
SERANG, (variabanten.com) – Cinta, dalam bayangan banyak orang, seharusnya jadi ruang pulang yang hangat dan menyelamatkan. Tapi di Kota Serang, cinta justru menjadi tragedi. WP (32) tega menghabisi nyawa istrinya, PS (35), setelah perselingkuhannya terbongkar. Tak hanya itu, ia bahkan menyusun skenario perampokan palsu untuk menutupi kejahatan. Sampai akhirnya, suara anaknya sendiri membongkar semua.
Kisah ini tak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari pola besar yang sedang berlangsung di mana cinta yang salah arah justru jadi pemantik kekerasan.
Data Tak Lagi Diam.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024:
• 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun.
• 330.097 di antaranya adalah kekerasan berbasis gender.
• 67% kasus pembunuhan terhadap perempuan dilakukan oleh suami, pacar, atau mantan.
(Sumber: Komnas Perempuan).
Angka ini bukan sekadar statistik. Ini jeritan yang membeku di balik tembok rumah, yang kadang tak terdengar karena kita terlalu sibuk mengurusi yang lain.
Ketika Emosi Lebih Tajam dari Logika.
Dalam ilmu kriminologi, dikenal istilah teori frustrasi–agresi: ketika seseorang merasa gagal mengelola konflik atau tekanan emosional, ia cenderung melampiaskannya melalui kekerasan. WP, dalam konteks ini, bukan hanya pelaku pembunuhan tapi juga simbol kegagalan sosial dalam mengelola relasi.
Kenapa bisa begini? Karena masyarakat kita masih lebih rajin menghafal rumus ketimbang diajarkan cara mengelola rasa kecewa dan membangun hubungan sehat.
Agama dan Nilai, Pilar yang Dilupakan
Padahal semua agama mengajarkan kasih sayang. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW pernah berkata:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. Tirmidzi).
Tapi ajaran ini sering kali tinggal di mimbar. Kita lupa menghidupkannya dalam kehidupan nyata di sekolah, di media sosial, di rumah, bahkan dalam peraturan negara. Agama bukan hanya soal ibadah, tapi juga nilai yang mencegah kekerasan. Jika nilai-nilai itu hidup sejak dini, tindakan represif bisa dicegah.
Hukum yang Terlambat Menyelamatkan.
Setelah PS tewas, barulah hukum datang. WP dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Tapi istri yang meninggal tak bisa dihidupkan. Di sinilah masalah besar kita: hukum masih reaktif, belum preventif. Belum ada aturan yang jelas soal kekerasan dalam relasi pacaran, atau dalam hubungan emosional tanpa pernikahan. Negara terlambat, karena menunggu korban dulu baru bergerak.
Lima Solusi untuk Menjaga Cinta Tetap Waras.
1. Revisi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, agar mencakup kekerasan dalam pacaran dan relasi emosional.
2. Masukkan pendidikan cinta sehat dan nilai agama ke kurikulum sekolah.
3. Wajibkan konseling pranikah dan pascaperceraian yang integratif.
4. Kampanye nasional: #CintaTanpaKekerasan.
5. Kolaborasi antara psikolog, tokoh agama, dan penyuluh hukum di tingkat desa.
Karena Cinta yang Benar Tak Pernah Membunuh
Tragedi di Serang adalah alarm. Bahwa cinta, jika tumbuh tanpa nilai dan pengendalian diri, bisa berakhir di meja otopsi. Cinta seharusnya menyelamatkan. Ia bukan alasan untuk membunuh, bukan tempat melampiaskan ego. Cinta yang sehat itu merawat, bukan menindas. Dan cinta yang bertuhan tak akan pernah membenarkan kekerasan.
Sumber:
1. Komnas Perempuan CATAHU 2024 – https://komnasperempuan.go.id
2. Kompas.com – “Wadison Skenariokan Perampokan Usai Bunuh Istri”, 4 Juni 2025
3. Detik.com – “Polisi Bongkar Fakta di Balik Kematian Petry”, 5 Juni 2025
4. Mistar.id – “Anak Bongkar Skenario Ayahnya”, 5 Juni 2025
5. Hadis HR. Tirmidzi tentang akhlak dalam rumah tangga.
VB-SF






