Tangerang Selatan (Varia Banten) – Lika-liku perjalanan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Yang Menuai Pro Dan Kontra Hingga Akhirnya Disahkan Oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh Windyo Purwadi (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang-Banten).
Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menuai beragam sikap pro dan kontra selama pembahasannya. Diketahui, pembahasan RUU TPKS sudah mulai mencuat sejak tahun 2016. Dikutip dari laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dinamika pembahasan RUU TPKS bermula saat Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) resmi menyerahkan naskah akademik dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) kepada Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 23 Agustus 2016 silam. Saat yang sama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga telah menerima naskah akademik RUU PKS.
Usulan RUU PKS itu kemudian ditandatangani oleh 70 anggota DPR, sehingga resmi menjadi inisiatif DPR. Setelah dilakukan beberapa perubahan, RUU PKS kemudian diberikan ke pemerintah melalui surat dengan nomor LG/06211/DPR RI/IV/2017 pada 6 April 2017. “Draf RUU PKS dan Naskah Akademik yang telah diterima oleh DPR, dan menjadi naskah resmi DPR selanjutnya disebut RUU PKS 2017,” terang pihak ICJR dalam laporan yang diterima, Sabtu (15/1/2022). Kemudian, Badan Legislasi (Baleg) DPR melakukan harmonisasi naskah RUU tersebut dengan undang-undang lainnya. Hingga akhirnya, pada Juni 2016 pemerintah dan Baleg sepakat untuk mencantumkan RUU PKS ke dalam Prolegnas tambahan 2016 – 2019.
Pemerintah sendiri menugaskan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) dalam menyusun daftar inventaris masalah RUU PKS. Akhirnya, pada 11 September 2017 KPPA bersama Komisi VIII DPR resmi membahas RUU PKS. Yang kemudian terjadi adalah pembahasan berlarut-larut. Terjadi perdebatan yang membahas soal judul RUU hingga definisi kekerasan seksual, tanpa membahas substansi RUU PKS.
Bahkan, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin saat itu menyurati Presiden Jokowi untuk menunda pembahasan RUU PKS karena dipandang masih perlu mempertimbangkan ajaran agama Islam dan agama lain yang diakui di Indonesia.
Hingga akhir masa pemerintahan Jokowi, RUU itu tidak selesai dibahas dan juga tidak masuk sebagai UU yang akan dibahas di periode selanjutnya.
Atas dasar itu, Komnas Perempuan serta kelompok masyarakat sipil memperbaiki draf RUU PKS. Akhirnya, draf tersebut berhasil diselesaikan pada September 2020 dan dibawa ke Baleg DPR untuk menjadi RUU usulan DPR, hingga kemudian resmi masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Pemerintah lalu membentuk Gugus Tugas Pembahasan RUU PKS yang dikoordinatori oleh Kantor Staf Presiden. Gugus tugas tersebut bekerja bersama dengan Baleg DPR untuk menyusun RUU PKS versi usulan DPR. “Pada perkembangan penyusunan draf di Baleg DPR ini kemudian, RUU PKS berubah nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” katanya.
Baleg DPR kemudian merampungkan draft RUU TPKS pada 8 Desember 2021. Dalam pembahasan keputusan tingkat I harmonisasi draf RUU TPKS, ada tujuh fraksi yang menyatakan setuju RUU TPKS menjadi inisiatif DPR yakni PPP, PDIP, PAN, Gerindra, Demokrat, Nasdem, dan PKB.
Sementara fraksi Golkar menyatakan setuju pembahasan dilanjutkan, namun meminta pengesahan ditunda. Lalu PKS tetap konsisten menyatakan menolak RUU TPKS menjadi inisiatif DPR.
Seharusnya, RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR pada Sidang Paripurna 15 Desember 2021. Namun, hal itu urung terjadi, dimana RUU TPKS dipastikan tidak dibahas di rapat paripurna.
“Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan ada kesalahan teknis sehingga RUU TPKS batal masuk paripurna. Ketua DPR RI Puan Maharani berkelit, dengan memastikan tidak dibahasnya RUU PKS lantaran tidak tersedia waktu yang cukup, sehingga akan dibahas dalam awal masa sidang berikutnya,” terangnya. Sontak perkembangan ini memicu reaksi dari berbagai kalangan baik dari anggota parlemen lain hingga dari pihak eksekutif yang mendorong agar RUU TPKS segera disahkan.
Puncaknya terjadi pada 4 Januari 2022. Presiden Jokowi mendorong agar RUU TPKS segera disahkan. Presiden sudah menugaskan Menteri PPPA, Menkumham, serta Gugus Tugas pemerintah yang menangani RUU TPKS untuk berkoordinasi dan berkonsultasi dengan DPR untuk menyegerakan pengesahan RUU TPKS.
Akhirnya Palu sidang dalam rapat paripurna diketukan Ketua DPR Puan Maharani pertanda Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) resmi mendapat persetujuan dari seluruh anggota dewan untuk disahkan menjadi UU. Derai sorak gembira dari para pengunjung di balkon ruang paripurna bergemuruh. “Apakah RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat kita setujui untuk disahkan menjadi UU?” ujar Puan di ruang rapat paripurna Komplek Gedung Parlemen, Selasa (12/4/2022).
Puan berpandangan pengesahan RUU TPKS menjadi UU adalah hadiah bagi perempuan di seluruh Indonesia serta demi kemajuan bangsa. Sebagai hasil kerja sama dan komitmen bersama antara DPR, pemerintah, serta melibatkan peran serta masyarakat sipil menjadi instrumen dalam melawan tindak pidana kekerasan seksual.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya mengatakan konstruksi dan substansi dalam RUU TPKS memuat politik hukum yang penting dan strategis serta menjadi terobosan dalam pembaharuan hukum menjawab persoalan perkara kekerasan seksual. Karenanya menjadi sebuah keniscayaan agar RUU tentang TPKS yang telah selesai dibahas dan disetujui DPR dapat ditindaklanjuti dengan ditandatangani presiden.
Bagi Willy, sepanjang pembahasan RUU TPKS, pihaknya membuka ruang selebar-lebarnya berbagai elemen masyarakat dalam memberikan masukan, saran, ataupun kritik demi penyempurnaan RUU. Bahkan, saat pembahasan intensif oleh Panitia Kerja (Panja) masih berkenan menerima masukan publik.
UU TPKS menjadi wujud nyata hadirnya negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, hingga menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual. (VB-BS).