Menimbang Efektivitas Pemidanaan Anak dalam Kasus Tawuran, Oleh Margiono Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang Serang

SERANG, (variabanten.com)–Dua kasus tawuran remaja di Kabupaten Serang yang terjadi dalam rentang enam bulan terakhir kembali menggugah perhatian publik. Bukan hanya karena dampaknya yang fatal, tapi juga karena pendekatan hukum yang dipilih oleh aparat, yakni pemidanaan anak di bawah umur.

Melansir dari berbagai sumber pemberitaan:
1. Pada Sabtu malam, 30 November 2024, seorang remaja berinisial MRF (21) tewas dalam aksi tawuran di Desa Pejaten, Kecamatan Kramatwatu. Korban diketahui membawa bambu saat berlari ke arah lawan, lalu terpeleset dan terbentur aspal. Saat hendak ditolong oleh temannya, kelompok lawan justru melempari batu hingga akhirnya korban ditinggalkan di lokasi kejadian (BantenNews.co.id).

2. Senin, 5 Mei 2025, sembilan pelajar diamankan oleh Polsek Petir saat hendak melakukan aksi tawuran di Kampung Baru, Kecamatan Petir. Tujuh dari mereka ditetapkan sebagai tersangka karena membawa senjata tajam dan dijerat dengan UU Darurat No. 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP (BantenNews.co.id).

Langkah yang diambil aparat jelas; tangkap, proses, dan vonis. Tapi, benarkah pemidanaan merupakan pendekatan paling tepat terhadap anak pelaku tawuran?

Penjara dan Risiko Label Sosial

Dari kacamata psikologi perkembangan, masa remaja adalah fase pembentukan identitas diri. Bila pada usia tersebut mereka harus menjalani hukuman pidana, maka bukan efek jera yang diperoleh, melainkan label sosial sebagai pelaku kejahatan yang dapat menetap dalam jangka panjang.

Teori labeling dari Howard Becker menyatakan bahwa ketika seseorang dilabeli sebagai “penyimpang”, ia cenderung menginternalisasi identitas tersebut. Dalam konteks ini, anak yang dipenjara bisa jadi kehilangan kesempatan untuk dipulihkan secara sosial.

Kekerasan sebagai Gejala Sosial

Secara sosiologis, tawuran bukan hanya tindakan menyimpang individual, tapi juga merupakan gejala sosial. Ketika norma sosial tidak berjalan, fungsi keluarga melemah, dan institusi pendidikan tidak memberi penguatan nilai damai, maka kekerasan menjadi bentuk ekspresi yang paling mudah diakses oleh remaja.

Risiko Residivisme dan Jaringan Kriminal

Dalam studi kriminologi, Edwin Sutherland melalui teori differential association menyebutkan bahwa perilaku menyimpang dipelajari dari lingkungan sekitar. Penjara, dalam hal ini, dapat menjadi tempat berkembangnya jaringan kekerasan baru, apalagi bagi anak-anak yang masih mencari arah hidup.

Pilihan Keadilan Restoratif

Indonesia sebenarnya sudah memiliki instrumen hukum untuk menangani anak berhadapan dengan hukum, yakni UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menekankan pendekatan keadilan restoratif. Melalui pendekatan ini, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah antara pelaku, korban, dan lingkungan sosialnya.

Sayangnya, pendekatan ini sering tidak dijadikan pilihan utama. Praktik pemidanaan tetap menjadi jalan yang dianggap “aman dan cepat”, meskipun berisiko tinggi dalam jangka panjang.

Pemidanaan terhadap anak dalam kasus tawuran memang memberi efek penegakan hukum dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, pendekatan ini menyimpan risiko besar terhadap masa depan pelaku, lingkungan sosialnya, dan masyarakat luas.

Penting bagi negara, aparat penegak hukum, dan institusi pendidikan untuk tidak hanya bertindak secara reaktif, tetapi membangun ekosistem pencegahan melalui pendekatan edukatif dan pemulihan sosial. Karena anak-anak yang tersandung kasus, sejatinya bukan sekadar pelanggar hukum, melainkan juga korban dari tatanan sosial yang tak lagi mendidik.

VB-Sf.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *