
SERANG, (variabanten.com) – Apakah “sudah tidak cocok” pantas menjadi alasan bubarnya rumah tangga? Kalau iya, maka cinta bukan lagi janji suci, melainkan kontrak singkat. Sayangnya, hari ini itulah yang terjadi di banyak sidang Pengadilan Agama.
Menurut data resmi PA Serang (pa-serang.go.id), hingga Agustus 2024, tercatat 2.349 perkara perceraian, terdiri dari 1.308 cerai gugat oleh istri dan 1.041 cerai talak oleh suami. Tahun sebelumnya bahkan lebih tinggi yaitu 5.905 perkara sepanjang 2023 menurut PTA Banten. Kita menghadapi darurat perceraian dan lebih dari separuhnya disebabkan alasan-alasan umum: ekonomi, beda prinsip, komunikasi tak nyambung.
Ironisnya, banyak pasangan muda lebih memilih cerai daripada berjuang memperbaiki. Konflik kecil jadi drama besar. Masalah yang bisa diselesaikan dengan bicara malah dibawa ke meja hakim. Seolah-olah perceraian hari ini bukan lagi jalan terpaksa, tapi pilihan gaya hidup.
Zainab, putri Nabi Muhammad SAW, pernah mengalami konflik keyakinan dalam rumah tangganya. Suaminya, Abul Ash, kala itu belum memeluk Islam. Tapi Zainab tak serta-merta minta cerai. Ia sabar, berdoa, dan tetap menjaga ikatan. Cinta yang digenggam dengan iman dan keteguhan ternyata lebih tahan lama dari kenyamanan instan.
Kita juga punya figur lokal yang tak kalah relevan: Buya Siti Rahmah el-Yunusiyyah, ulama perempuan pendiri Diniyah Putri Padang Panjang. Ia mendidik ribuan perempuan agar kuat secara spiritual dan intelektual, siap menjadi istri dan ibu yang bukan hanya penurut, tapi juga tangguh. Ia percaya pernikahan adalah proyek peradaban, bukan sekadar urusan perasaan.
Sayangnya, hari ini banyak orang menikah hanya karena cinta, tapi lupa belajar bertahan. Banyak yang siap duduk di pelaminan, tapi tak siap duduk menyelesaikan masalah. Maka tak heran, ketika konflik datang, yang dicari bukan solusi, tapi pengacara.
Apa yang salah? Salah satunya: pendidikan pranikah kita terlalu formalitas. Satu dua seminar, lalu selesai. Padahal yang dibutuhkan adalah pendidikan yang menyentuh akhlak, komunikasi, pengelolaan emosi, dan pemahaman hukum keluarga.
Kalau saja setiap pasangan punya sepertiga dari kesabaran Zainab, dan sepercik dari ilmu Buya Siti Rahmah, mungkin ruang sidang Pengadilan Agama bisa buka setengah hari saja.
Pernikahan bukan ajang coba-coba. Ia bukan soal cocok atau tidak cocok hari ini, tapi bagaimana tetap berpegang ketika badai datang. Zaman boleh cepat, tapi cinta dan tanggung jawab tak bisa disulap instan. Kita butuh generasi yang tahan banting, bukan yang cepat baper.
VB-Sf.






