BOGOR, (variabanten.com)-Kebangkrutan PT Sritex, raksasa tekstil yang telah Berjaya selama 58 tahun, bukan sekadar kisah satu perusahaan yang gagal mengelola utangnya. Ini adalah cerminan dari tantangan struktural yang dihadapi industri tekstil Indonesia, mulai dari persaingan global, perubahan pasar, hingga tekanan finansial akibat utang yang menumpuk.
Sritex yang dulunya hanya toko kecil di pasar klewer di solo, tumbuh menjadi produsen seragam militer untuk puluhan negara. Keberhasilannya di pasar global menunjukan bahwa industry tekstil nasional sebenarnya memiliki daya saing. Namun kesuksesan masa lalu tidak menjamin keberlanjutan di masa depan.
Sejak pandemi 2020 industri tekstil mengalami tekanan besar dari semua penjuru, sementara beban produksi meningkat. Bagi sritex kondisi ini diperparah dengan tingginya utang. Meski sempat melakukan restrukturisasi, tekanan likuiditas dan gugatan hukum akhirnya memaksa perusahaan menyerah.
Kasus sritex harus menjadi pelajaran bagi industri lainnya.Terlalu bergantung pada ekspansi yang dibiayai utang tanpa mitigasi risiko yang kuat bisa menjadi boomerang. Selain itu pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan industry tekstil agar lebih kuat terhadap guncangan ekonomi global.
Akhir dari Sritex bukan hanya tragedi bisnis, tetapi juga tragedi sosial. Lebih dari 10 ribu pekerja kehilangan pekerjaan, yang berdampak pada ekonomi local. Ini adalah peringatan keras bahwa transformasi industri harus diiringi dengan kebijakan yang mendukung keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pekerja.
Pada akhirnya kebangkrutan Sritex bukan hanya kegagalan satu perusahaan, melainkan alarm bagi seluruh sektor industri manufaktur di Indonesia. VB-PT.