Tangerang Selatan (Varia Banten)-Double Track System Dalam Pidana Narkotika. Oleh : Tri Yogi Rantika Sari
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Pamulang &
JFU Pada Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.
Tindak pidana narkotika di Indonesia saat ini merupakan jenis tindak pindak pidana yang paling dominan dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Mengutip dari Tempo.co, Narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan atau lapas di Indonesia ternyata didominasi napi narkoba. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan atau Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM melaporkan, per Agustus 2021, dari 151.303 narapidana tindak pidana khusus, sebanyak 96 persennya (145.413) adalah napi narkoba. Dari jumlah itu, sebanyak 116.930 pengedar, sementara sisanya pengguna.
Pada dasarnya upaya pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika dilakukan 2 (dua) pendekatan atau cara yaitu : Pertama, memutus atau menghentikan mata rantau supply (pasokan, produksi) dan kedua, mengurangi atau menghilangkan demand (permintaan) peredaran gelap narkotika. Upaya menghentikan supply peredaran gelap narkotika dilakukan melalui penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan cara menangkap bandar dan pengedar. Sedangkan untuk mengurangi demand (permintaan) dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi atau gerakan anti narkoba ke masyarakat dan rehabilitasi bagi pecandu, pengguna, dan penyalahguna narkotika.
Rehabilitasi menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah :
“Hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Rehabilitasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Upaya ini merupakan upaya atau tindakan alternatif, karena pelaku penyalahgunaan narkotika juga merupakan korban kecanduan narkotika yang memerlukan pengobatan atau perawatan. Pengobatan atau perawatan ini dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi. Penetapan rehabilitasi bagi pecandu narkotika merupakan pidana alternatif yang dijatuhkan oleh hakim dan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Ketentuan rehabilitasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Di dalam Pasal 54 memuat ketentuan bahwa Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Secara prinsip tujuan rehabilitasi narkotika dalam Undang-Undang Narkotika sangat sejalan dengan tujuan sistem pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Pemasyarakatan disebutkan bahwa :
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan bahwa:
“Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi”.
Oleh karena itu, terbitlah diskresi dari peraturan perundang-undangan tersebut yang mengatur Lembaga Pemasyarakatan sebagai salah satu unit penyelenggara layanan rehabilitasi narkotika. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Layanan Rehabilitasi Narkotika bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Sebagai berikut :
Rehabilitasi narkotika bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan pada Rutan, LPAS, Lapas, LPKA, Bapas dan Rumah Sakit Pengayoman yang telah memenuhi kriteria khusus.
Meskipun terdapat kesamaan tujuan rehabilitasi narkotika antara Undang-Undang Narkotika dengan Undang-Undang Pemasyarakatan, namun terdapat perbedaan perspektif dalam pelaksanaan rehabilitasi narkotika bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Jika berdasarkan Undang-Undang Narkotika Pasal 103 dan 127 seorang pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahguna narkotika wajib mengikuti rahabilitasi berdasarkan putusan hakim. Sedangkan dalam sistem pemasyarakatan penentuan WBP yang mengikuti program rehabilitasi tidak hanya berdasarkan putusan hakim namun juga berdasarkan hasil screening dan assesment yang dilakukan oleh Lapas. Tahapan pelaksanaan rehabilitasi tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Layanan Rehabilitasi Narkotika Bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam kasus pemidanaan dan rehabilitasi dalam kasus narkotika kiranya erat kaitannya dengan teori double track system. Perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama Undang-undang Pidana Khusus atau perundang-undangan diluar KUHP. Perkembangan KHUP adanya pengaruh dari aliran modern dalam hukum pidana memperkaya hukum pidana dengan sanksi yang disebut double track system (measure, maatregel). Secara dogmatis pidana dipandang sebagai pengimbalan atau pembalasan terhadap kesalahan si pembuat, sedang tindakan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan si pembuat. Harus diakui, bahwa aliran modern dalam hukum pidana telah mendorong terjadinya pembaharuan dalam sistem pidana pada umumnya. Disamping pidana yang dikenakan sebagai pengimbalan terhadap kesalahan si pembuat, dalam berbagai peraturan hukum pidana diadakan sangsi berupa double track system yang bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap sifat berbahayanya si pembuat, namun kedua jenis sanksi tersebut dalam pelaksanaannya pada hakikatnya tidak banyak berbeda.
Menyangkut penetapan sanksi dalam hukum pidana, merupakan bagian penting dalam sistem pemidanaan karena keberadaannya dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan kecenderungan produk perundang-undangan pidana diluar KUHP yang tampaknya ada kemajuan dalam stesel sanksinya yang telah mempergunakan double track system, baik yang ditetapkan secara eksplisif maupun implisif. Namun demikian, penggunaan penentu kebijakan penetapan jenis sanksi dalam Hukum Pidana Indonesia tidak terpisah dari permasalahan penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. (VB-BS).