Tangerang Selatan (Varia Banten)-Urgensi Pembentukan Badan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia, oleh Aloysius Bernanda Gunawan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang (UNPAM).
Perlindungan data pribadi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi di era digital saat ini. Selain instrument hukum yang mengatur perlindungan data pribadi dibutuhkan juga keberadaan lembaga yang berwenang agar perlindungan data prbadi menjadi optimal yang mengemban fungsi investigatif dan korektif. Keberadaan Kominfo yang notabene mewakili pemerintah sepertinya tidak mampu mengurusi perlindungan data pribadi secara optimal. Hal ini didasarkan pada alasan banyaknya kasus terkait data pribadi yang memiliki tingkat urgensi tinggi untuk diselesaikan.
Kebutuhan akan lembaga yang independen dan professional yang mengurus data pribadi bukanlah suatu gagasan tanpa berlandaskan yang kuat. beberapa alasan atas kebutuhan perlindungan data pribadi diantarnya adalah: (1) banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan data pribadi yang berimbas kepada masyarakat, (2) ketiadaan lembaga khusus yang berwenang menyelesaikan masalah data pribadi dalam merespon masalah data pribadi secara cepat, (3) di banyak negara sudah memiliki lembaga khusus yang mengatur penggunaan data pribadi, (4) lembaga data pribadi menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam mengantisipasi penggunaan dan penyalahgunaan data oleh para penyelenggara platform global.
Dalam menentukan bentuk lembaga dan/atau badan khusus yang mengurusi data pribadi dalam tatanan hukum nasional setidaknya terdapat tiga bentuk besar, yaitu bentuk: (1) pemberi rekomendasi, yang bertugas memberikan pertimbangan pada suatu bidang kepada pihak yang berwenang untuk melakukan suatu tindakan, (2) pengawas, yaitu lembaga yang mengawasi proses penyeleggaraan pelayanan publik dan/atau penyelenggaraan layanan lainnya, dan (3) quasi peradilan, yaitu lembaga yang dapat memeriksa dan memutus suatu pelangaran akan penyelenggaraan pelayanan publik dan/atau penyelenggaraan layanan lainnya.
Tiga model besar lembaga independen sebagaimana dijelaskan di atas pada prinsipnya memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga pemilihan model suatu lembaga pelindung data pribadi perlu terlebih dahulu dirumuskan visi yang ingin dicapainya. Barulah kemudian dapat diturunkan tujuan-tujuannya dengan menggunakan bentuk dan model lembaganya untuk dapat menjalankan tugasnya.
Dalam kaitannya independensi, dalam praktik tidak ada suatu lembaga di dunia ini yang benar-benar independen sebagaimana digambarkan dalam banyak literatur. Hal ini didasarkan pada konsep hukum itu sendiri yang tidak bebas nilai. Dikatakan tidak bebas nilai karena suatu aturan hukum pasti mengacu pada suatu konstitusi, yang kemudian dikongkretisasi menjadi suatu produk hukum. Layaknya suatu produk, maka produk hukum juga bukanlah produk yang benar-benar bebas nilai, karena dalam pembentukkannya akan berjalan pada track politik hukum tertentu. Oleh sebab itu, kadar independensi yang dimaksud menjadi particular pada aspek tertentu saja, yaitu dalam melakukan tugas dan fungsinya yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kewenangan.
Terlepas dari perdebatan independensi, maka penentuan pemberi kekuasaan kepada suatu badan menjadi penting dalam hal pelaksanaan suatu keputusan hukum yang dibuat oleh suatu badan. Pemberi kewenangan secara atributif memiliki kewenangan dan memiliki diskresi atas jabatannya untuk melakukan dan/atau menolak melakukan rekomendasi yang disampaikan oleh suatu badan atau lembaga. Atas dasar itulah, seolah-olah kewenangan suatu badan yang tidak miliki hubungan yang baik dengan pembari kewenangannya cenderung tidak berjalan secara optimal. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menjawab hirarki kewenangan maka diperlukan suatu unjuk kinerja yang professional dan transparan sehingga publik akan dapat menilai seberapa objektif suatu badan bekerja.
Lembaga atau badan khusus yang mengurusi perlindungan data pribadi pada prinsipnya harus mampu menyelesaian permasalahan hukum atas data pribadi. Apabila merujuk pada instrumen hukum saat ini pelanggaran data pribadi bisa ditinjau dari tiga bidang hukum, yaitu: (1) hukum administrasi negara, dalam hal tata kelola, (2) hukum perdata, dalam hal ganti kerugian pihak yang merasa dirugikan, (3) hukum pidana, dalam hal perbuatan yang dilakukan melanggar larangan suatu peraturan. Bertolak dari model pelanggaran di atas, maka wilayah yang menjadi kewenangan Kominfo adalah wilayah administratif, sehingga secara prinsip bentuk sanksi yang dibisa dikeluarkan adalah sanksi administratif.
Dari serangkaian pilihan model penyelesaian sengketa, aspek kunci yang harus dipenuhi adalah menyelesaian masalah (sengketa dengan waktu yang secepat-cepatnya). Terlebih lagi bagi sengketa terkait dengan bisnis yang menuntut kecepatan dan keadilan dalam penyelesaian suatu masalah.Alasan munculnya alternatif penyelesaian sengketa adalah keuntungan kedua belah pihak dan dan kesamaan hak (reciprocity rights), yang mana mana pemikiran ini muncul sejak abad ke 10-11 pada arbitrase dalam hukum dagang Eropa Kontinental. Dengan berkembangnya TIK dan pemanfaatannya untuk menunjang optimalisasi bisnis, maka tuntutan akan penyelesaian sengketa yang cepat juga menjadi kebutuhan. (VB-BS).