Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Indonesia adalah negara yang beragama, yang jelas tertuang dalam sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka kita sebagai warga negara Indonesia wajib beragama. Indonesia memiliki enam agama yang diakui negara, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dalam rangka memperingati hari besar keagamaan ini, Perseroan memberikan Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR Keagamaan”) kepada Pekerjanya sesuai dengan Perjanjian Kerja (“PK”), Peraturan Perusahaan (“PP”) atau Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”) antara perusahaan dengan serikat pekerja/organisasi buruh dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan THR agama.
Dasar hukum THR keagamaan adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 78 Tahun 2015 (“PP 78/2015”), yang merupakan perintah pelaksanaan Pasal 97 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 UU No. Republik Indonesia. (“UU 13/2003″). Selain peraturan perundang-undangan di atas, THR keagamaan juga mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Gratifikasi Hari Raya Bagi Karyawan Perusahaan (“Permenaker 6/2016”). ’) membatalkan pemberlakuan Depnaker nomor PER.04/MEN/1994 tentang hari raya keagamaan bagi karyawan (‘Permenaker 4/1994’). Pengenaan denda dan sanksi administratif terhadap pelanggaran THR keagamaan diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Peraturan Gaji Pemerintah No. 78 Tahun 2015 (“Permenaker 20/2016”).
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Hak Keagamaan Pekerja/Karyawan Perusahaan, THR Keagamaan adalah penghasilan tidak dibayar yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/karyawan sebelum hari raya keagamaan.
Menurut hukum ketenagakerjaan Indonesia, THR adalah hak setiap pekerja yang terikat hubungan kerja dengan pemberi kerja. Begitu pula mereka yang mendasarkan komitmennya pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu terbuka (PKWTT). Ini termasuk pekerja outsourcing, buruh harian lepas dan banyak posisi karyawan lainnya yang dipekerjakan oleh pemberi kerja. Yang memenuhi syarat adalah karyawan yang telah bekerja setidaknya selama satu bulan. Karyawan yang telah bekerja terus menerus selama 12 bulan atau lebih menerima THR sebesar satu bulan gaji. Sedangkan karyawan yang telah bekerja minimal 1 bulan terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan akan menerima THR pro rata dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 (dua belas) bulan dikalikan satu bulan gaji. Namun bagi perusahaan yang telah mengatur pembayaran THR keagamaan dalam kontrak kerja, peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB) dan ternyata lebih baik dan lebih besar dari ketentuan di atas, maka THR kepada karyawan harus dibayarkan melalui PP atau PCB dapat diproduksi.
Pertanyaan yang sering muncul di masyarakat adalah apakah karyawan masih berhak mendapatkan THR bagi karyawan yang diberhentikan sebelum hari raya keagamaan. Dalam kasus yang disebutkan di atas, karyawan harus memastikan jenis pekerjaan apa yang mengikatnya. Jika komitmen berupa perjanjian waktu kerja tidak terbatas (PKWTT), karyawan tetap berhak atas THR 30 hari sebelum hari raya keagamaan. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pekerja yang keluar dari hubungan kerja karena berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tetap (PKWT). Aturan ini berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016.
Aturan di atas masih menjadi pro kontra di masyarakat, karena adanya perbedaan perlakuan terhadap pekerja akibat perbedaan jenis kontrak kerja. Hal ini dikarenakan hampir semua pekerja yang melakukan PKWT tidak memenuhi syarat-syarat kerja sesuai ketentuan, salah satu kriterianya adalah masa kerja tetap. Masyarakat sangat berharap regulasi pemerintah mampu melindungi pekerja sebagai pihak yang tidak memiliki posisi yang kuat dengan penyedia jasa. VB-Putra Trisna.