)

Isu pemindahan Ibu Kota Negara ternyata sudah lama ada. Adalah Presiden pertama Ir. Soekarno yang pertama menggagas pemindahan ibu kota negara, yang saat itu mengusulkan Palangka Raya Kalimantan Tengah sebagai ibu kota alternatif. Pada saat era Presiden Soeharto, wacana pemindahan ibu kota kembal bergulir yang ingin menjadikan Jonggol, Bogor, sebagai ibu kota negara.

Beratnya beban yang ditanggung Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi semakin menjadi sorotan, sehingga belakangan kembali muncul pemikiran untuk memindahkan ibu kota negara. Sejak tahun 2017, pemerintahan Presiden Jokowi kembali membahas pemindahan ibu kota negara. Kali usulan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Hal ini banyak menimbulkan pro dan kontra. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jakarta telah menjadikan Jakarta sebagai magnet bagi orang-orang dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal. Kepadatan penduduk, polusi, kemacetan, banjir hingga kemiskinan yang menjadikan Jakarta tidak nyaman lagi sehingga tentunya banyak persoalan yang ditimbulkan tidak saja di masyarakat itu sendiri, tetapi banyak menguras keuangan pemerintah provinsi dan pusat dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.

Pada Selasa (18/1/2022). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi UU dalam rapat Paripurna DPR RI ke-13 masa persidangan III tahun sidang 2021-2022. Dengan begitu, proses pemindahan ibu kota daru Jakarta ke Kalimantan Timur bisa dilaksanakan.

Namun demikian, pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (Kabupaten Penajam Paser Utara) tentu perlu memperhatikan faktor lingkungan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa pulau Kalimantan terkenal dengan hutan hujan tropisnya dan menjadi salah satu paru-paru dunia karena luas hutannya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kekhawatiran masyarakat apabila kegiatan pembangunan IKN yang baru di Kalimantan Timur justru akan merusak lingkungan.

Seperti yang dikutip dari suara.com, 19 Januari 2012, berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) IKN menunjukkan setidaknya ada tiga permasalahan mendasar jika IKN dipaksakan, hal ini disampaikan oleh Manajer kampanye infrastruktur dan tata ruang Walhi Dwi Sawung. Pertama, ancaman terhadap tata air dan resiko perubahan iklim karena sistem hidrologi yang terganggu dan telah ada catatan air tanah yang tidak memadai. “Wilayah tangkap air terganggu. Risiko terhadap pencemaran air dan kekeringan. Sumber air bersih tidak memadai sepanjang tahun, ketidakmampuan pengelolaan air limbah yang dihasilkan dari IKN dan pendukungnya,” kata Sawung. Selain itu, tingginya konsesi tambang di lokasi IKN juga berpengaruh pada sistem hidrologi dan biaya ekonomi terhadap pemanfaatan air akan meningkat. Kedua, pemindahan Ibu Kota Negara baru juga mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna, padahal mereka berfungsi menjaga ekosistem. “Tekanan terhadap habitat Satwa liar pada akhirnya akan meningkatkan resiko konflik satwa dan manusia. Diantara kasus yang sudah muncul adalah buaya,” jelasnya. Pembangunan IKN juga akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektar. Ketiga, pemindahan IKN juga berdampak pada pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti meningkatkan resiko kebakaran hutan, pencemaran minyak, penurunan nutrein pada kawasan pesisir dan laut, lubang tambang yang tidak ditutup mencemari air tanah, hingga menghambat jalur logistik masyarakat.

Tentunya, pemindahan ibu kota negara ke Kalimanta Timur tersebut akan berimplikasi terhadap lingkungan. Kata lingkungan dalam Bahasa Inggris dikenal dengan sebutan environment, dalam Bahasa Belanda disebut dengan milieu, sedangkan dalam Bahasa melayu lazim dikenal dengan sebutan alam sekitar. Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan dan mahluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya, seperti dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) IKN yang dijelaskan di atas. Dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang ditetapkan melalui Perubahan Keempat pada tahun 2002 telah diadopsikan mengenai pentingnya prinsi-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan. Prinsip kedaulatan lingkungan yang terkandung dalam UUD 1945 juga merupakan konstitusi yang hijau (green constitution). Dalam pengertian sederhana, Pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dapat dirumuskan sebagi upaya sadar dan terencana memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya kedalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa sekarang dan generasi masa yang akan datang.

Pembangunan dan pertumbuhan, termasuk pembangunan ibu kota negara, perlu dicari solusi yang signifikan dengan menekan dampak yang ditimbulkan, dan bagaimana supaya lingkungan dan sumber-sumber alam tidak mengalami kerusakan dan habis dalam program pembangunan mencapai tingkat pertumbuhan semata. Karenanya, dipandang perlu untuk harmonisasi antara pembangunan dengan kebijakan pengelolaan lingkungan harus melahirkan suatu konsep pembangunan yang semata-mata tidak hanya berorientasi pada kepentingan pertumbuhan ekonomi, melainkan juga harus berorientasi pada fungsi kelestarian lingkungan hidup.

Selama ini dalam melakukan pembangunan masih terdapat pandangan atau paradigma memisahkan antara lingkungan dan pembangunan, pola pikir demikian dilandasi oleh sebuah pemikiran yang menganggap lingkungan di luar dari pembangunan itu sendiri atau disebut antroposentris. Paham antroposentris berpandangan bahwa segala bentuk kegiatan pembangunan yang dilaksanakan, selalu atau lebih banyak ditujukan bagi kepentingan manusia, khususnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan semata. Karenanya, perlu diadakan pendekatan dalam kegiatan pembangunan yang lazim disebut ekosentris. Dalam pendekatan ekosentris, kedudukan manusia tidak ditempatkan di luar lingkungannya, melainkan antara keduanya merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dengan demikian, setiap kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia seyogiyanya selalu diimbangi dengan peningkatan kualitas atau perbaikan terhadap fungsi lingkungan.

Terlepas dari pro dan kontra pemindahan ibu kota negara, penulis berharap apa yang digaungkan pemerintah Presiden Jokowi dalam pelaksanaan pembangunan IKN menggunakan konsep Green City dan Forest City, yang prinsip utamanya adalah mendesain sesuai kondisi alam, serta menerapkan kaidah konservasi dan memperhatikan koridor satwa, serta memanfaatkan sumber daya lahan dan air secara terpadu dapat benar-benar dilaksanakan. Dengan demikian prinsip kedaulatan lingkungan yang terkandung dalam UUD 1945 yang merupakan konstitusi yang hijau (green constitution) dapat benar-benar terlaksana. (VB-BS).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.