Berita Banten - Portal Banten - Media Online Banten

Tangerang Selatan, (variabanten.com), Situasi hukum di Indonesia sering di katakan “tumpul ke atas, tajam kebawah”. Hal ini bermakna bahwa hukum tidak memberi kepastian yang sebenarnya, terutama bagi pihak yang lemah. Efektifitas penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat kecil yang melakukan kejahatan kecil. Sedangkan pelaku-pelaku kejahatan besar seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang lazim disebut penjahat berkerah putih (white collar crime) sangat sulit untuk di sentuh. Adanya hukum seharusnya menciptakan kepercayaan dan kedamaian bagi rakyatnya. Situasi seperti ini sangat memprihatinkan, alasannya dapat dikatakan karena penegak hukum mengutamakan kepentingan pribadi, sehingga keadilan tidak dapat di temukan.

Masih banyak orang lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan bersama, salah satunya pihak yg kuat karena mereka lebih mudah dalam mendapatkan keinginannya. Rakyat lemah yang tidak memiliki koneksi dan relasi tidak mendapat keadilan demi memuaskan keinginan pihak yang kuat. Pihak yang berkuasa menunjukan bahwa dia lebih berkuasa dari pada yang lain, sehingga persamaan tidak berlaku, inilah salah satu penyebab hukum di Indonesia tumpul keatas dan tajam kebawah.

Dari pendapat Hikmahanto, dapat diketahui bahwa masalah hukum di Indonesia lebih mengedepankan kemenangan bukan keadilan, dan uang lebih diutamakan. Sehingga membuat hal yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Hal yang tidak seharusnya inilah yang mejadikan hukum yang tidak seimbang. Menurut Ahkam Jayadi, masih banyak penyelesaian kasus yang lebih berorientasi pada hukum formal (Hukum Postivisme), dan dampaknya telah banyak mengalami kegagalan dan menimbulkan kesewang-wenangan dan ketidakadilan.

Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu tertulis dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen. Kondisi hukum di Indonesia saat ini lebih sering memuji kritik atas pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegak hukum, kesadaran hukum, kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungnya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai aturan.

Contoh kasus:
Dalam bukti empiris dapat kita saksikan dalam kasus korupsi mantan Gubernur Banten RAC yang dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta. RAC telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) AM sebesar 1 Miliar untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. Bandingkan dengan kasus seorang nenek AS Dia di dakwa dengan pasal 12 huruf d juncto pasal 83 ayat (1) huruf a undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan denga ancaman hukuman penjara 5 tahun. AS dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan perhutani di desa setempat. Sebelumnya, Nenek AS juga telah menyatakan itu secara langsung di hadapan majelis hakim ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu jati itu peninggalan suaminya yang telah meninggal. Sungguh miris bukan? gambaran ini menurut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita.

Praktik-praktik penegak hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah. Ada perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, hukum realita terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan Undang-Undang atau peraturan. Akibatnya, penegakan “hukum” hanya menjadi bagian dari aturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari system hukum Pendidikan yang lebih mengendapkan positivisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara berhukum para penegak hukum seolah seperti tanpa nurani dan akal sehat namun memiliki jiwa yang besar dalam mempertahankam harkat keadilan dalam penegakkan hukum negeri ini.
Satjipto Raharjo, penegakan hukum progresif, jakarta: kompas, 2010,17,https://books.google.co.id/books/about/Penegakan_hukum_progresif. FB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *