Tangerang Selatan, (variabanten)-Penegakkan hukum pidana terhadap anak dibawah umur berbeda dengan sistem penegakkan hukum pidana terhadap orang dewasa. Yang mana pemahaman terhadap proses penanganan dalam perkara pidana anak ini masih ada sebagian kalangan di masyarakat yang belum mengerti atau paham mengenai prosesnya, sehingga terkadang memunculkan penilaian masyarakat yang bermacam-macam, terlebih penilaian yang bersifat negative.
Bahkan penilaian yang seperti itu dapat menyebabkan suatu kejadian fatal yang dapat terjadi suatu penilaian yang salah, khususnya penangan terhadap anak yang berkonflik hukum dapat mendapatkan suatu perlakuan yang istimewa dibandingkan dengan penangan terhadap orang dewasa yang berkonflik, dan ada juga sebagian dari kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa anak tidak bisa dihukum, padahal yang sebenarnya proses penanganannya saja yang diatur secara khusus.
Sistem peradilan pidana bagi anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai dengan tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Untuk anak yang belum berumur 12 tahun yang melakukan atau diduga melakukan suatu tindak pidana, maka seorang penyidik, pembimbing kemasyarakatan harus dapat mengambil keputusan untuk menyerahkan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada suatu instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang bertugas menangani bidang kesejahteraan sosial (Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.
Berbeda dengan perkara pidana pada orang dewasa yang berusia 18 tahun ke atas, setiap tingkat pemeriksaannya tidak perlu didampingi oleh orang tua/wali namun dalam perkara pada anak yang berkonflik dengan hukum ini perlu dan wajib didampingi orang tua/wali.
Berbagai faktor yang memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan. Anak yang melakukan tindak pidana ini bisa disebut sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.
Ada 3 (tiga) hal yang perlu ditanamkan oleh para pihak mulai dari keluarga, negara serta lingkungan untuk mengurangi kriminalitas anak, seperti :
1. Faktor keluarga dan lingkungan sangat menentukan bagi perkembangan anak,bagaimana orang tua mengajarkan pendidikan agama dan akhlak yang baik. dan yang paling penting orang tua memberikan contoh tauladan positif.
2. Faktor ekonomi, kita wajib berusaha mencukupi kehidupan atau keperluan anak karena dimasa ini mereka masih labil memikirkan baik buruk yang dilakukan, kita harus tegas memberi perhatian yang lebih supaya anak anak kita taat peraturan.
3. Pemerintah harus pastikan muatan kekerasan dan konten pornografi tidak ditayangkan di media apapun dan kapanpun. Serta menggalakkan upaya pencegahan kekerasan dan kriminalitas anak.
Caranya dengan promosi kehidupan yang harmonis dan ramah anak, memberikan pendidikan sekolah. Konsekuensi yang dapat diberikan pada anak yang melakukan tindak pidana adalah dipelihara oleh negara (direhabilitasi), atau dikembalikan pada orang tua, dan tetap dapat dijatuhkan pidana dengan persyaratan ketat. Ditambah lagi saat ini sudah dilengkapi dengan penerapan restorative justice bila didapati masalah hukum pada anak Dimana di dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a dan d UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlakuan bagi anak yang berkonflik dengan hukum haruslah manusiawi dan harus sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, serta penjatuhan sanksi yang terbaik bagi kepentingan anak.
Pesan ini seharusnya dijadikan rambu peringatan oleh aparat penegak hukum dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum. Jangan sampai anak yang berkonflik dengan hukum mengalami trauma yang berkepanjangan akibat perlakuan yang keliru atas kesalahan yang mereka lakukan. Tentu jika hal itu terjadi secara tidak langsung akan mengancam perkembangan bangsa secara keseluruhan, karena generasi yang diharapkan bagi kemajuan telah salah dalam memperlakukannya. Hal ini yang perlu diperhitungkan jangan sampai anak pelaku tindak pidana dikemudian hari hilang harapan masa depannya.
Seorang anak yang berkonflik dengan hukum tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab orang tua sebagai pihak pertama yang berada dalam lingkungan anak. Hubungan antara orang tua dan anak merupakan hubungan yang terharmonisasi dari hubungan emosional yang kuat atas dasar pertalian darah. Keadaan inilah yang menjadikan orang tua tidak bisa melepaskan dan dilepaskan tanggung jawabnya terhadap perilaku anaknya. Maksudnya ialah bila anak melakukan kejahatan, maka tidak hanya si anak yang diberikan pidana ataupun tindakan. Namun sedihnya aturan di dalam hukum positif indonesia tidak mengatur hal demikian.
Anak sebagai pelaku tindak pidana harus bertanggung jawab secara individu, karena asas hukum pidananya mengatur bahwa siapa yang melakukan tindak pidana maka dialah yang bertanggung jawab. VB-Putra Trisna.