Tangerang Selatan, (variabanten.com) -Tahun 2016 masyarakat Indonesia heboh tentang kasus yang berkaitan dengan penyimpangan perilaku seksual mulai dari kasus YY (14 tahun) hingga kasus EP (18 tahun).
Kasus-kasus penyimpangan seksualitas yang menggemparkan masyarakat Indonesia bermula dari gerakan seribu nyala lilin untuk korban pemerkosaan yang berinisial YY yang statusnya masih pelajar SMP di sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu, YY menemui hari sialnya setelah pulang sekolah dan akhirnya di garap oleh 14 pemuda. Kasus YY belum sempat meredup munculah kasus EP seorang gadis umur 18 tahun yang di perkosa oleh kekasihnya sendiri bersama 2 pelaku lain, dan parahnya dari kasus ini adalah setelah di perkosa korban dibunuh sadis oleh para pelaku dengan memasukkan gagang cakul melalui alat kelaminnya sedalam 65 cm sehingga mengakibatkan kematian korban. Dan parahnya ketika gagang cangkul dimasukkan korban masih dalam keadaan hidup, gagang cangkul yang dimasukkan mengakibatkan beberapa organ vital korban berinisial EP ini rusak parah.
Tanggapan Masyarakat
Tanggapan masyarakat begitu antusias dan seolah-olah semua pandangan mata tertuju pada kasus tentang penyimpangan seksualitas. Antusias masyarakat bisa kita lihat dari munculnya gerakan Seribu nyala lilin untuk korban pemerkosaan YY di Bengkulu. Berbagai media massa gencar meliput kasus pemerkosaan anak di bawah umur tersebut yang di garap oleh 14 pemuda dan parahnya adalah beberapa pemuda tersebut adalah tetangga YY dan bahkan sebelum sempat tertangkap pemuda tersebut ikut dalam pencarian korban YY.
Api tentang YY belum sempat padam muncullah kasus pemerkosaan terhadap korban EP (18) yang diperkosa oleh kekasihnya sendiri bersama 2 pelaku dan dibunuh sadis oleh para pelaku dengan menancapkan pacul lewat kemaluan korban. Setelah 2 kasus itu muncul di permukaan mulailah kasus-kasus pelencengan seksualitas muncul satu per satu antara lain kasus siswa yang di hamili oleh kepala sekolah sendiri dan saya yakin masih banyak lagi.
Beberapa kasus tersebut membuat masyarakat geram dan akhirnya masyarakat Indonesia pun menggencarkan hukuman kebiri bagi para pelaku yang tidak manusiawi tersebut. Bisa dilihat dari beberapa social media masyarakat meramaikan hashtag hukuman kebiri untuk pelaku pemerkosaan.
Perppu Kebiri
Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupatan dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu, katanya, merupakan kejahatan seksual terhadap anak. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, dan penelantaran anak. Data dan korban kejahatan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi peningkatan. Pada 2010, ada 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan seksual. Pada 2011 terjadi 2.426 kasus (58% kejahatan seksual), dan 2012 ada 2.637 kasus (62% kejahatan seksual). Pada 2013, terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu 3.339 kasus, dengan kejahatan seksual sebesar 62%. Sedangkan pada 2014 (Januari-April), terjadi sebanyak 600 kasus atau 876 korban, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak.
Undang- undang yang mengatur kejahatan seksual nampaknya bukanlah sebuah ketakutan yang di hadapi oleh para pelaku kejahatan ini terbukti dengan adanya peningkatan kekerasan seksual setiap tahunnya. Dan kekesalan masyarakat telah sampai pada puncaknya dan berbagai gerakan dilakukan unutk menyebarluaskan tentang pengajuan hukuman kebiri untuk pelaku. Akhirnya melihat kondisi genting ini, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang ditanda tangani pada tanggal 25 Mei 2016 di Istana Merdeka, Jakarta.
Perppu ini berisi tentang pemberatan sanksi pidana kekerasan seksual terhadap anak. Seperti contoh dalam Pasal 81,melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta dan paling sedikit 60 juta tercantum di UU No 23 Tahun 2002. Sedangkan unutk UU No 35 Tahun 2014 pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun dan denda paling banyak 5 milliar. Untuk pidana penjara yang di atur di pasal ini adalah paling singkat 5 tahun dan paling lama 5 miliar untuk yang menimbulkan korban jiwa, luka berat, korban lebih dari satu orang, gangguan jiwa, penyakit menular dan terganggunya fungsi reproduksi dikenakan pidana mati, sumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Bahkan ditambahkan pengumuman identitas pelaku dan dilakukannya kebiri kimia dan pemasangan alat pedeteksi elektronik, untuk hukuman kebiri itu sendiri disertai rehabilitasi (pasal 81 A).
Hukum kebiri sendiri ada beberapa macam pada zaman dahulu kala hukum kebiri adalah dengan memotong kedua testis dan penis pria, tetapi pada zaman modern ini kebiri dilaksanakan dengan 2 macam yaitu kebiri bedah dan kebiri kimia. Kebiri bedah adalah dengan membedah ng kelenjar testis pria sedangkan untuk kebiri kimia adalah memasukkan obat-obatan unutk menurunkan hasrat seksual pria. Hukum kebiri yang di atur dalam perppu ini adalah hukum kebiri secara kimiawi.
Hukum kebiri, Hak Asasi Manusia dan Efek Jera Pelaku?
Meskipun banyak kalangan sangat menyetujui hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual anak tetapi ada beberapa pihak yang tidak menyetujui hukum kebiri ini dengan alasan atas nama hak asasi manusia. Ketua Komisi fatwa MUI Sulsel, Prof. Dr. Minhauddin mengaku sangat setuju dengan adanya hukum kebiri ini. Dan menurut psikolog Eva Meizara Puspita Dewi pun setuju bahwa hukum kebiri akan membuat efek jera pelaku.
Tetapi disisi lain Ketua Komisi Nasional HAM Imadadun Rahmat justru menyangkal pasal tentang kebiri kimia yang di atur dalam perppu, beliau berpendapat bahwa hukuman kebiri membuat efek jangka panjang bahkan menimbukan potensi merusak tubuh seseorang, meski harus menimbulkan efek jera beliau mengatakan bahwa kita harus mengedepankan manusiawi. Hal serupa juga dinyatakan oleh Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan hukum kebiri bukanlah sebuah solusi karena menerut beliau bukan masalah libido tetapi juga mengandung unsur kemarahan terhadap situasi sosial, ekonomi dan politik pelaku.
Psikolog anak Seto Mulyadi atau lebih akrab di panggil kak seto juga menambahkan kekerasan seksual merupakan masalah kejiwaan dan bukan soal libido. Tetapi masyarakat memandang juga hak asasi manusia sang korban yang mungkin kejiwaannya akan tergoncang setelah peristiwa tersebut dan bagi perempuan keperawanan adalah sebuah mahkota perempuan dan jika kehilangan sebuah mahkota masa depan terlihat suram bagi mereka, belum terhitung kekerasan seksual tidak hanya merusak jiwa mereka tetapi juga merusak fisik bahkan beberapa kasus sang korban di bunuh seperti dalam kasus YY di Bengkulu dan EP di Tanggerang. Bahkan untuk beberapa kasus sang korban memang masih hidup tetapi karena jiwanya terlalu tergoncang hingga mengakibatkan sang korban bunuh diri.
Dikeluarkannya hukuman kebiri adalah usaha pemerintah untuk menciptakan rasa aman dan rasa takut untuk para calon pelaku selanjutnya karena semakin maraknya kasus kekerasan yang muncul. Meskipun pro dan kontra tentang masalah hukuman kebiri ini tetapi perppu ini telah di tandatangani dan telah masuk dalam prioritas progam legislasi nasional 2016. Dan akhirnya pada tahun 2020 terbitlah Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Pendeteksi elektronik, rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual pada anak. Apakah pemerintah berhasil membuat pelaku jera dan membuat para calon pelaku takut ? kita cukup duduk manis dan melihat perkembangan yang terjadi, yang jelas semoga setelah di keluarkan nya peraturan ini kasus kekerasan seksual dapat turun drastis. VB-Putra Trisna.