JAKARTA, (variabanten.com) – Hak penjaminan memberi kewenangan untuk advokat menjamin kliennya dari upaya paksa seperti penahanan dan penangkapan. Mekanismenya perlu diatur lebih rinci dalam peraturan pemerintah, misalnya tidak berlaku untuk semua jenis pidana.

Peran advokat dalam sistem peradilan pidana dinilai belum optimal. Revisi Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang bergulir di DPR membuka peluang untuk membenahi beleid berusia 44 tahun itu, termasuk memperkuat posisi advokat.

Berbagai pihak diundang Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk memberi masukan RKUHAP. Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI) hadir dalam RDPU, Rabu (7/5) lalu. Presidium DPP KAI, Heru S Notonegoro, mengatakan sedikitnya lima ribu anggota KAI menyumbang pikiran. Hasilnya, ada 80 catatan aspirasi yang disampaikan kepada pimpinan Komisi III DPR.

Dari 80 catatan itu setidaknya ada lima substansi utama. Pertama, prinsip substansi RKUHAP harus memperhatikan ketentuan terkait upaya paksa. Aparat penegak hukum perlu mengantongi izin dan persetujuan sebelum melakukan upaya paksa. Pihak yang menerbitkan izin harus independen, dan tidak punya kepentingan langsung terhadap perkara.

Heru memperkirakan bentuknya seperti mediator yang berasal dari kalangan hakim dan nonhakim seperti akademisi, ahli, dan lainnya yang terdaftar di pengadilan. Lembaga itu harus independen. “Jadi sewaktu dibutuhkan dia on call,” katanya kepada Hukumonline, Rabu (7/5).

Keberadaan lembaga itu tak memberatkan pemerintah dan Mahkamah Agung (MA) dalam menyiapkan infrastruktur, sarana, dan prasarana serta SDM. Harapannya, setiap upaya paksa baik penangkapan dan penahanan dilakukan secara cermat dan hati-hati, tidak semena-mena.

Kedua, hak penjaminan advokat yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa untuk tidak ditahan atau ditangkap aparat penegak hukum. Mengacu prinsip ’para pihak berlawanan secara berimbang’ atau sistem adversarial yang menjamin keseimbangan antara hak penyidik, hak penuntut umum, hak hakim dan/atau hak/kewenangan yang dimiliki tersangka/terdakswa dan atau advokat. Hal ini terkait juga dengan ’penguatan peran advokat’ sebagai bentuk check and balances.

Sebagaimana pandangan anggota Komisi III DPR dalam RDPU lalu, Heru mencatat ada usul hak Penjaminan ini diatur lebih lanjut. Misalnya, hak penjaminan tak diberikan untuk semua jenis pidana. Namun, yang utama hak penjaminan harus masuk dalam KUHAP sebab urgensi untuk memperkuat peran advokat.

Praktik selama ini advokat tak berdaya ketika aparat penegak hukum menahan atau menangkap klien. Selain merugikan klien, hal ini membuat kepercayaan terhadap advokat luntur. Ujungnya, advokat melakukan lobi-lobi dengan aparat untuk tidak menahan klien. Terutama dalam kasus di mana tersangka atau terdakwa tidak layak untuk ditahan. Namun, aparat kerap mencari pasal yang ancaman pidananya lima tahun untuk jadi alasan melakukan penangkapan atau penahanan.

“Hal ini yang membuat mereka sewenang-wenang. Orang yang statusnya melarat sampai konglomerat ketika mau ditahan, siapa pun advokatnya pasti tidak bisa apa-apa karena tidak punya kewenangan (hak penjaminan),” ujarnya.

Ketiga, DPP KAI mengusulkan hak advokat melakukan perekaman untuk kepentingan pembelaan terhadap tersangka. Heru mengapresiasi draf RUU KUHAP Komisi III DPR karena memuat sejumlah kemajuan salah satunya kewajiban dalam setiap proses pemeriksaan disorot kamera perekam. Hanya saja, dalam RUU, kewenangan merekam hanya dimiliki penyidik. Seharusnya tersangka atau terdakwa melalui advokatnya bisa melakukan perekaman yang sama. Dengan hak perekaman itu, diharapkan proses pemeriksaan dapat dilakukan secara objektif.

Keempat, perluasan praperadilan mencakup perkara yang ditangani mengalami penundaan yang tidak beralasan selama 90 hari. Penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah. Penghentian penyelidikan, penyidikan, penuntutan oleh korban atau pihak ketiga berkepentingan. Terdapat bukti atau keterangan yang diperoleh secara tidak sah. Tersangka atau terdakwa tidak didampingi penasihat hukum. Pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, korban atau seluruh pihak yang diatur dalam KUHAP.

Heru menambahkan juga soal eksepsi. Faktanya selama ini jika eksepsi dikabulkan, perkara berhenti dan berkas dikembalikan kepada jaksa penuntut umum untuk disusun ulang dan mengajukan lagi permohonan. RUU KUHAP tak mengubah ketentuan itu. DPP Presidium KAI mengusulkan jika eksepsi tak dikabulkan perkara berhenti sementara untuk memberi kesempatan pihak pemohon eksepsi mengajukan banding ke pengadilan tinggi dalam waktu 14 hari. Berlanjutnya perkara di pengadilan tingkat pertama mengikuti hasil putusan eksepsi dari pengadilan tinggi tersebut.

“Ini demi kepentingan tersangka/terdakwa sebagai warga negara yang melekat asas praduga tak bersalah, maka harus dihormati,” usulnya.

Kelima, DPP Presidium KAI mengusulkan penegasan sumber dana pelaksanaan hukum acara pidana pada setiap tahap dan prosesnya dari awal sampai akhir berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini terkait kepastian hukum, misalnya dalam proses eksekusi, negara melalui aparatnya harus melakukan berbagai upaya untuk memberikan keadilan tanpa membebani pihak berperkara.

Tak ketinggalan Heru menegaskan DPP Presidium KAI terus mengawal pembahasan revisi KUHAP. Sebab ketentuan yang dibahas KUHAP bukan kepentingan organisasi advokat, tapi profesi advokat. Apalagi jika usulan DPP KAI dikabulkan, seperti hak Penjaminan bagi advokat terkait upaya paksa terhadap tersangka atau terdakwa. Dia berharap organisasi advokat lainnya melakukan gerakan yang sama, arahnya penguatan peran advokat dalam KUHAP.

Hak Catatan Advokat

Pada kesempatan yang sama Sekretaris Umum DPP KAI, Ibrahim, mengusulkan hak advokat untuk memberikan catatan terhadap proses pemeriksaan tersangka/terdakwa yang didampinginya. Ketentuan itu diusulkan masuk dalam perluasan hak advokat yang diatur Pasal 141 draf RUU KUHAP. Lagi-lagi ketentuan ini tujuannya check and balances, penguatan advokat untuk mengimbangi kewenangan penyidik.

Ibrahim mengatakan praktiknya ketika penyidik melakukan kesalahan prosedur yang bisa dilakukan tersangka/terdakwa adalah melapor kepada propam, wassidik, dan paminal Polri. Advokat berperan penting memberi catatan pada setiap proses pemeriksaan. “Catatan ini terhadap apa yang dilihat penasihat hukum selama proses pemeriksaan, misalnya ada pelanggaran prosedur dan penggunaan pasal tidak tepat,” urainya.

Catatan advokat itu menjadi lampiran Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ibrahim berpendapat jika catatan itu menjadi bagian dari berkas perkara, statusnya sama seperti berkas lainnya. Menjadi dokumen yang diperiksa jaksa penuntut umum dalam meneliti BAP yang disodorkan penyidik.

Namun, bukan berarti catatan advokat itu membuat penyidikan mandek. Justru proses penyidikan tetap berjalan secara independen sebagaimana fungsinya. Catatan advokat ini mirip second opinion bagi jaksa penuntut umum dalam memeriksa berkas perkara. Tujuannya mengimbangi kewenangan penyidik, mencegah kesewenang-wenangan.

“Mirip nota keberatan, tapi catatan ini sudah ada dari awal pemeriksaan. Kalau nota keberatan, kan ketika masuk pengadilan dan substansinya terhadap dakwaan. Kalau catatan advokat ini menyasar proses pemeriksaan,” tutupnya.

Sumber: Hukumonline.com. (*/ir).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.