Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Belakangan ini, kasus proyek Meikarta kembali mencuat di berbagai media massa. Meikarta adalah sebuah proyek kota terencana berlokasi di Kabupaten Bekasi dan resmi diluncurkan pada 17 Agustus 2017. Berbagai strategi pemasaran dilakukan secara masif guna menyedot perhatian publik untuk membeli unit apartemen di kota baru tersebut. Bahkan konon pemasarannya merupakan belanja iklan tertinggi sepanjang 2017 dengan biaya lebih dari Rp 1,5 triliun. Namun sayangnya, pembangunan proyek Meikarta menghadapi berbagai masalah sehingga terjadi keterlambatan dan bahkan penghentian pekerjaan sementara. Berbagai alasan dikemukakan mulai dari permasalahan perizinan lahan, gugatan pailit oleh dua vendornya, hingga indikasi kasus korupsi yang menyeret sejumlah pejabat antara lain Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, hingga Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi. Berbagai permasalahan ini tampaknya membuat progres pembangunan proyek Meikarta menjadi tersendat.
Pada akhirnya, para konsumen yang sudah menanti selesainya unit mereka merasa kecewa dengan telatnya penyelesaian proyek Meikarta. Hal ini terlihat dari lambannya progress pekerjaan di lapangan dan mundurnya serah terima unit kepada konsumen. Beberapa konsumen ditawari untuk pindah ke unit lain yang tidak sesuai dengan perjanjian di awal. Bahkan menurut Ketua Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) Bapak Aep Mulyana, hanya 1.800 unit di Tower 11 dan 12 yang sudah diserahterimakan per Desember 2022. Sementara jumlah unit yang terjual sebanyak 130 ribu. Hingga kini, pihak pengembang tetap bersikukuh akan menyerahkan unit apartemen secara bertahap hingga 2027. Sedangkan menurut pihak konsumen, mereka tertipu dengan sistem pemasaran pre project selling dimana mereka sudah membayar sejumlah uang dan tidak tahu akan kembali (dalam bentuk unit atau lainnya) atau tidak. Lantas bagaimana kedudukan sistem pemasaran pre project selling ini menurut kacamata hukum dan praktik di industri konstruksi?
Sistem pemasaran pre project selling sebenarnya bukan barang baru di industri konstruksi, terutama properti. Pre project selling merujuk pada sistem pemasaran suatu produk sebelum produk yang dijual itu sudah dibangun. Menurut Li dan Chau (2018), sistem pemasaran ini menawarkan beberapa kelebihan kepada pengembang dan konsumen. Bagi pengembang, mereka dapat memitigasi risiko berkenaan ketidakpastian fluktuasi harga di masa depan dengan mengamankan transaksi harga di tahap awal. Mereka juga dapat memanfaatkan pendapatan dari penjualan unit untuk membiayai pembangunan. Sedangkan bagi konsumen, harga unit pada sistem pre project selling lebih kompetitif dibandingkan spot sales (penjualan setelah bangunan jadi). Pada beberapa kasus, konsumen juga dapat menjual kembali properti mereka meskipun belum selesai dibangun.
Seiring dengan bergulirnya kasus Meikarta, muncul berbagai kritik dan penelitian terkait pre project selling dalam pemasaran properti ini. Dari kacamata hukum, pemasaran dengan sistem pre project selling dibenarkan sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pasal 42(1) UU ini menyebutkan bahwa rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli (pre project selling) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 42(2) menguraikan persyaratan pengembang untuk sekurang-kurangnya memiliki: a. kepastian peruntukan ruang, b. kepastian hak atas tanah, c. kepastian status penguasaan rumah susun, d. perizinan pembangunan rumah susun, dan e. jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin. Adapun proses jual beli sebelum pembangunan rusun selesai dapat dilakukan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat di hadapan notaris (Pasal 43(1)). PPJB yang dimaksud dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: a. status kepemilikan tanah, b. kepemilikan IMB, c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum, d. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen), dan e. hal yang diperjanjikan. Kejelasan mengenai sistem pre project selling dan persyaratannya dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pasal 22B dan 22C. Pasal 22H PP ini menguraikan hak konsumen untuk membatalkan pembelian rusun bilamana pengembang lalai memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pemasaran pre project selling sah dan dapat dilakukan oleh pengembang. Di sisi lain, calon konsumen yang hendak membeli unit properti yang menerapkan sistem pemasaran pre project selling ini harus sadar dengan risiko pembangunan yang mungkin kelak dihadapinya. Bagi konsumen yang telah membeli unit properti dengan sistem ini disarankan untuk dapat merujuk kembali pada klausul-klausul PPJB yang telah ditandatangani bersama. Di sisi lain, penulis menilai perlu bagi pemerintah untuk meninjau kembali prosedur dan pengelolaan pemasaran properti dengan sistem pre project selling ini. Pemerintah harus dapat memberikan kepastian hukum demi keadilan masyarakat dengan menyediakan mekanisme sistem pre project selling yang lebih baik dan bertanggung jawab. Apabila tidak dilakukan, maka tidak pelak kejadian seperti kasus Meikarta akan kembali terulang di masa mendatang. VB-Putra Trisna.