Antara Frustrasi, Malu, dan Ledakan Emosi Menjadi Tindakan Kriminal, Oleh Margiono Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang

SERANG, (variabanten.com) — Frustrasi, malu, dan ledakan emosi bukanlah sekadar istilah psikologis. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, ketiga hal ini kerap menjadi “kompor dalam sekam”, diam-diam membakar dan akhirnya meledak dalam bentuk tindakan kekerasan yang tak pernah diduga.

Kita hidup dalam masyarakat yang penuh tekanan, ekonomi makin sulit, ekspektasi sosial makin tinggi, dan ruang untuk mengekspresikan kegelisahan makin sempit. Maka jangan heran jika satu teguran, satu konflik kecil, atau satu utang yang belum lunas bisa berujung pada kemarahan, pemukulan, bahkan pembunuhan.

Ketika Harapan Tak Lagi Bertemu Realita

Dalam perspektif sosiologi hukum, frustrasi sosial bukan sekadar kekecewaan personal. Ia adalah produk sistemik dari ketimpangan harapan dan realita. Ketika masyarakat dijanjikan kesejahteraan, tapi tidak diberi akses nyata terhadap pekerjaan, pendidikan, dan keadilan, maka lahirlah ketegangan (strain). Dari sinilah frustrasi memuncak dan membuka jalan pada penyimpangan perilaku.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga, pertikaian antarwarga, bahkan tindakan kriminal ekstrem sering kali lahir dari situasi frustratif yang tidak pernah diurai secara tuntas. Ini bukan pembenaran atas kejahatan, tetapi penjelasan mengapa banyak kekerasan berakar pada sistem yang gagal memberikan rasa aman dan harapan.

Contoh Kasus: Pada Juni 2025, Kota Cilegon digemparkan oleh pembunuhan seorang perempuan paruh baya bernama Siti Mariam (48). Ia dibunuh oleh dua orang rekan dalam kelompok arisan karena persoalan utang-piutang senilai Rp10 juta. Pelaku merasa terpojok dan malu saat ditagih, lalu nekat menghabisi korban dengan cara keji. (Sumber: Kompas.tv, 2025)

Selaras dengan pernyataan; Dr. Bambang Widodo Umar, pakar kriminologi dari Universitas Indonesia. Yang saya kutip dari UI Press, Menurutnya; “tindakan kekerasan yang dipicu tekanan emosional dan rasa malu seringkali berakar pada persoalan sosial yang kompleks. Ketika saluran penyelesaian konflik secara legal maupun sosial tidak efektif, maka ledakan emosi menjadi ekspresi akhir dari tekanan tersebut” (Umar, Jakarta: UI Press 2019).

Bukan Sekadar Perasaan, Tapi Tekanan Sosial

Dalam masyarakat kita, rasa malu bisa menjadi hukuman sosial yang sangat berat. Malu dianggap aib, apalagi jika menyangkut utang, status ekonomi, atau urusan keluarga. Banyak orang bertahan hidup bukan untuk hidup layak, tetapi untuk “jaga muka”.

Saat seseorang merasa dipermalukan baik secara terang-terangan atau simbolik, ia bisa bereaksi ekstrem demi menjaga martabatnya. Tak sedikit kasus penganiayaan bahkan pembunuhan yang dipicu rasa malu. Dalam kriminologi, hal ini disebut sebagai reaksi defensif terhadap ancaman identitas sosial.

Mengutip perkataan; Prof. Satjipto Rahardjo (alm), seorang begawan sosiologi hukum Indonesia, pernah menyatakan bahwa “hukum tidak boleh terasing dari denyut kehidupan masyarakat. Bila tidak mampu memahami realitas sosial yang melatarbelakangi tindakan, maka hukum akan kehilangan makna keadilan” (Rahardjo, 2006 Kompas).

Ketika Sistem Gagal Jadi Penyangga

Teori kontrol sosial dalam kriminologi menyebut, manusia akan cenderung melanggar hukum ketika kontrol internal (diri) dan kontrol eksternal (masyarakat) melemah. Dalam konteks Indonesia, kontrol sosial informal yang dulu kuat, seperti peran tokoh masyarakat, keluarga besar, dan budaya malu mulai terkikis oleh gaya hidup individualistik dan tekanan ekonomi.

Akibatnya, saat emosi datang, tak ada lagi sistem yang mampu meredam. Maka konflik pun membesar, emosi meledak, dan tindakan nekat terjadi. Ini bukan soal jahat atau tidak jahat, tapi soal rapuhnya sistem penahan amarah di masyarakat kita.

Mencegah Sebelum Meledak

Agar frustrasi, rasa malu, dan emosi tidak terus menjadi bahan bakar kekerasan, negara dan masyarakat perlu berbenah. Edukasi hukum, literasi emosional, layanan konseling komunitas, dan sistem mediasi konflik berbasis lokal harus diperkuat.

Jangan biarkan satu utang kecil berakhir di liang kubur. Jangan tunggu satu konflik ringan berubah jadi tragedi besar. Hukum bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi juga mencegah agar tidak ada lagi yang tersesat.

Referensi:
1. Kompas.TV. (2025). “2 Teman Arisan Bunuh Perempuan di Cilegon, Polisi: Motif Utang Piutang.” Diakses dari: https://www.kompas.tv/regional/600075/2-teman-arisan-bunuh-perempuan-di-cilegon-polisi-motif-utang-piutang

2. Umar, B. W. (2019). “Kriminologi: Teori dan Aplikasi.” Jakarta: UI Press.
3. Rahardjo, S. (2006). “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan.” Kompas.

(*/Sf).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *