SERANG, (variabanten.com) – Aksi tawuran yang menelan korban jiwa tak bisa lagi dipandang sebagai kenakalan remaja atau insiden spontan. Tawuran adalah bentuk kekerasan terorganisir yang kerap melibatkan aktor-aktor di balik layar. Salah satu peran kunci yang kerap terlewat dari proses hukum adalah koordinator sosok yang merancang, memprovokasi, dan mengarahkan aksi tersebut. Dalam perspektif hukum pidana, koordinator bukan hanya ikut serta, tetapi seharusnya diposisikan sebagai pelaku utama, terutama bila aksi tersebut menyebabkan kehilangan nyawa.
Tanggung Jawab Hukum Koordinator
Dalam hukum pidana Indonesia, setiap individu yang menyuruh, merencanakan, atau turut serta dalam suatu tindak pidana, dapat dikenai tanggung jawab sebagai pelaku utama. Ini diatur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan tidak harus bertindak langsung di lapangan, melainkan bisa juga pihak yang berada di balik layar namun mengendalikan jalannya perbuatan pidana.
Dalam konteks tawuran, koordinator biasanya menyusun strategi, menentukan lokasi bentrok, mengarahkan kelompok, dan bahkan menyiapkan alat kekerasan. Maka dari itu, secara hukum, posisinya setara bahkan lebih berat dari pelaku fisik.
Dari Kekerasan Jalanan ke Tindak Pidana Berat
Jika tindakan yang dikomandoi oleh koordinator tersebut menyebabkan kematian, maka konsekuensi hukumnya menjadi sangat serius. Koordinator dapat dijerat dengan beberapa pasal pidana berat:
• Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951: “Barang siapa yang tanpa hak membawa, memiliki, atau menyimpan senjata tajam, senjata api, atau bahan peledak, diancam pidana penjara hingga 10 tahun.”
• Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, jika kekerasan bersama mengakibatkan kematian (ancaman pidana: 12 tahun penjara).
• Pasal 338 KUHP, jika terbukti adanya kesengajaan menghilangkan nyawa (ancaman: 15 tahun penjara).
• Pasal 340 KUHP, jika aksi itu dirancang sejak awal untuk menyebabkan kematian (ancaman: penjara seumur hidup atau hukuman mati).
Para pakar hukum pidana seperti Prof. Moeljatno dan Prof. Eddy O.S. Hiariej juga menekankan bahwa pelaku intelektual yakni, orang yang menyuruh atau mengendalikan tindak pidana memiliki tanggung jawab hukum setara dengan pelaku fisik, bahkan bisa lebih besar.
Penegakan Hukum Harus Tegas dan Adil
Tawuran yang menyebabkan kematian adalah kejahatan serius. Negara tidak boleh membiarkan aktor intelektual seperti koordinator lepas dari tanggung jawab. Penegakan hukum terhadap mereka bukan sekadar menindak, melainkan juga menciptakan efek jera, memutus rantai kekerasan, dan memberikan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat luas.
Menjadikan koordinator sebagai pelaku utama bukan soal mencari kambing hitam, tetapi sebuah keharusan yuridis dan moral. Jika perannya jelas dalam menginisiasi kekerasan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa, maka proses hukum harus berjalan tanpa pandang bulu.
Dalam sistem hukum pidana yang adil, niat, peran, dan akibat hukum menjadi tolok ukur utama pertanggungjawaban. Maka dalam kasus tawuran yang berujung pada kematian, koordinator tidak bisa hanya dipandang sebagai pemicu, melainkan sebagai pelaku utama yang harus dimintai pertanggungjawaban pidana maksimal.
Sudah waktunya negara bersikap tegas. Kekerasan yang merenggut nyawa tak bisa lagi dibiarkan berlangsung tanpa keadilan.
Referensi:
• KUHP Pasal 55, 170, 338, dan 340
• Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana
• Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana
• Topo Santoso. Kriminalisasi dan Hukum Pidana Indonesia
VB-Sf.