Berita Banten - Portal Banten - Media Online Banten

Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Menjelang pesta Demokrasi pemilihan umum (pemilu), selalu dibumbui dengan hal menarik untuk diperbincangkan, seperti akhir-akhir ini kembali lagi kita ditampilkan informasi tentang mantan narapidana yang akan turun gunung memperebutkan suara rakyat untuk mendapatkan kursi kepala daerah pada saat pemilu mendatang.

Terkait hal ini banyak masyarakat yang memberikan komentarnya, seperti “Masyarakat indonesia lebih dari 250 juta penduduk, kenapa harus mantan narapidana yang diberi kesempatan ? bukankah masih banyak generasi bangsa indonesia yang berkompeten untuk ikut andil memperbaiki citra Indonesia untuk menduduki kursi kepala daerah agar semakin baik lagi kedepannya”?

Ada juga yang mengatakan sah-sah saja siapapun yang ingin ikut serta dalam pesta demokrasi untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Lantas bagaimana sebenarnya aturan hukum kita mengatur tentang hal ini ? apakah mantan narapidana masih bisa ikut mencalonkan diri menjadi kepala daerah?

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada pasal 7 dijelaskan bahwa salah satu syarat bagi setiap warga negara yang ingin mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 pada halaman 65 dijelaskan bahwa: calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Dalam Pasal 28 huruf D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa “setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam hal pemilu, hak politik warga negara dalam pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah , yakni hak untuk memilih dan dipilih merupakan suatu hak asasi yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sistem pencalonan kepala daerah yang tadinya melarang mantan narapidana untuk ikut serta dalam pilkada. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa aturan larangan narapidana tidak boleh mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah adalah inkonstitusional. Meski begitu, Mahkamah Konstitusi membuat keputusan bahwa agar rakyat dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bahwa mantan narapidana yang maju menjadi calon kepala daerah harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya agar tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan latar belakang dirinya.

Karena pada hakikatnya demokrasi sesungguhnya tidak semata-mata diletakkan pada pemenuhan kondisi siapa yang terpilih dengan suara terbanyak oleh rakyat pada saat pemilu, dan siapa yang memiliki hak untuk memerintah sebagai kepala daerah, melainkan berujung pada tujuan akhir yang hendak diwujudkan, yaitu hadirnya pemimpin sebagai kepala daerah yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat sehingga menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini tentu menjadi pertimbangan kepada kita semua untuk menentukan siapa yang akan kita jadikan nahkoda untuk membawa kita kepada perubahan yang lebih baik lagi kedepan, jangan sampai seperti kata pepatah: “Hanya Keledai Yang Jatuh Kelubang Yang Sama Dua Kali”. (VB-BS).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *