TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Konsep cacat hukum dalam kajian ilmu hukum tidak sekadar merujuk pada kesalahan teknis atau administratif dalam suatu tindakan atau produk hukum, tetapi merupakan indikasi yuridis bahwa suatu norma atau keputusan telah menyimpang secara serius dari prinsip legalitas, keabsahan, dan kepatuhan terhadap hierarki hukum yang berlaku. Dalam terminologi ilmu hukum, cacat hukum menggambarkan keadaan di mana suatu tindakan hukum (misalnya penetapan, keputusan, perjanjian, atau peraturan) mengandung unsur ketidaksesuaian terhadap kaidah hukum yang mengaturnya, baik dari aspek formil (prosedural) maupun materiil (substantif). Cacat formil terjadi ketika suatu tindakan hukum dilakukan tanpa mengikuti prosedur atau mekanisme hukum yang telah ditentukan secara tegas, seperti tidak adanya kewenangan pejabat yang menetapkan, tidak dilakukan konsultasi publik yang diwajibkan, atau tidak melalui seleksi terbuka dalam konteks pengangkatan pejabat publik. Sedangkan cacat materiil terjadi ketika substansi isi dari suatu tindakan hukum bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), atau prinsip konstitusional, misalnya tindakan yang diskriminatif, tidak proporsional, atau melanggar asas keadilan dan akuntabilitas.
Dalam konteks negara hukum (rechtstaat), keberadaan cacat hukum merupakan ancaman terhadap validitas dan legitimasi tindakan hukum itu sendiri, karena prinsip dasar dalam teori hukum menyatakan bahwa setiap norma atau tindakan hukum harus lahir dari sumber hukum yang sah, dibuat dengan prosedur yang benar, dan memuat muatan yang tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Teori Stufenbau der Rechtsordnung dari Hans Kelsen, misalnya, menegaskan bahwa keabsahan suatu norma hukum tergantung pada kesesuaiannya dengan norma yang lebih tinggi dalam sistem hierarki hukum. Dengan demikian, suatu keputusan atau peraturan yang cacat secara hukum dapat dianggap batal demi hukum (van rechtswege nietig), dapat dibatalkan oleh pengadilan administrasi atau Mahkamah Konstitusi, atau setidaknya memiliki legitimasi yang cacat secara konstitusional.
Implikasi dari suatu tindakan yang cacat hukum sangat serius. Di satu sisi, hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerugian bagi pihak-pihak yang terdampak. Di sisi lain, hal tersebut dapat menjadi dasar untuk melakukan pengujian hukum (legal review) baik dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, pengujian peraturan ke Mahkamah Agung, maupun pengujian konstitusionalitas ke Mahkamah Konstitusi. Dalam praktiknya, konsep cacat hukum sering digunakan untuk membatalkan produk hukum seperti keputusan pengangkatan jabatan publik, peraturan pemerintah, keputusan presiden, hingga kontrak yang dibuat oleh pejabat negara, ketika terbukti melanggar norma hukum yang berlaku. Oleh karena itu, memahami dan mengidentifikasi cacat hukum bukan hanya merupakan persoalan akademik, tetapi juga alat kontrol normatif untuk menjaga agar setiap penyelenggaraan kekuasaan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, etika publik, dan konstitusi.
Pengangkatan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Sekjen DPD RI) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 79/TPA Tahun 2025 menimbulkan persoalan yuridis yang sangat serius, tidak hanya dalam dimensi administratif, tetapi juga secara konstitusional. Keppres ini patut dicermati secara kritis melalui perspektif hukum tata negara dan hukum administrasi negara, karena menyangkut relasi kekuasaan antara eksekutif dan lembaga legislatif serta kredibilitas sistem merit dalam pengisian jabatan publik. Secara hukum positif, jabatan Sekjen DPD termasuk dalam kategori Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang mewajibkan pengisiannya dilakukan melalui mekanisme seleksi terbuka yang objektif, adil, kompetitif, dan bebas dari intervensi politik.
Lebih lanjut, Pasal 108 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2017 menegaskan bahwa pengisian JPT Madya harus melalui seleksi terbuka dan kompetitif, dengan tahapan yang melibatkan panitia seleksi independen dan Komisi ASN sebagai pengawas integritas proses tersebut. Artinya, pengangkatan langsung oleh Presiden tanpa melalui mekanisme seleksi terbuka tidak hanya bertentangan dengan prinsip legalitas administratif, tetapi juga melemahkan asas fundamental dalam reformasi birokrasi, yakni sistem merit dan profesionalitas ASN. Dengan menunjuk seorang jenderal polisi, baik yang masih aktif maupun purnawirawan, yang tidak memiliki status sebagai ASN aktif, dan tidak pernah mengikuti proses seleksi terbuka sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan, maka Keppres 79/TPA mengidap cacat hukum ganda, yakni cacat formil (dari segi prosedur pengangkatan) dan cacat materiil (dari segi kelayakan dan syarat hukum substantif).
Cacat formil muncul karena Keppres tersebut secara nyata melewati sistem seleksi dan tahapan administrasi yang semestinya menjadi syarat mutlak bagi setiap pengangkatan pejabat JPT Madya. Sedangkan cacat materiil muncul karena pejabat yang ditunjuk tidak memenuhi kriteria dasar ASN aktif sebagaimana dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Lebih buruk lagi, pengangkatan ini tidak hanya menabrak norma-norma hukum administrasi kepegawaian, tetapi juga merusak sistem pemisahan antara institusi bersenjata dan sipil, serta mengganggu independensi kelembagaan DPD RI sebagai institusi legislatif yang seharusnya steril dari pengaruh unsur kepolisian atau militer. Dengan demikian, Keppres 79/TPA tidak hanya bertentangan dengan hukum positif, tetapi juga mengancam tatanan konstitusional dan prinsip demokrasi dalam pengelolaan birokrasi publik.
Kecurigaan atas cacat prosedural dalam pengangkatan Sekretaris Jenderal DPD RI melalui Keppres 79/TPA Tahun 2025 semakin diperkuat dengan diterbitkannya Telegram Kapolri Nomor ST/488/III/KEP./2025 sampai ST/493/III/KEP./2025 tertanggal 12 Maret 2025. Rangkaian telegram ini merupakan instrumen internal Polri yang digunakan untuk melakukan rotasi dan reposisi sejumlah perwira tinggi, yang dalam praktiknya sering kali dimaknai sebagai langkah antisipatif dan justifikasi institusional terhadap penempatan anggota kepolisian pada jabatan sipil strategis di luar struktur Polri. Secara substansi, telegram tersebut menimbulkan dugaan kuat bahwa pengangkatan Jenderal Polisi baik yang masih aktif maupun purnawirawan sebagai Sekjen DPD RI tidak berdiri sendiri sebagai tindakan administratif presiden, melainkan merupakan bagian dari skema koordinatif antara lembaga kepolisian dan eksekutif, yang berpotensi melanggar batas yurisdiksi kelembagaan dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang demokratis.
Secara historis dan normatif, praktik penempatan personel Polri di jabatan sipil strategis telah lama menuai kritik keras dari kalangan akademisi, lembaga pengawas birokrasi, dan masyarakat sipil. Fenomena ini dikenal sebagai bentuk polrisasi birokrasi sipil, yakni infiltrasi kekuatan kepolisian ke dalam sistem administrasi sipil negara secara sistematis dan struktural. Model pengaruh ini tidak hanya bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi pascareformasi 1998, tetapi juga mencederai prinsip netralitas aparatur sipil negara (ASN) yang menjadi pilar dalam penyelenggaraan pemerintahan berbasis meritokrasi. Netralitas ASN secara eksplisit diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang menegaskan bahwa ASN harus bebas dari intervensi politik dan pengaruh institusi bersenjata, serta wajib diseleksi berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara objektif.
Lebih jauh, praktik ini juga menimbulkan persoalan yuridis dalam konteks hukum kepolisian. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa anggota Polri dilarang menduduki jabatan di luar institusi Polri, kecuali dalam jabatan tertentu yang ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Adanya telegram Kapolri tersebut justru mengindikasikan bahwa proses pelepasan atau mutasi perwira tinggi Polri untuk menduduki jabatan Sekjen DPD bukan dilakukan secara terpisah melalui mekanisme sipil (ASN), tetapi masih dikendalikan secara internal dalam struktur organisasi Polri. Hal ini mengarah pada pelanggaran asas pembagian fungsi dan kewenangan kelembagaan, di mana institusi penegak hukum memasuki ranah administratifsipil yang seharusnya steril dari pengaruh kekuatan bersenjata.
Dengan demikian, telegram Kapolri tersebut tidak dapat dibaca sebagai dokumen netral administratif, melainkan sebagai bagian dari sistem kebijakan yang melemahkan prinsip supremasi sipil (civilian supremacy). Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi prinsip checks and balances, praktik semacam ini membuka ruang konsolidasi kekuasaan secara vertikal dan mengaburkan garis batas antara lembaga penegak hukum dan struktur pemerintahan sipil. Jika tidak dikoreksi, maka akan terbentuk preseden berbahaya yang membenarkan intervensi institusi bersenjata dalam sistem birokrasi sipil, dan pada akhirnya mengancam semangat profesionalitas ASN, independensi kelembagaan, dan stabilitas sistem hukum nasional.
Lebih lanjut, Keputusan Presiden Nomor 79/TPA Tahun 2025 secara implisit telah mengabaikan semangat konstitusionalisme yang menjadi fondasi utama dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca reformasi. Salah satu prinsip kunci dalam negara demokratis yang menganut supremasi hukum (rechtstaat) adalah adanya pemisahan yang tegas antara institusi keamanan (militer/polisi) dan institusi sipil. Hal ini tidak hanya merupakan amanat etika politik demokratis, tetapi juga merupakan amanat hukum yang tercermin dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan yang mengatur birokrasi sipil, termasuk UU ASN dan UU Kepolisian. Ketika jabatan administratif strategis, seperti Sekretaris Jenderal DPD RI, yang berada di jantung manajemen kelembagaan legislatif, ditempati oleh seorang perwira tinggi Polri tanpa mekanisme seleksi terbuka, maka tindakan tersebut tidak hanya merupakan pelanggaran administratif dalam konteks hukum kepegawaian, melainkan telah mencapai titik yang membahayakan konfigurasi ketatanegaraan dan desain institusional republik.
Lebih jauh, pengangkatan eksponen kepolisian ke dalam jabatan sipil strategis tersebut menciptakan preseden yang buruk dan berbahaya, karena mendobrak sekat institusional antara kekuasaan sipil dan aparat bersenjata. Dalam praktik negara demokratis yang sehat, seperti yang ditunjukkan dalam berbagai best practices di negara-negara dengan indeks demokrasi tinggi, supremasi sipil merupakan prinsip absolut yang tidak bisa ditawar. Ketika eksekutif justru membuka ruang bagi intervensi kekuatan bersenjata baik militer maupun kepolisian ke dalam struktur sipil yang seharusnya netral, maka yang terjadi bukan hanya pergeseran fungsi kelembagaan, tetapi juga potensi erosi terhadap independensi lembaga legislatif dan pencemaran terhadap prinsip checks and balances antar-cabang kekuasaan negara. Jabatan Sekjen DPD RI bukanlah jabatan seremonial, melainkan posisi administratif tertinggi di dalam lembaga legislatif, yang fungsinya menyangkut pengendalian atas perencanaan anggaran, agenda kelembagaan, serta relasi dengan otoritas negara lainnya. Oleh karena itu, kehadiran figur dari institusi penegak hukum di dalamnya secara otomatis menimbulkan konflik kepentingan sistemik, dan menumbuhkan dominasi eksekutif terhadap fungsi legislatif melalui birokrasi teknokratik.
Dari sudut pandang hukum tata negara, Keppres 79/TPA jelas cacat dalam dua dimensi: cacat prosedural (formil) dan cacat substansial (materiil). Cacat prosedural muncul karena pengangkatan dilakukan tanpa proses seleksi terbuka sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tentang ASN dan PP tentang Manajemen PNS. Ini merupakan bentuk bypass hukum yang merusak sistem merit. Sedangkan cacat substansial muncul karena pengangkatan dilakukan terhadap individu yang tidak memenuhi syarat normatif sebagai ASN aktif, serta tidak memiliki landasan hukum yang jelas untuk menduduki jabatan JPT Madya di lingkungan lembaga legislatif negara. Dengan demikian, Keppres ini melanggar tidak hanya norma administratif, tetapi juga menyimpang dari prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang bersih, profesional, dan bebas dari intervensi kekuatan bersenjata, sebagaimana digaungkan dalam agenda reformasi birokrasi dan konstitusionalisme pasca 1998.
Dalam konteks tersebut, Keppres 79/TPA harus diposisikan bukan sebagai kesalahan administratif biasa, melainkan sebagai simbol kemunduran demokrasi birokratik, karena ia mengikis kepercayaan publik terhadap sistem rekrutmen jabatan publik yang adil dan meritokratis. Jika tindakan ini dibiarkan dan tidak dikoreksi, maka akan terbentuk preseden konstitusional yang berbahaya, di mana kekuasaan eksekutif dapat secara sepihak mengintervensi institusi legislatif melalui jalur administratif yang legalistik tetapi cacat substansi. Hal ini bertentangan dengan asas salus populi suprema lex esto kesejahteraan dan keamanan konstitusional publik harus menjadi hukum tertinggi dan pada akhirnya berpotensi memperkuat konsolidasi kekuasaan yang otoriter melalui birokrasi yang terkooptasi oleh kekuatan represif negara.
Oleh karena itu, Keputusan Presiden Nomor 79/TPA Tahun 2025 tidak dapat dipandang sebagai sekadar keputusan administratif yang bersifat teknis birokratis, melainkan harus dipersoalkan secara serius melalui mekanisme hukum yang tersedia dalam sistem peradilan administrasi negara. Salah satu mekanisme hukum yang dapat ditempuh adalah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan ketentuan Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan. Keppres pengangkatan pejabat publik, termasuk Sekjen DPD, jelas merupakan produk hukum administratif yang bersifat konkret, individual, dan final, sehingga memenuhi syarat sebagai objek gugatan di PTUN. Di samping itu, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip sistem merit, netralitas ASN, dan standar seleksi jabatan publik sebagaimana diatur dalam UU ASN dan peraturan turunannya juga membuka ruang pengaduan administratif ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan pelaporan dugaan maladministrasi ke Ombudsman Republik Indonesia, sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.
Langkah-langkah hukum ini tidak hanya bertujuan untuk mengoreksi satu keputusan yang cacat, tetapi lebih jauh merupakan upaya strategis untuk mencegah terbentuknya preseden berbahaya dalam pengisian jabatan publik di masa mendatang. Jika penyimpangan ini dibiarkan tanpa koreksi, maka akan muncul legitimasi semu terhadap praktik kekuasaan yang mengabaikan asas legalitas dan akuntabilitas, serta membuka celah pelembagaan praktik-praktik politik patronase di dalam struktur birokrasi. Ketika mekanisme seleksi terbuka yang seharusnya menjadi benteng meritokrasi dilewati demi kepentingan politik atau loyalitas personal, maka yang lahir adalah birokrasi partisan, bukan birokrasi profesional. Padahal, dalam sistem demokrasi modern, keberadaan ASN yang netral dan berbasis kompetensi merupakan fondasi utama bagi penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan demokratis. Mengabaikan prinsip ini berarti membajak agenda reformasi birokrasi, dan pada akhirnya mengarah pada kontrareformasi institusional.
Lebih jauh, peran DPR dan masyarakat sipil menjadi sangat vital dalam situasi seperti ini. DPR, dalam fungsi pengawasannya, harus lebih kritis dan aktif melakukan penelusuran terhadap setiap Keppres yang dikeluarkan Presiden, terutama yang menyangkut jabatan strategis di lembaga negara. Tidak hanya soal prosedur, DPR juga perlu menilai apakah keputusan tersebut selaras dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, masyarakat sipil, akademisi, organisasi profesi, dan media massa harus mengedepankan kontrol publik melalui advokasi, pelaporan, dan diskursus kritis untuk menjaga integritas birokrasi dari pengaruh kekuasaan yang berlebihan. Negara hukum yang sehat tidak cukup hanya dengan norma, tetapi memerlukan kewaspadaan kolektif terhadap setiap bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk dalam pengisian jabatan yang secara formal sah, tetapi secara substantif melanggar nilai-nilai demokrasi.
Jika praktik semacam ini tidak segera dihentikan, maka kita akan menyaksikan pergeseran nilai dari birokrasi meritokratis menuju birokrasi loyalistik, yang lebih mengutamakan kedekatan politik atau afiliasi struktural daripada kompetensi dan integritas. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan struktural dalam rekrutmen jabatan publik, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap negara dan pemerintah. Lebih dari itu, situasi ini merupakan bentuk kemunduran demokrasi yang nyata, karena menyuburkan kultur kekuasaan yang tidak tunduk pada batasan hukum, dan justru memanfaatkan celah kelembagaan untuk memperkuat dominasi elit atas birokrasi. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengganggu stabilitas institusi negara, memperlemah tata kelola pemerintahan, dan memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia.
VB-Putra Trisna.