Berita Banten - Portal Banten - Media Online Banten

Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Kejahatan sejatinya adalah perbuatan yang terjadi diluar norma-norma di dalam masyarakat, norma-norma yang mengatur segala tindak tanduk perilaku masyarakat sehingga menciptakan kenyamanan dan keamanan dalam bermasyarakat. Norma-norma tersebut dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Norma Adat
Suatu norma yang terlahir dari adat istiadat nenek moyang yang turun temurun dilakukan oleh generasi selanjutnya hingga sekarang, yang biasa kita kenal dengan hukum adat, hukum adat di indonesia tidak tertulis akan tetapi dapat menjadi pedoman hidup untuk bisa saling menciptakan kerukunan, norma tersebut sudah terserap dalam jiwa masyarakat itu sendiri akibat kebiasaan-kebiasan masa lalu hingga sekarang.
2. Norma Positif
Suatu norma yang terbentuk dari kesepakatan-kesepakatan didalam pemerintah, sebagai sarana untuk mengatur tata tertib masyarakat, Pemerintah melakukan hal tersebut sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengelola Negara dimana salah satunya untuk menjaga ketentraman dan keamanan di masyarakat. Norma ini biasa kita kenal dengan norma tertulis, salah satu contoh hasil dari norma ini adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan lain-lain.

Dari penjelasan singkat diatas dapat dilihat bahwa hidup kita sebenarnya mempunyai batasan-batasan yang melindungi kita bahkan melindungi orang lain dari tindakan diluar norma atau kejahatan. Kejahatan didalam Hukum biasa disebut tindak pidana, yang memiliki konsekuensi hukum akibat melanggar aturan.

Kejahatan atau tindak pidana bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk seorang ibu yang memiliki anak dalam hal ini bayi atau balita, di Indonesia sudah ada beberapa kasus Pidana yang melibatkan seorang ibu, dari mulai kasus pencurian (Pasal 361 KUHP), kasus penipuan (Pasal 378 KUHP), kasus korupsi (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1)) hingga kasus pembunuhan (Pasal 340 KUHP) dan lain-lain. Kejahatan atau tindak pidana tersebut memiliki konsekuensi hukum sesuai pasal yang mengatur dari mulai hukuman Penjara/Lembaga Pemasyarakatan, Seumur Hidup hingga Hukuman Mati (dilihat dari kasus dan putusan pengadilan).

Untuk hukuman penjara atau lembaga pemasyarakatan biasanya ada masa yang harus ditempuh oleh terpidana sesuai putusan pengadilan, hal tersebut juga berlaku bagi seorang ibu pelaku tindak pidana yang sudah mempunyai bayi atau balita. Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam Konferensi Dinas Pemasyarakatan Tahun 1964, menyampaikan arti penting pembaharuan pidana penjara di Indonesia, yaitu merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini kemudian disusun suatu pernyataan tentang Hari Lahir Pemasyarakatan Republik Indonesia pada hari Senin tanggal 17 April 1964 dan Piagam Pemasyarakatan Indonesia. Disisi lain ada aturan perihal jaminan kesejahteraan anak yang tertuang pada Menurut UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar dan Pasal 2 ayat (3) menyatakan, bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

Hal tersebut lantas memicu perdebatan, ada yang beranggapan bayi atau balita dari terpidana wanita bisa dibawa kedalam penjara atau lembaga pemasyarakatan, dan ada yang beranggapan pula kalau terpidana wanita tersebut tidak “boleh” dipenjara tapi lebih ke Tahanan Rumah atau Tahanan Kota, hal ini lah sedang menjadi buah bibir dimasyarakat, ditengah kasus yang sangat menggemparkan yaitu kasus Dugaan Pembunuhan Berencana dari terduga Jendral Bintang 2 (FS/Ferdi Sambo) yang juga menyeret istrinya (PC/ Putri Candrawathi), yang menjadi pergunjingan dikalangan masyarakat adalah isu PC/Putri Candrawathi yang akan dijadikan Tahanan Rumah dikarenakan memiliki Balita. Hal ini dikumandakan sedemikian rupa oleh berbagai kalangan termasuk diantaranya Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) biasa kita kenal dengan Kak Seto, dan Penyidik Badan Reserse dan Kriminal Polisi Republik Indonesia (Bareskrim Polri), memutuskan (PC/Putri Candrawathi) jalani wajib lapor, mereka beralasan karena masih memiliki anak kecil dan sudah merupakan hak kewenangan penyidik. Dalam kasus meninggalnya Brigadir Yoshua, PC atau Putri Candrawathi yang termasuk salah satu tersangka dalam perkara tersebut tidak ditahan, alasan mengapa PC tidak ditahan antara lain:
-Alasan Kesehatan
-Alasan Kemanusiaan
-Masih Memiliki Balita

Dalam peraturan perundang-undangan syarat tersangka mengajukan penangguhan penanganan dalam proses pidana?. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penangguhan penahanan ini berbeda dengan pembebasan dari tahanan. Supaya seorang tersangka atau terdakwa mendapat penangguhan penahanan, harus ada:
-Permintaan dari tersangka atau terdakwa.
-Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan.
-Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.

Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia beberapa tahun lalu, yang dimana para tersangka atau terpidana tidak mendapatkan rekomendasi keringanan Penangguhan Penahanan atau bahkan Tahanan Rumah. Terpidana seorang ibu yang memiliki anak adalah sebuiah ironi yang mesti mendapat perhatian yang lebih dari Pemerintah terlepas dari kasus yang menjerat ibunya, karena Hak Anak harus di lindungi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002, Idealnya seorang ibu menyertai perkembangan anaknya yang masih kecil. Namun terkadang kondisi ideal ini terkesampingkan saat sang ibu menghadapi kasus hukum dan harus meringkuk di penjara atau lembaga pemasyarakatan perihal kasus-kasus sedang menjerat sang Ibu.
Dalam beberapa kasus, ada ibu yang terpaksa meninggalkan anaknya karena harus tinggal di tahanan selama menjalani proses hukum. Namun ada pula balita yang terpaksa tinggal di penjara lantaran ibunya harus tinggal di hotel prodeo atau lembaga pemasyarakatan atau LAPAS karena terjerat kasus-kasus tertentu .

Berikut ini merupakan beberapa kasus-kasus ibu yang ditahan dan nasib para anak atau balitanya:
1. Ibu Rochisatin (Kasus Perlindungan Imigran)
Ibu Rochisatin Masyawaroh Memboyong anakanya yang berusia 1 Tahun 6 bulan ke penjara setelah di vonis 4 bulan pidana kurungan oleh Hakim Pengadilan Negeri Nunukan, Kalimantan Utara. Ia dinyatakan bersalah setelah terbukti melanggar Pasal 81 Jo. Pasal 69 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

2. Ibu Fatimah, Ibu Martini, Ibu Hulyiah dan Ibu Nurul Hidayah (Kasus Pelemparan Atap Pabrik Tembakau).
Empat ibu ditahan karena atap pabrik, dua diantaranya terpaksa membawa balitanya kedalam penjara. Mereka ditahan dilaporkan melempari pabrik tembakau UD Mawar milik Suhardi pada Desember 2020 di Lombok Tengah).

3. Inisial NM Membesarkan Bayi di Dalam Penjara (Kasus Narkoba 2020)
Seorang Narapidana atau Napi kasus narkotika berinisial NM (25), Terpaksa merawat bayinya dipenjara seorang diri. Napi narkotika itu berasal dari Tanjung Selor yang di vonis pidana pidana penjara 6 Tahun 6 Bulan. Kasi Pembinaan dan Kegiatan Kerja (Kasibinadik dan Giatja) Lapas kelas II B Nunukan, Hendra Maha Saputra mengatakan sebelumnya ibu tersebut sempat menjalani masa tahanan sekitar 6 bulan di Polres Bulungan, diketahui Juni lalu NM dikirim ke Lapas Kelas II B Nunukan untuk jalani masa tahanan.

4. Angelina Sondakh dan Keanu (Kasus Korupsi Penyusunan Anggaran dan Proyek Suap)
Angelina Sondakh telah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Jumat (17/4) lalu terkait kasus wisma atlet dan proyek universitas. Politikus Partai Demokrat ini harus tinggal di ruang tahanan KPK dan meninggalkan buah hatinya yang masih balita, Keanu Massaid (1 tahun 7 bulan) anak dari pasangan Adji Massaid seorang artis atau aktor yang terkenal di Indonesia dan sebagai publik figure ditengah-tengah masyarakat.
KPK memberi keleluasaan kepada Putri Indonesia tahun 2001 ini untuk bertemu anaknya. KPK akan memberikan kesempatan kepada Angie untuk mengajukan nama-nama keluarga yang boleh menjenguk dia setiap saat. Hak yang sama sebelumnya juga pernah dirasakan oleh M Nazaruddin.
5. Herlina dan anaknya Bimo Putro (Kasus Penipuan Rp.6,6 Miliar di PN Sleman)
Herlina harus meringkuk di balik penjara untuk menjalani hukuman karena terlibat kasus penipuan. Bersama suaminya, dia dinilai majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman terbukti bersalah melakukan penipuan Rp 6,6 miliar. Suami-isti itu masing-masing divonis dua tahun enam bulan dan tiga tahun dua bulan penjara dalam persidangan yang digelar pada Mei 2009 lalu di Pengadilan Negeri Sleman.
Bimo yang saat itu baru berusia sekitar 4 bulan harus ikut tinggal di balik jeruji besi Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, sejak ibunya ditahan. Bahkan ketika proses pengadilan masih berlangsung dan orang tuanya harus menjalani sidang, si kecil Bimo yang lahir prematur juga harus dibawa ke pengadilan.
6. Ni Putu Anita (Terjerat Kasus Pembunuhan Pengadilan Negeri Denpasar Bali)
Ni Putu Anita (21) yang terlibat pembunuhan keluarga I Made Purnabawa di Bali terpaksa membawa anaknya dengan inisial A (16 bulan) untuk tinggal di tahanan. Bersama suaminya, Heru (24), Ni Putu Anita harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu melakukan pembunuhan keluarga I Made Purnabawa di Bali.
Polisi mengizinkan Anita membawa anaknya ke tahanan dengan berbagai pertimbangan. Polisi menilai anaknya tak bisa dipisahkan dari ibunya, sehingga kalau dipisahkan malah akan menyengsarakan si Anak tersebut karena kurangnya perhatian.
Anita dan suami tega membunuh I Made Purnabawa sekeluarga yang merupakan majikannya pada awal 2011. Pembunuhan dilakukan lantaran keduanya mengaku sudah 2 bulan tidak digaji.

Dari beberapa kasus diatas tentunya masih banyak lagi kasus-kasus lain yang melibatkan wanita yang mempunyai bayi atau balita, tetapi tidak mendapatkan keistimewaan seperti PC/Putri Candrawathi. Dan lembaga-lembaga yang berdedikasi untuk Kepentingan Anak harusnya tidak “Tebang Pilih” untuk kasus-kasus yang menjerat para Ibu yang memiliki Bayi atau Balita, harusnya mereka juga memperjuangkan Hak Anak-Anak lain di pelosok-pelosok negeri, agar masyarakat kecil juga merasakan kepedulian Pemerintah khususnya dalam hal kasus-kasus Tindak Pidana.

Hal ini sudah diatur dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak (KHA) atau lebih dikenal sebagai UN-CRC (United Nations Convention on the Rights of the Child) adalah sebuah perjanjian hak asasi manusia yang menjamin hak anak pada bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya yang disahkan pada tahun 1989 oleh PBB. Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen internasional yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 19901 . Konvensi ini dibagi menjadi delapan kluster, yaitu langkah-langkah implementasi; definisi; prinsip-prinsip; hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya, dan rekreasi; dan perlindungan khusus. (VB-BS.)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *