Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Belakangan ini banyak hal yang bersifat kriminal dilakukan oleh anak di bawah umur. Mulai dari tindakan seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif lainnya, minuman keras, pergaulan bebas, balap liar, begal, pencurian, dan sebagainya kerap melibatkan anak dibawah umur.

Anak adalah bibit tumbuhnya generasi harapan bangsa di masa depan, di pundak mereka masa depan bangsa dipertaruhkan. Sebagai generasi penerus bangsa akan sangat riskan jika usia muda telah terlibat dalam tindakan kriminal.

Anak merupakan aset masa depan bangsa, oleh karena itu mereka harus diberikan akses yang baik dan memadai, terutama dalam hal pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang ada sebagai bekal mereka menghadapi berbagai tantangan yang berkembang dimasa depan.

Anak sebagai anugrah terindah sekaligus titipan dari Tuhan Yang Maha Esa merupakan sebuah kebanggaan bagi kedua orang tuanya. Peran orang tua dalam proses pertumbuhan anak sangat penting untuk pendidikan moral dan materiil pada diri anak. Sebagai orang tua dan juga sebagai anggota masyarakat, anak-anak pada usia muda sudah melakukan tindakan kriminal tentu sangat mengkhawatirkan, seharusnya pada usia ini banyak belajar membekali diri untuk menghadapi berbagai tantangan dimasa depan.

Batasan seseorang yang disebut sebagai seorang anak adalah mengenai batas usia. Pengelompokan batas usia maksimum merupakan bentuk kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dantindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu atau dengan kata laindi sebut dewasa.

Menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2022 menjelaskan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang ada di dalam kandungan. Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana.

Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapanbelas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari
proses peradilan sehingga menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar serta merupakan bentuk perlindungan hukum.

Namun, apakah pengaturan usia pemidanaan anak dalam Undang-Undang Sistem PeradilanPidanaAnak sudah tepat?

Jika kita melihat kembali beberapa waktu lalu kasus anak dibawah umur memperkosa anak TK di Mojokerto. Bocah 8 tahun di Mojokerto mencabuli bocah TK, kemudian mengancam pelaku lain. Bocah ini berinisial HI. Ia bersama dua kawannya, FI dan HS, sama-sama 8 tahun, melakukan pelecehan seksual terhadap anak TK brusia 6 tahun.

Hal ini menjadi bukti bahwa pengaturan usia dalam Undang-Undang Sistem Peradilan PidanaAnak masih kurang efisien karena anak dibawah 12 tahun juga berpotensi menjadi pelaku tindak pidana.

Kasus tersebut merupakan salah satu bukti bahwa hukum di negara kita ini perlu diperbaiki lagi. Seharusnya, hukum ada sebelum adanya kejahatan namun nyatanya dari kasus tersebut adalah bukti bahwa hukum selalu tertinggal.

Jika kita tidak memberikan efek jera kepada anak yang berhadapan dengan hukum, maka anak tersebut bisa melakukan kejahatan yang lebih parah karena dia merasa bahwa hukum tidak semengerikan itu.

Jika kita melihat Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak dikaji ulang maka kita memberikan contoh pada pelaku bahwa negara ini memaklumi perbuatannya. Jika kita mengembalikan anak tersebut kepada orangtuanya, lantas bagaimana nasib anak korban?

Pelaku bisa bernafas dengan lega sedangkan korban selalu dihantui rasa ketakutannya dan mulai beranggapan bahwa orang dewasa tidak bisa melindunginya dan justru orang dewasa melindungi pelaku. Di zaman sekarang yang sudah terlihat maraknya aksi kriminal anak dibawah umur sudah sangat tepat untuk dilakukannya pengkajian ulang Undang-Undang tersebut sebagai bentuk pembatasan perilaku anak.

Di lain sisi, penulis juga berpendapat bahwa salah satu faktor anak melakukan tindakan kriminal karena kurangnya pendidikan nilai dan moral di keluarga dapat membentuk karakter anak. Kurangnya penanaman moral atau nilai-nilai budaya serta agama dapat membuat mereka menjadi pelaku kejahatan. VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.