Berita Banten - Portal Banten - Media Online Banten

Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Pengesahan Masa Jabatan Kepala Desa menjadi delapan tahun dalam RUU Nomor 6 tahun 2014 sebagai UU Desa oleh Pembentuk Undang-Undang Jauh dari Prinsip Rasionalitas Pembatasan Demokrasi, Philipus Molo, SH. Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang Tangerang Selatan-Banten berpendapat.

A. Fakta hukum
Sebelumnya Pada selasa, 17 januari 2023 Ada Ribuan kepala desa (Kades) dengan kompak berseragam coklat menggeruduk Gedung DPR RI, Ada sejumlah tuntutan yang disuarakan. Salah satunya terkait perpanjangan jabatan. Tuntutan mereka bahkan sempat disuarakan kepada Wakil Ketua DPR dan Ketua Badan Legislasi Supartman Andi Atgas yang langsung menemui massa. Sementara itu, aksi yang dilakukan ribuan Kades di gedung DPR mendapat apresiasi dari Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah. Dia mendukung gugatan kepala desa untuk merevisi masa jabatan enam tahun yang termasuk dalam UU No. 6/2014 tentang desa. Selain menuntut perpanjangan jabatan menjadi 9 tahun, Kepala desa juga menuntut haknya sama seperti instansi-instansi yang lain, ketika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ada mendapatkan hak untuk cuti.

Selanjutnya pada Rabu, tanggal 25 Januari 2023, giliran aksi demo oleh Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), ada lima hal yang secara khusus dituntut dalam aksi demo Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) yaitu Presiden didesak mengeluarkan Nomor Induk Perangkat Desa (NIAPD) untuk memberikan perlindungan dan kepastian bagi perangkat desa di seluruh Indonesia, penghasilan tetap perangkat desa di seluruh Indonesia, perangkat desa diseluruh Indonesia diberikan tunjangan, jaminan kesejahteraan ketenagakerjaan 4 program dengan adanya jaminan hari tua (JHT).

Akhirnya baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi UU. Pengesahan ini dilaksanakan pada Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta kamis, 28/03/2024,. Dalam sidang tersebut, Ketua DPR RI Puan Maharani menanyakan persetujuan kepada setiap fraksi mengenai pengesahan RUU tersebut. “Selanjutnya, kami akan menanyakan ke setiap fraksi apakah RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?

Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas terlebih dahulu menyampaikan laporan pembahasan RUU Desa bersama pemerintah. Dalam laporan ini terdapat beberapa poin perubahan dalam UU tersebut. Di antaranya penyisipan pasal 5A tentang pemberian dana konservasi dan atau dana rehabilitasi, ketentuan pasal 26, 50A, dan pasal 62 ditambah pengaturan terkait pemberian tunjangan purna tugas satu kali di akhir masa jabatan kepala desa, badan permusyawaratan desa, dan perangkat desa sesuai dengan kemampuan desa. Ketiga, penyisipan pasal 34A terkait syarat jumlah calon kepala desa dalam Pilkades. Keempat, ketentuan pasal 39 terkait masa jabatan kades menjadi 8 tahun dan dapat dipilih paling banyak 2 kali masa jabatan. Kelima, ketentuan pasal 72 terkait sumber pendapatan desa. Keenam, ketentuan pasal 118 terkait ketentuan peralihan. Ketujuh, ketentuan pasal 121A terkait pemantauan dan peninjauan undang-undang.

Salah satu Poin yang sangat krusial adalah masa jabatan kepala desa disahkan menjadi 8 tahun dan dapat dipilih paling banyak 2 periode masa jabatan. Artinya seorang kepala desa bisa menjabat dalam waktu 16 tahun dalam pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 6 tahun 2014. Di satu sisi Undang-Undang Nomor 23 tahun2014 mengatur Pembatasan jabatan publik seperti Bupati/wali kota dan gubernur dibatasi masa jabatan 10 tahun 2 periode dan pembatasan Masa jabatan presiden dan/wakil presiden telah diatur dalam UUD 1945 dengan masa jabatan 5 tahun setiap periode.

Berdasarkan fakta diatas, yang menjadi persolannya adalah apakah kebijakan politik hukum terhadap masa jabatan kepala desa tersebut dalam pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Nomor 6 tahun 2014 atau dikenal dengan UU Desa sudah sesui dengan prinsip pembatasan demokrasi di Indonesia ataukah justru mencederai demokrasi pada masa kini?

B. Politik Hukum Mengenai Periode Jabatan Kepala Desa di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Sebelum tahun 1979, sistem pemerintahan desa di Indonesia dikenal dengan berbagai nama dan corak penyelenggaraan pemerintahan desa seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Huta di Tapanuli, Marga di Sumatera Selatan dan Mendapo di Kerinci Jambi. Desa-Desa tersebut baik yang terbentuk berdasarkan geneologis, territorial maupun campuran didalam menyelenggarakan roda pemerintahannya didasarkan kepada adat, kebiasaan dan hukum adat. Akibat bermacam-macam dan ragam pemerintahan desa tersebut, dirasakan oleh pemerintah orde baru ditemukan kendala-kendala didalam melakukan pembinaan dan pengendaliannya.

Pada saat itu, pemerintahan desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Namun Peraturan perundang-Undangan tersebut tidak mengatur pemerintahan desa secara seragam dan kurang memberikan dorongan kepada masyarakatnya untuk tumbuh kearah kemajuan yang dinamis. Akibatnya desa dan pemerintahan desa yang sekarang ini bentuk dan coraknya masih beranekaragam, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinya sendiri, yang kadang-kadang merupakan hambatan untuk pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat.

Bertitik tolak dari bentuk dan corak yang beranekaragam tersebut pada tanggal 1 Desember 1979 dilakukan penyeragaman melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa yang saat ini menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa berbeda dengan kelurah Perbedaannya terletak dalam hal penyelenggaraan rumah tangganya. Desa berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri, sedangkan Kelurahan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Desa yang menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dapat pula dinamakan “hak otonomi desa”.

Pada pelaksanaannya, pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Guna memilih seorang kepala desa, maka desa diberi kewenangan untuk melaksanakan pemilihan kepala desa atau Pilkades, dimana dalam pelaksanaan pilkades ini dikenal demokrasi lokal (local democracy). Menurut Mansyur Achmad bahwa “local democracy seperti pemilihan langsung, musyawarah mufakat, rembuk desa, dan lain sebagainya justru menjadi ciri utama pemerintahan desa sejak dikenalnya pemerintahan desa atau nama lain dalam istilah adat masyarakat setempat” Dari penjelasan ini, maka terlihat jelas bahwa pemilihan kepala desa serupa dengan pemilihan kepala kepala daerah, seperti Gubernur maupun Bupati dan Walikota, karena kepala desa juga dipilih melalui pemilihan umum dan langsung dipilih oleh masyarakat di desa tersebut. Artinya dalam pemilihan kepala desa itu juga menerapkan prinsip demokrasi, yaitu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, karena calon kepala desa harus masyarakat desa tersebut, dipilih oleh masyarakat desa dan terpilih untuk menjadi pemimpin bagi masyarakat.

Meskipun sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, tapi ternyata dalam pemberian masa jabatan terdapat perbedaan jabatan antara kepala desa dengan Gubernur maupun Bupati atau walikota. Hal ini dikarenakan Gubernur, Bupati atau walikota memiliki masa jabatan selama 5 tahun dengan periode 2 kali masa jabatan, sehingga setiap 1 orang hanya memiliki 1 kali peluang untuk terpilih ulang. Berbeda halnya dengan kepala desa, dimana kepala desa boleh terpilih sebanyak 3 kali periode secara berturut-turut dengan masa jabatan selama 6 tahun per periode. Artinya setiap 1 orang berpeluang untuk memimpin desa selama 18 tahun. Pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa sudah diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa:
1. Kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
2. Kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Dari aturan tersebut, jika memang filosofi dan prinsip mengenai pemilihan kepala desa sama dengan kepala daerah yang lain, maka seharusnya masa jabatan kepala desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 disamakan dengan masa jabatan kepala daerah yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Apabila dikaitakan dengan politik hukum, maka seharusnya kehadiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 yang diharapkan dapat memperbaiki tata kelola system pemerintah desa lebih baik dibanding peraturan sebelumnya. Namun pada faktanya aturan mengenai masa jabatan kepala desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 justru tidak jauh berbeda dan tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap masa jabatan kepala desa. Pada hal, kajian mengenai pengaturan masa jabatan kepala desa dari aspek politik hukum dapat dilihat dari sejarah pembentukan desa itu sendiri.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintah desa memiliki keleluasaan untuk mengatur pemerintahan desa berdasarkan hukum adat yang berlaku. Pada masa itu, kepala desa diangkat melalui suatu pemilihan. Namun tidak ada batasan mengenai masa jabatan kepala desa, sehingga kepala desa akan berakhir jika dirinya meninggal atau mengundurkan diri dan dilakukan pemilihan kembali.

Kemudian saat masa pemerintahan berganti ke masa pendudukan Jepang, maka ada 5 pejabat dalam pemerintahan desa, yaitu kepala desa, sekretaris desa, mandor (pengawas), keamanan dan pekerja urusan agama. Kepala desa adalah satu-satunya penguasa di desa, dimana kepala desa ini menjadi pelaksana tugas dari penguasa atas dna harus bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di desa. Kondisi ini menggambarkan bahwa pada saat itu pemerintahan desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa cenderung mengarah pada feodalisme, dimana bentuk colonial yang lebih dominan, sehingga kepala desa harus mendahulukan kepentingan para penguasa dibanding kepentingan rakyat. Hal ini juga menyebabkan pemerintahan desa pada saat itu lebih mengarah kepada sistem oligarki, nepotisme dan otoritarianisme pemerintahan desa.

Perubahan demi perubahan, Aturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ternyata harus direvisi dan perubahan juga terjadi pada pengaturan periode dan masa jabatan kepala desa. Pada saat itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 harus direvisi dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam undang-undang tersebut periode jabatan kepala desa tetap sama yaitu 2 periode, tetapi masa jabatan lebih lama yaitu 6 tahun. Tujuan dari pemerintah untuk merombak aturan ini karena masa jabatan 5 tahun dengan 2 periode menjadikan kinerja kepala desa tidak optimal, dikarenakan waktu yang terlalu singkat.

Melihat dari aturan ini, maka terjadi perbedaan aturan mengenai masa jabatan kepala desa, dimana ada selisih 1 tahun. Apabila kepala desa diperbolehkan menjabat 2 periode dengan masa jabatan masing-masing 6 tahun, maka total ada 12 tahun. Artinya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 justru menambah masa jabatan kepala desa, bukan mengurangi. Jika selama ini pemerintah mengkhawatirkan adanya tindakan sewenang-wenang karena masa jabatan yang terlalu lama, maka seharusnya aturan baru lebih baik dari aturan lama, bukan malah sebaliknya. Meskipun demikian, aturan periode dan masa jabatan kepala desa dalam UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tetap memiliki keunggulan, dimana dalam undang- undang ini diatur bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa hanya diberlakukan satu kali. Setelah masa kerjanya habis, kepala desa boleh menambah satu periode. Apabila pada saat lengser kepala desa kembali mengikuti pilkades dan terpilih, maka dituntut bersedia meletakkan jabatan ketika masa berakhir.

Aturan ini tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, maupun dalam undang-undang setelahnya yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Aturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa kepala desa yang telah menjalankan tugasnya selama 1 kali periode (6 tahun) boleh terpilih kembali 2 kali masa jabatan selanjutnya. Artinya seseorang boleh menduduki kursi kepala desa selama 3 periode dengan masa jabatan 6 tahun per periode, sehingga berpeluang menjadi pemimpin selama 18 tahun berturut-turut maupun tidak.

Kemudian pada saat ini, dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, Revisi Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa telah disahkan oleh Pembentuk Undang-Undang dengan Masa jabatan kepala desa 8 tahun satu priode dan bisa dipilih dua priode Artinya seseorang bisa berpeluang menjabat dalam waktu 16 tahun.

Bahwa, perubahan ini ternyata tidak konsisten dengan alasan kinerja kepala desa tidak dapat optimal apabila hanya 10 tahun menjabat, sehingga melalui UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 periode jabatan kepala desa tetap 2 priode dengan masa jabatan 6 tahun per periode. Tidak hanya sebatas itu, pemerintah kembali membuat aturan baru sebagai bentuk pelaksanaan otonomi desa dengan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 yang didalamnya merubah total periode jabatan kepala desa menjadi 3 periode dengan masa 6 tahun per periode, sehingga kepala desa menjabat selama 18 tahun. Lalu Direvisi lagi menjadi 8 tahun dengan dua priode.

C. Terkait putusan MK Nomor 15/PUU-XXI/2023 Pada pokok permohonan Pemohon I meminta:
1. Pembatasan masa jabatan Kepala Desa seharusnya selama 5 (lima) tahun dengan 2 (dua) periode sejalan dengan implementasi dari fakta historis dan semangat lahirnya Pasal 7 UUD 1945;
2. Masa jabatan kepala desa wajib disesuaikan dengan pembatasan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945, yaitu 5 (lima) tahun dengan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali karena merupakan prinsip dasar yang rasional. Hal ini bertujuan untuk menyesuaikan dengan masa jabatan presiden, gubernur, dan bupati/walikota agar terciptanya keadilan bagi seluruh pemegang kekuasaan dan jabatan politis yang diperoleh melalui proses pemilihan. Hal yang sama juga diikuti oleh perusahaan-perusahaan baik BUMN maupun swasta yang memberikan masa jabatan kepada direksi maupun komisaris untuk menjabat selama 5 (lima) tahun;
3. Pembatasan kekuasaan yang rasional dimaksud sesuai dengan konstitusi sehingga berimplikasi pada percepatan proses pembangunan desa;
4. Kekuasaan yang terlalu lama bertentangan dengan prinsip negara hukum dan akan menciptakan peluang tindakan koruptif yang sangat besar dan arogansi kekuasaan serta tirani di tingkat pemerintahan desa;
5. Panjangnya masa jabatan dan periodisasi jabatan kepala desa hingga 3 (tiga) periode dengan masa jabatan selama 6 (enam) tahun berpotensi menimbulkan institutional disaster sebab aturan ini bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme, prinsip proporsionalitas, dan tidak disusun dengan landasan argumentasi yang rasional dan komprehensif sehingga dapat berujung pada pelanggaran hak konstitusional warga negara.

Pada pertimbangan MK mengatakan:
Bahwa berkenaan dengan pembatasan masa jabatan publik pada umumnya, UUD 1945 hanya menentukan secara eksplisit pembatasan masa jabatan untuk beberapa jabatan publik saja. Dalam hal ini, jabatan kepala desa tidak diatur dalam UUD 1945 melainkan diatur dalam undang-undang. Salah satu alasan pembedaan pengaturan demikian tidak terlepas dari kekhasan pemerintahan desa dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Dalam pengujian materi putusan Nomor 15/PUU-XXI/2023 pemohon meminta MK untuk membatasi masa jabatan Kepala Desa menjadi 5 (lima) tahun dengan 2 (dua) periode sesui dengan fakta historis dan semangat lahirnya Pasal 7 UUD 1945; dan sesuai dengan pejabat public lainnya seperti presiden dan wakil presiden, bupati, wali kota dan gubernur Akan tetapi dalam pertimbangannya MK menolak dengan alasan bahwa Masa jabatan Kepala desa tidak termasuk dalam UUD 1945 melainkan hanya diatur dalam Undang-Undang. Dan selanjutnya MK Mengatakan pembatasan masa jabatan kepala desa dan periodisasi tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) oleh pembentuk undang-undang.

Menanggapi pertimbangan Mahkamah tersebut, bahwa: Pertama, MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 15/PUU-XXI/2023 menyatakan beberapa alasan. Ada sedikitnya lima alasan MK kemudian menyatakan masa jabatan kepala desa tetap 6 tahun, dengan maksimal 3 periode. Pertama, MK mengemukakan bahwa jabatan kepala desa tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Kedua, masa jabatan kepala desa selama 6 tahun, maksimal 3 periode membuka kesempatan adanya alih generasi kepemimpinan di tingkat desa dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, pengaturan masa jabatan kepala desa sangat dipengaruhi faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis saat pembentukan pengaturan masa jabatan kepala desa. Artinya pengaturan masa jabatan kepala desa dapat berubah sesuai perkembangan masyarakat dan kebutuhan. Asalkan, hal tersebut tidak bertentangan dengan (dan tidak dilarang oleh) UUD 1945. Keempat, jika terdapat perbedaan masa jabatan, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), dalam hal ini pemerintah dan DPR. Kelima, MK dalam catatan pertimbangan hukum juga menyimpulkan tidak ada relevansi membandingkan atau mempersamakan masa jabatan kepala desa dengan masa jabatan publik yang lain, seperti masa jabatan presiden dan wakil presiden, serta masa jabatan kepala daerah.

Bahwa, Salah satu alasan pembedaan pengaturan demikian tidak terlepas dari kekhasan pemerintahan desa dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, artinya bahwa pemerintahan desa masih melekat dalam struktur ketatanegaraan Indonesia harus dilindungi dengan hukum oleh konstitusi apabila lepas dari control konstitusi maka akan terjadi keleluasaan ketentuan kesewenangan pada masa jabatan pemerintahan desa oleh pembentuk undang-undang.

Pengaturan masa jabatan dan priodesasi jabatan kepala desa diserahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang. Hal ini akan menjadi kekwatiran bahwa apabila masalah jabatan dan periode desa diserahkan pada kebijakan politik ini akan jauh dari pengawasan konstitusi sebagai fungsi kontrol demokrasi. Sehingga bisa saja pembentuk undang-undang menetapkan masa jabatan 10 tahun atau 20 tahun sampai seumur hidup seseorang menjabat.

Berdasarkan Uraian diatas, Dari aturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tersebut, maka berdasarkan pendapat penulis pada politik hukum terhadap masa jabatan dan priodesasi kepala desa dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 justru tidak melakukan revolusi kearah lebih baik dalam pemerintahan desa dan tidak sesuai yang diharapkan. Bahwa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 berdasarkan politik hukum tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap pengaturan masa jabatan kepala desa namun justru menambah masa jabatan kepala desa, ini justru merusak dan lebih buruk dibanding dengan pengaturan sebelumnya.

Bahwa pengaturan periode dan masa jabatan kepala desa di Indonesia mengalami kemunduran atau kemerosotan. Revisi UU No. 6 Tahun 2014 terkait masa jabatan kepala desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 lebih buruk dibanding dengan aturan sebelumnya. Perlu diingat bahwa sebelum reformasi, periode jabatan kepala desa adalah 2 periode dengan masa 8 tahun, sehingga kepala desa memimpin selama 16 tahun. Saat itu, periode dan masa jabatan kepala desa dinilai tidak efektif dan berpeluang menimbulkan adanya sikap otoriter dan sewenang wenang dari kepala desa, kemudian kepala desa juga dianggap memiliki kekuasaan yang dominan karena masa kepemimpinannya yang sangat lama. Hal ini menyebabkan pada saat itu, pemerintah melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan untuk memperbaiki pengaturan periode dan masa jabatan kepala desa, sehingga melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, periode jabatan kepala desa tetap 2 periode dan masa jabatannya dikurangi menjadi 5 tahun.

Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut berupaya untuk memberikan batasan kewenangan mengenai periode jabatan kepala desa, sehingga ketentuan berapa lama seseorang memegang jabatan kepala desa diberikan legalitas yang jelas. Akan tetapi dalam praktiknya, ketentuan ini justru sering dilanggar, sehingga jika dikaitkan dengan politik hukum, Justru kebijakan Pengaturan periode dan jabatan kepala desa dalam norma tersebut jauh dari rasionalitas prinsip demokrasi, walaupun secara eksplisit tidak terdapat dalam UUD 1945. Akan tetapi, bila ditinjau secara seksama kebijakan tentang norma pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 norma tersebut mengesampingkan adanya pembatasan kekuasaan.

Hal ini dikarenakan dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa Presiden hanya memiliki periode jabatan 2 periode dengan masa jabatan 5 tahun per periode, sedangkan dalam UU Pilkada dijelaskan bahwa jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota memiliki periode jabatan 2 periode dengan masa jabatan 5 tahun per periode. Jika memang seluruh kepala daerah, bahkan kepala negara memili 2 periode, lantas mengapa kepala desa memiliki masa jabatan 8 tahun satu periode dan 16 tahun 2 priode. Artinya kepala negara dan kepala daerah hanya diberi kesempatan 1 dekade memimpin, tapi kepala desa justru diberi kesempatan untuk lebih dari 1dekade kepemimpinan. Padahal politik tingkat desa justru menjadi politik lokal yang dapat menimbulkan peluang terjadinya hal-hal buruk akibat jabatan yang terlalu lama lebih besar terjadi di desa dibanding negara atau daerah. Hal ini dikarenakan desa diberi kewenangan untuk mengatur sendiri urusan rumah tangganya, dimana kewenangan tersbut menjadi tanggungjawab kepala desa. Semakin lama kepala desa menjabat maka semakin besar pula pengetahuannya tentang urusan rumah tangga desanya dan jika tidak dikontrol dengan baik, maka kepala desa akan melakukan hal-hal negative yang dapat merugikan masyarakat.

Persoalan masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun yang tidak memberikan waktu yang cukup untuk menjalankan visi dan misi kepala desa seharusnya bukan merupakan persoalan yang fundamental, apalagi jika dibandingkan dengan masa jabatan politik lainnya yang dipilih secara langsung, seperti jabatan presiden yang dipilih hanya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan, artinya jika masa jabatan ditambah 2 (dua) kali, menjadi paling lama 10 (sepuluh) tahun. Sementara kepala desa dapat menjabat selama 18 (delapan belas) tahun. dengan demikian, seharusnya kepala desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika terpilih kembali.

Perpanjangan masa jabatan Kades menjadi delapan tahun, tentu justru mencederai prinsip dan nilai demokrasi masa kini. Kekuasaan yang besar sering kali menjerumuskan pemimpin di tingkat lokal tersebut dalam kubangan oligarki, nepotisme, serta otoritarianisme pemerintahan desa. Besarnya kekuasaan juga berpotensi mengundang korupsi sebagaimana pernyataan Lord Acton (guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris):”Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.” Terlalu lamanya seseorang menjadi Kades bisa membuatnya ”lupa diri” sehingga rentan menyalahgunakan kekuasaan.

Di sinilah terlihat bahwa durasi waktu seseorang memegang jabatan turut menentukan kualitas kepemimpinannya. Di samping menghindarkan lahirnya penguasa tunggal yang mendominasi kehidupan masyarakat, langkah itu juga ditempuh untuk menghadirkan regenerasi kepemimpinan lokal. Bagaimanapun, digelarnya kontestasi dilevel lokal bermaksud menjaring siapa saja yang dibekali kompetensi mengembangkan dan memajukan desa. Suksesi kepemimpinan lokal sebisa mungkin diakses oleh semua orang dan tidak dikuasai oleh kelompok tertentu.

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun oleh kebijakan pembentuk Undang-Undang terhadap pasal 36 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 6 tahun 2014 atau dikenal dengan (UU Desa) secara norma tidak selaras dengan pembatasan masa jabatan publik dalam peraturan daerah Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 dan mengesampingkan pasal 7 UUD 1945 yang secara eksplisit tidak memuat pembatasan masa jabatan kepala desa. namun disisi lain sitem pemerintahan desa tidak terlepas dari struktur ketatanegaraan pemerintahan desa sehingga masih melekat pada ketatanegaraan Indonesia. kebijakan penetapan masa jabatan kepala desa delapan tahun secara politik hukum dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 dipikir jauh dari rasionalitas demokrasi.

E. Saran
Perlu Kebijakan pembentuk Undang-Undang lebih bijak dalam menetapkan masa kekuasaan seseorang pejabat dalam hal ini masa jabatan kepala desa agar selaras dengan masa jabatan public lainnya seperti Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, seta Wali Kota. Sehingga tidak terkesan lama dan sewenang-wenang. VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *