Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Tindak pidana pemerkosaan di Indonesia semakin marak terjadi, korban nya tidak hanya perempuan dewasa, tetapi juga perempuan remaja dan anak-anak. Pemerkosaan memiliki dampak mendalam dan berkepanjangan bagi korban, kejadian tersebut tidak hanya menimbulkan luka fisik, namun juga dampak psikologis seseorang. Banyak sekali kasus tindak pidana pemerkosaan, mengakibatkan kehamilan bagi korban. Sehingga hal ini dapat memperburuk kondisi mental psikologis korban, bahkan banyak sekali korban yang tidak siap menerima kenyataan bahwa mereka hamil akibat pemerkosaan. Karena kehamilan akibat pemerkosaan menciptakan beban yang berlipat ganda bagi korban, beberapa dari mereka harus menghadapi trauma dari kekerasan seksual yang mereka alami, sekaligus mendapati kenyataan pahit dari kehamilan yang ia tidak inginkan. Maka aborsi bagi korban tindak pidana pemerkosaan, menjadi topik yang sensitif dan cukup penting untuk dibahas. Kasus seperti ini memerlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak yaitu pemerintah, lembaga hukum, dan juga masyarakat luas.
Ketentuan aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diatur baik dalam KUHP lama yang sekarang berlaku, dan juga Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2023 yang berlaku pada 3 tahun sejak tanggal diundangkan. Bahwasannya dalam Pasal 346 KUHP berbunyi “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”, begitu juga dengan Pasal 463 ayat (1) UU No 1 Tahun 2023 yang berbunyi “Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.” Keduanya dengan tegas menyatakan bahwa aborsi adalah suatu perbuatan yang dilarang sehingga dapat dijerat Pasal 364 KUHP atau Pasal 463 ayat (1) UU RI No 1 Tahun 2023. Namun masih dalam Pasal 463 ayat (2) UU RI No 1 Tahun 2023, yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis”. Sehingga dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2023 melarang perbuatan aborsi, terkecuali perempuan merupakan korban pemerkosaan.
Menurut aspek hukum kesehatan, berdasarkan pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, yang berbunyi “Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana”. Dilanjutkan pada Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 bahwa pelaksanaan aborsi dengan kriteria yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan dibantu tenaga kesehatan yang memiiki kompetensi serta kewenangan, juga pada fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri, serta dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami kecuali korban perkosaan.
Aborsi bagi korban tindak pidana pemerkosaan, juga diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 Tahun 2014, yaitu tindakan aborsi hanya dapat dilakukan jika ada indikasi kedaruratan medis, atau kehamilan akibat pemerkosaan. Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 Tahun 2014 juga mengatur usia kehamilan apabila korban pemerkosaan ingin melakukan aborsi, dalam Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi bahwa “Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir”
Dapat disimpulkan bahwa korban pemerkosaan merupakan pengecualian dari larangan aborsi. Bertujuan untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum, terhadap hak-hak reproduksi korban pemerkosaan. Tetapi tetap aborsi bagi korban pemerkosaan diatur dengan ketat dalam kerangka hukum Indonesia. Begitupun dengan prosedur untuk melakukan aborsi bagi korban pemerkosaan mencakup konseling pra dan pasca-aborsi. Konseling ini bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas kepada korban mengenai prosedur, risiko, dan pilihan yang tersedia, serta untuk menilai kesiapan mereka dalam mengambil keputusan.
Memang dalam hal ini, aborsi bagi korban pemerkosaan telah menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Beberapa diantaranya khawatir akan penyalahgunaan aturan ini. Namun beberapa pendapat yang lainnya, mendukung perlindungan hukum bagi korban, untuk menjaga kesehatan mental dan juga untuk kesehatan reproduksi korban. Trauma psikologis korban juga dapat diperparah, jika ia tetap harus mempertahankan kehamilan yang ia tidak inginkan. Sehingga aborsi dalam kasus ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk perawatan kesehatan mental. Setelah kita lihat regulasi terkait aborsi bagi korban tindak pidana pemerkosaan. Maka perlu lah pengawasan yang lebih ketat, dan penting untuk memastikan tidak adanya penyalahgunaan aborsi tersebut dengan memberikan pembuktian yang kuat. Serta mengoptimalkan akses layanan medis yang aman dan profesional dalam melakukan aborsi bagi korban pemerkosaan, sehingga dalam pelaksanaan aborsi bagi korban tindak pidana pemerkosaan berjalan sesuai dengan regulasi yang ada. Karena perempuan korban pemerkosaan berhak mendapatkan jaminan perlindungan, keadilan oleh konstitusi sebagai upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak perempuan dari sikap diskriminasi perempuan. Korban juga berhak mendapatkan kesempatan untuk menata kehidupannya kembali, karena kehamilan yang ia tidak inginkan dapat mengganggu dalam melanjutkan pendidikan, karier, dan hubungan sosial korban.
Penegakan hukum aborsi bagi korban pemerkosaan di Indonesia masih menghadapi banyak sekali tantangan. Meskipun terdapat landasan hukum yang mengatur, namun dalam implementasi nya di lapangan masih belum sesuai. Maka dari itu, untuk memberikan perlindungan yang lebih bagi korban, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga terkait, masyarakat, dan juga tenaga kesehatan.
Sumber
Adhitya, muhammad rofiq. “tindakan aborsi akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban.” lex administratum 12.1 (2023)
https://www.hukumonline.com/klinik/a/ketentuan-aborsi-bagi-korban-pemerkosaan lt5a152c3faed27/23).
Afifah, wiwik. “perlindungan hukum bagi perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi.” dih: jurnal ilmu hukum 9.18 (2013): 240061.
Novita novi sh, m. H. “aborsi terhadap korban tindak pidana pemerkosaan.” belom bahadat 13.1 (2023): 41-60.FB-Putra Trisna.