Kota Tangerang Selatan (Varia Banten) Polemik Remisi Bagi Narapidana Koruptor (oleh Indra Wijaya
Staf Tata Usaha dan Pimpinan Pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI dan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang, Kota Tangerang, Provinsi Banten)

Pidana penjara merupakan pidana yang diberikan terhadap Terdakwa yang melakukan perbuatan yang telah diputuskan didalam pengadilan berupa hilangnya kemerdekaan untuk sementara waktu atau seumur hidup. Dimana dalam penjara yaitu pemasyarakatan akan melakukan kegiatan binaan untuk pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan. Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka untuk membentuk warga binaan pemasyarakaan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab“. Secara umum dinyatakan, bahwa yang di maksud denga sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pelaksanaan pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan sebagai pengganti sistem pemasyarakatan di Indonesia. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyebutkan sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan. Pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan agar dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehinga dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab.

Dewasa ini, Hak asasi yang sangat berkaitan erat dengan para terpidana salah satunya adalah remisi, remisi merupakan pengurangan masa pidana, remisi diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 14 ayat (1) menyatakan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), secara tidak langsung Pasal 14 ayat (1) ini tidak mengecualikan terhadap seluruh narapidana untuk mendapatkan hak remisi atau pengurangan masa pidana termasuk para terpidana kasus korupsi, walaupun hak remisi ini dibatasi oleh ketentuan yang terdapat pada Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan hak tersebut tidak serta merta dapat diberikan kepada narapidana, karena mengenai adanya syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana yang diatur oleh peraturan pemerintah. Konsideran Peraturan pemerinah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan bahwa pemberian Remisi, Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat bagi pelaku tindak pidana Terorisme, Narkotika dan Prekursor Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Kejahatan terhadap Keamanan negara dan Kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya perlu diperketat syarat dan tata caranya untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Yang menarik dalam konsideran PP ini adalah tersurat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Salah satu tindak pidana yaitu Tindak pidana korupsi jelas menimbulkan akibat yang membahayakan dan meresahkan masyarakat, lebih khususnya keuangan dan perekonomian negara, atau dampaknya berwujud pada publik dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua program pemerintah, dapat mengganggu pembangunan, serta menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat. Secara sosiologis, pemberian remisi untuk narapidana sesungguhnya sangat melukai masyarakat yang telah lama menanti kesejahteraan dan keadilan. menilai keputusan pemerintah memberikan remisi atau membebaskan seorang koruptor, tidak mempertimbangkan empati sosial. Secara umum, remisi tersebut diberikan berdasarkan dua syarat, yakni berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal selama 6 (enam) bulan. Namun, terkhusus bagi terpidana korupsi, berlaku ketentuan khusus. Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 mengatur, bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku untuk terpidana kasus terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Pada kasus tindak pidana biasa, yang dirugikan hanya satu individu saja. Namun, korupsi memiliki dampak merugikan dalam skala yang sangat luas. Sehingga, cara-cara yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah dengan menghapus remisi bagi koruptor. Koruptor harusnya diberi hukuman maksimal, tanpa remisi. Mereka sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat, sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Justru koruptor harusnya dimiskinkan dan kalau perlu diberi sanksi sosial. Memang penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan termasuk mendapat remisi. Alasan kelakuan baik selama berada di penjara tidak dapat digunakan untuk memberikan remisi. Betapapun para koruptor memperlihatkan kelakuan baik selama di penjara, alasan tersebut tidak dapat menghapus kejahatan korupsi yang telah dilakukannya. Apalagi biasanya motif mereka berkelakuan baik di penjara hanya untuk memperoleh remisi. Adanya pro kontra di dalam masyarakat tentang moratorium remisi bagi para koruptor, pada prinsipnya menunjukkan adanya kesenjangan antara hukum secara normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya dan perilaku kelembagaan hukum yang semestinya. Banyak pihak yang kecewa dan sakit hati melihat ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku korupsi. Kekecewaan dan sakit hati tersebut bertambah besar manakala mendengar, bahwa terpidana kasus korupsi mendapat perlakuan dan fasilitas yang sangat istimewa di dalam penjara. Dalam masa transisi penegakan hukum, kebijakan pemerintah memperketat syarat remisi, bahkan menghapuskan sekalipun, tidak layak diperdebatkan dengan bersandar pada hak asasi koruptor. Perbuatan tercela yang dilakukan oleh koruptor telah merampas hak asasi rakyat banyak, sehingga harus diperlakukan luar biasa dalam proses hukumnya, yang tidak hanya selesai saat hakim menjatuhkan putusan. Keluarbiasaan tersebut harus sampai pada pelaksanaan putusan dalam lembaga pemasyarakatan, agar koruptor menyadari kesalahan.(VB-BS).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.