Tangerang Selatan, (variabanten)-Setiap anak adalah aset negara yang memiliki peran strategis dalam membawa arah eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Anak-anak yang berakhlak mulia, berpendidikan, dan kreatif adalah kunci keberhasilan suatu negara untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Seperti yang tertuang dalam konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) pada bagian menimbang dijelaskan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, oleh karena itu anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, dan perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya.

Namun, tidak setiap anak mendapatkan kesempatan berkembang yang optimal dalam hidupnya. Selain faktor intrinsik anak yang secara psikologis dan biologis anak yang masih dalam pertumbuhan sehingga seringkali tidak stabil, faktor ekstrinsik seperti lingkungan sekitar anak juga mempengaruhi perkembangan setiap anak yang menentukan setiap tindakannya. Tidak jarang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak optimal untuk perkembangannya akan tumbuh menjadi anak yang bermasalah.

Kasus kenakalan anak di Indonesia memang bukan merupakan hal baru. Di awal September tahun 2013, Indonesia dikejutkan dengan berita kecelakaan yang melibatkan AQJ, putra ketiga dari musisi kondang AD dan ME. Kecelakaan tersebut menyebabkan total 6 orang tewas dan 9 orang luka-luka. Berita ini kontan menjadi polemik di masyarakat. Seketika sebagian besar media membahas mengenai pertanggungjawaban pidana seorang AQJ yang waktu itu masih berusia 13 tahun. Pertanggungjawaban pidana atas kasus tersebut juga menjadi permasalahan bagi aparat hukum dan sejumlah lembaga pemerhati anak. Mengingat kasus tersebut terjadi pada masa transisi pemberlakuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), sementara ketentuan peradilan pidana pada kedua undang-undang tersebut agak jauh berbeda, terutama untuk penetapan batas usia pertanggungjawaban pidanan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menganut double track system. Yang dimaksud dengan double track system adalah sistem dua jalur dimana selain mengatur sanksi pidana juga mengatur tindakan.Terkait dengan sanksi yang dijatuhkan terhadap anak nakal, UU sistem peradilan pidana anak telah mengaturnya yaitu dalam Pasal 71 yaitu pidana pokok terhadap anak yang melakukan tindak pidana adalah pidana peringatan, pidana dengan syarat, dan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat serta perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

Dalam hukum positif di Indonesia sebenarnya telah diakui adanya sanksi selain pidana yaitu tindakan. Meskipun didalam KUHP Pasal 10 hanya mengatur single track system yaitu sanksi pidana saja. Ini membuktikan bahwa dalam UU sistem peradilan pidana anak terdapat salah satu cara mediasi penal untuk menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Sanksi tindakan dalam UU sistem peradilan pidana anak diatur dalam Pasal 82 yaitu berupa pengembalian terhadap orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan dirumah sakit jiwa, kewajiban mengikuti pendidikan formal/pelatihan yang diadakan oleh pemerintah, perawatan di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pencabutan surat izin mengemudi dan perbaikan akibat tindak pidana.

Ditinjau dari teori-teori pemidanaan, sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan karena dengan beranggapan bahwa suatu pemidanaan dapat mencapai tiga hal, yakni untuk melindungi tata tertib hukum, untuk mencegah orang melakukan kejahatan dan untuk membuat orang jera melakukan kejahatan. Sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat mendidik, tidak membalas guna menciptakan pencegahan khusus yaitu tujuan yang ingin dicapai adalah membuat jera, memperbaiki, dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan itu lagi. Singkatnya, sanksi pidana merupakan implementasi dari pengenaan sanksi pidana pada pelaku dan sanksi tindakan berorientasi pada keamanan dan perlindungan masyarakat.

Dalam Undang-undang sistem peradilan pidana anak, upaya hakim dalam menangani perkara anak nakal di luar pengadilan ditekankan pada dua cara, yaitu:
A. Keadilan Restorative, yang merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan; (Pasal 1 Angka 6).
B. Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 Angka 7). Pada dasarnya, diversi ini dilakukan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di sidang pengadilan dan dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (recidive). Selain itu, hakikat pokok dilakukan diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar prose peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Dalam dua upaya ini, Hakim bertindak sebagai mediator untuk menengahi permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum, dan diharapkan dapat mencapai suatu kesepakatan yang adil dan tidak berat sebelah.

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Bagi Akademisi
Diharapkan agar para akademisi terus mengadakan penelitian-penelitian hukum yang dapat mendukung upaya-upaya perlindungan anak lainnya, tidak hanya dalam hal ketentuan batas usia pertanggungjawaban pidana anak. Sehingga hukum pidana anak di Indonesia nantinya lebih bersifat progresif, di mana perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia dan masyarakat harus diperhatikan guna menciptakan ketentuan hukum yang terbaik bagi anak.

2. Bagi Pemerintah
Pemerintah diharapkan dapat terus melakukan harmonisasi dengan instrumen-instrumen hukum internasional dan instrumen hukum nasional dalam bidang hukum pidana anak agar tercipta keselarasan dan kepastian hukum. Selain itu, pendekatan Restorative justice dan diversi yang terkandung dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak harus dapat diterapkan dengan baik, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memilih lembaga-lembaga yang dapat menangani anak secara profesional sehingga dapat menjalankan tugasnya untuk memaksimalkan pelaksanaan ketentuan hukum yang ada dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat mendukung segala bentuk upaya perlindungan dan peningkatan kepedulian demi kepentingan terbaik bagi anak. Salah satu caranya adalah dengan mendukung segala ketentuan dan program pemerintah guna menciptakan hukum yang paling sesuai untuk anak.

DAFTAR PUSTAKA
– Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
– Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, Alumni, Bandung, 2010.
– Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
– Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
– Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
– Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.