Kota Tangerang Selatan (Varia Banten) -Dampak Dan Polemik Terhadap Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Oleh Raden Roro Hasyyati Sabrina Bestari,
HRD Perusahaan Swasta, Mahasiswi Magister Hukum Universitas Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten)

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja terlalu terburu-buru apalagi disahkan tanpa adanya tanda tangan Presiden, walaupun sah tetapi ternyata tidak memegang asas keterbukaan dengan tidak ada uji materi atau sosialisasi isi Undang-Undang kepada publik atau masyarakat yang sebetulnya sebagai salah satu syarat dalam pengesahan Rencana Undang-Undang menjadi Undang undang, meskipun sudah melakukan pertemuan dengan berbagai pihak, namun pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi Undang-Undang dan tidak mudah diakses oleh publik, sehingga mengabaikan asas keterbukaan yang harus menyertakan partisipasi masyarakat atau publik yang maksimal dan lebih bermakna, sesuai pada Pasal 22A Undang-Undang 1945 yang secara tegas mengatur tentang ketentuan-ketentuan tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang. Walaupun Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan supaya mendorong investasi yang berdampak pada perkembangan ekonomi yang lebih baik, tetapi malah cenderung menimbulkan kerugian bagi para Pekerja karena beberapa hak-hak Pekerja dikurangi oleh Pemerintah. Apalagi Undang-Undang Cipta Kerja dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 25 November 2021 bahwa Undang-Undang Cipta Kerja merupakan Inkonstitusional secara bersyarat dan perlu revisi dalam jangka waktu 2 tahun. Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen. Hal ini jelas membuang waktu dan membuang anggaran Negara, yang dimana memperbaiki suatu Undang-Undang yang begitu rumit, apakah cukup hanya butuh waktu 2 tahun?

Seharusnya Pemerintah berupaya menciptakan lapangan pekerjaan bagi Pekerja tanpa harus memangkas hak-hak Pekerja yang sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Yang menjadi salah satu keberatan pada Undang-Undang Cipta Kerja perihal Ketenagakerjaan adalah perhitungan uang kompensasi pesangon pensiun yang pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 167 diberikan 2x tarif Pasal 156 ayat 2, sedangkan pada Undang-Undang Cipta Kerja, tarif pensiun berubah lebih kecil menjadi sebesar 1,75 dari ketentuan pesangon yang diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja, walaupun di dalam PP Nomor 035 Tahun 2021 tersebut perihal PKWT terdapat pengaturan pemberian uang kompensasi PKWT kepada Pekerja, tetapi batas maksimal PKWT diperbolehkan dengan total maksimal 5x PKWT. Hal ini menambah memberikan rasa tidak aman bagi Pekerja karena memberikan peluang bagi Pengusaha memberlakukan kontrak kerja dalam jangka waktu yang lama, sedikit sekali kemungkinan adanya kepastian menjadi Pekerja tetap.

Di dalam Undang-Undang Cipta Kerja juga menghapus pengaturan istirahat panjang bagi Pekerja dengan mencantumkan pengaturan istirahat panjang sesuai dengan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, padahal pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 79 ayat d, ‘istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada Pengusaha yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun’. Perlu diketahui manfaat istirahat panjang adalah untuk menyegarkan kembali stamina, ide Pekerja yang sebelumnya menjadi redup karena jenuh dengan rutinitas pekerjaan, sehingga istirahat panjang dapat memberikan lebih banyak hasil dalam pekerjaan mereka. Tetapi sebagian besar Pengusaha menganggap istirahat panjang Pekerja merupakan kerugian, sehingga dengan Undang-Undang Cipta Kerja tidak mengatur secara tegas perihal istirahat panjang ini, maka kemungkinan besar akan berdampak pada resiko pemutusan hubungan kerja kepada Pekerja yang dianggap sudah tidak mampu berkontribusi untuk Pengusaha tanpa mau memahami bahwa Pekerja memerlukan istirahat Panjang dan mengabaikan bahwa Pekerja sudah berkontribusi bertahun-tahun untuk Pengusaha.

Dengan demikian, Undang-Undang Cipta Kerja lebih banyak mendatangkan kerugian bagi Pekerja daripada mensejahterakan Pekerja, yang seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak perlu memberikan inkonstitusional bersyarat melainkan inkonstitusional permanen, sehingga Pemerintah diharapkan dapat mengembalikan hak-hak Pekerja yang dihapus pada Undang-Undang Cipta Kerja.(VB-BS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.