TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Belakangan ini, wacana publik kembali diramaikan oleh kebijakan kontroversial yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait penanganan anak-anak yang dianggap bermasalah atau “nakal”. Kebijakan yang dimaksud adalah pengiriman sejumlah siswa bermasalah ke barak militer untuk mendapatkan pembinaan berbasis kedisiplinan militer. Meskipun dilabeli sebagai program pembinaan karakter dan disebut-sebut mampu memberikan perubahan perilaku yang signifikan dalam waktu singkat, pendekatan ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip perlindungan anak, fungsi kelembagaan negara, serta tujuan pendidikan nasional. Di tengah gelombang dukungan masyarakat yang besar, kebijakan ini sesungguhnya memuat paradoks mendalam yang patut dikritisi secara rasional dan konstitusional.
Paradoks utama dari kebijakan ini terletak pada pendekatan militeristik terhadap anak-anak yang sesungguhnya berada dalam fase perkembangan psikososial yang kompleks. Anak-anak bukanlah individu yang dapat dibentuk hanya melalui tekanan disipliner ala militer, melainkan subjek yang harus dilindungi, dibimbing, dan dikembangkan secara holistik sesuai dengan kapasitas dan kebutuhannya. Sayangnya, dalam kebijakan ini, anak-anak justru diperlakukan sebagai objek yang harus “dibenahi” secara cepat melalui metode indoktrinasi kedisiplinan. Padahal, tidak ada pendekatan tunggal yang bisa secara efektif mengubah perilaku anak tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial, psikologis, dan keluarganya.
Lebih lanjut, pelibatan unsur militer dalam program ini secara prinsipil bertentangan dengan konstitusi dan regulasi yang mengatur tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia. TNI, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, memiliki fungsi pokok dalam pertahanan negara, bukan sebagai institusi pembinaan anak. Penempatan TNI dalam wilayah sipil, terlebih dalam konteks pengasuhan dan pendidikan anak, mencederai prinsip subordinasi militer di bawah otoritas sipil serta membuka ruang bagi praktik-praktik yang tidak sesuai dengan pendekatan pembangunan manusia berbasis hak.
Kebijakan ini juga tidak sejalan dengan arah sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh, baik dari aspek intelektual, spiritual, sosial, maupun emosional. Pendidikan bukan sekadar proses pengendalian perilaku, melainkan sarana pembentukan karakter yang bersifat reflektif dan partisipatif. Ketika anak-anak yang dianggap bermasalah justru dikeluarkan dari lingkungan sekolah dan dimasukkan ke barak militer, maka yang terjadi adalah pemutusan rantai pendidikan formal yang seharusnya menjadi medium utama transformasi sosial anak.
Tidak kalah penting adalah soal klasifikasi anak yang dianggap “nakal”. Hingga kini, tidak ada definisi hukum maupun kriteria objektif yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan siapa yang layak dimasukkan dalam program barak militer tersebut. Ketidakjelasan ini membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang, stigmatisasi, dan pelanggaran hak anak. Anak dengan latar belakang keluarga bermasalah, keterbatasan ekonomi, atau gangguan psikologis ringan bisa saja dianggap “nakal” semata-mata karena penyimpangan perilaku yang sebenarnya bisa ditangani dengan pendekatan psikososial atau konseling yang memadai. Ini memperlihatkan bahwa akar masalah seringkali tidak ditelusuri secara menyeluruh, melainkan dipotong pendek melalui generalisasi yang menyederhanakan kompleksitas perilaku anak.
Di sisi lain, ketika anak yang menjadi subjek program adalah anak yang telah menjadi tersangka atau pelaku tindak pidana, pendekatan karakter dan disiplin memang diperlukan. Namun demikian, tempat dan metode yang digunakan seharusnya disesuaikan dengan prinsip sistem peradilan pidana anak yang restoratif. UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012) mengamanatkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum wajib diperlakukan secara khusus dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak. Pembinaan bagi anak pelaku tindak pidana harus dilakukan di lembaga yang dirancang khusus, seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), bukan di lingkungan militer yang tidak dirancang untuk rehabilitasi berbasis perlindungan anak.
Kebijakan ini memang menarik simpati publik karena dianggap mampu memberikan hasil instan. Perubahan perilaku anak yang ditampilkan ke media, pengakuan kedisiplinan yang meningkat, serta testimoni yang dikurasi menjadi narasi keberhasilan, membuat masyarakat percaya bahwa pendekatan ini efektif. Namun, keberhasilan yang terlihat dalam waktu singkat belum tentu mencerminkan perubahan jangka panjang yang berkelanjutan. Justru, pendekatan instan semacam ini berisiko mengabaikan aspek-aspek penting dari perkembangan anak yang memerlukan konsistensi, keteladanan, dan lingkungan yang suportif.
Fakta bahwa kebijakan ini memperoleh dukungan luas dari masyarakat menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat untuk memilih solusi cepat terhadap masalah sosial, bahkan jika solusi tersebut berpotensi melanggar prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan tantangan besar dalam membangun kesadaran publik tentang pentingnya pendekatan yang lebih humanistik, partisipatif, dan berbasis keadilan dalam menangani masalah perilaku anak. Kita membutuhkan lebih banyak edukasi publik agar masyarakat memahami bahwa membina anak bukan sekadar soal membuat mereka takut dan patuh, tetapi juga mendidik mereka untuk berpikir, merasakan, dan bertanggung jawab atas pilihan hidupnya.
Paradoks militerisasi anak nakal ini pada akhirnya menjadi refleksi atas cara kita memandang anak dan masa depan mereka. Selama anak terus diposisikan sebagai objek kontrol dan bukan subjek yang berhak atas perlindungan, pendidikan, dan partisipasi, maka program-program seperti ini akan terus mengemuka mengandalkan ketakutan, bukan kesadaran; mendisiplinkan tubuh, bukan membangun jiwa. Maka sudah seharusnya kita menolak pendekatan yang represif terhadap anak, dan mendorong hadirnya kebijakan publik yang selaras dengan prinsip-prinsip perlindungan anak dan pembangunan manusia seutuhnya.
VB-Putra Trisna.