
BOGOR, (variabanten.com)-Di era digital yang dipenuhi oleh data dari berbagai arah media sosial, transaksi online, sensor IoT, hingga sistem pemerintahan, kemampuan untuk mengolah dan memahami data tidak lagi menjadi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Menjawab tantangan tersebut, sejumlah perguruan tinggi mulai memposisikan mata kuliah Data Mining dan Big Data sebagai elemen strategis dalam kurikulum program studi Informatika.
Mata kuliah ini tidak hanya membekali mahasiswa dengan teori-teori penggalian data, tetapi juga menantang mereka untuk berpikir kritis dan mampu menyusun pola dari tumpukan data yang awalnya tampak tidak berarti. Hasilnya bisa sangat bermanfaat—mulai dari memprediksi tren pasar, memahami perilaku pengguna, hingga mendeteksi potensi penyimpangan dalam sebuah sistem organisasi.
“Sekarang bukan zamannya lagi kita sekadar belajar coding. Dunia kerja menuntut lulusan informatika untuk bisa membaca data seperti membaca peluang,” ujar Dr. Intan Maulida, dosen Informatika di salah satu universitas negeri di Jawa Barat.
Teknologi yang digunakan pun makin beragam. Mulai dari perangkat lunak open source seperti RapidMiner dan Orange, hingga platform industri berskala besar seperti Apache Hadoop dan Spark. Namun, para pengajar sepakat bahwa yang terpenting bukanlah alatnya, melainkan cara berpikir analitis dan logis dari mahasiswa.
Dalam praktiknya, mahasiswa kerap diberikan studi kasus nyata. Misalnya, mengolah data persebaran penyakit untuk membantu kebijakan kesehatan daerah, atau menganalisis perilaku pembeli dari data e-commerce untuk meningkatkan strategi pemasaran.
“Ketika data besar bisa diolah dan dimaknai dengan baik, di situlah letak kekuatannya. Kita tidak hanya tahu apa yang terjadi, tapi juga bisa memprediksi apa yang akan datang,” tambah Intan.
Dengan ledakan informasi yang tidak menunjukkan tanda-tanda melambat, kehadiran mata kuliah ini menjadi semacam “kompas” agar generasi muda tidak hanya menjadi konsumen data, tapi juga pencipta solusi.
Meningkatnya kebutuhan akan keterampilan analisis data juga tercermin dari tren industri. Banyak perusahaan rintisan hingga korporasi besar kini aktif mencari talenta muda yang tidak hanya mahir di bidang teknis, tetapi juga mampu menjembatani antara data dan keputusan bisnis.
Menurut laporan dari World Economic Forum, kemampuan seperti data analysis dan analytical thinking termasuk dalam 10 keterampilan utama yang dibutuhkan dunia kerja hingga tahun 2030. Ini menjadi sinyal kuat bagi perguruan tinggi dan mahasiswa untuk tidak mengabaikan peluang besar di balik data.
“Di masa depan, keputusan penting di pemerintahan, bisnis, bahkan pendidikan akan berbasis data. Mahasiswa informatika perlu siap bukan hanya sebagai teknisi, tapi sebagai pengambil keputusan berbasis data,” jelas Sari Yuliana, analis data senior di sebuah perusahaan teknologi nasional.
Sayangnya, tidak semua institusi pendidikan telah merespons kebutuhan ini dengan cepat. Masih ada yang menjadikan mata kuliah Data Mining dan Big Data sebagai pilihan tambahan, bukan komponen inti. Hal ini dikhawatirkan akan memperlebar kesenjangan antara dunia akademik dan kebutuhan riil di lapangan.
Sebagai upaya menjembatani hal tersebut, beberapa kampus kini menggandeng mitra industri untuk menghadirkan kuliah tamu, magang, hingga proyek akhir berbasis data nyata. Kolaborasi ini tidak hanya memperkaya wawasan mahasiswa, tetapi juga memberi nilai tambah pada kesiapan mereka memasuki dunia kerja.
Lebih dari sekadar tren, Data Mining dan Big Data telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup digital masa kini. Di tangan generasi muda yang kreatif dan cakap data, tumpukan informasi digital bisa diubah menjadi kebijakan cerdas, inovasi teknologi, bahkan solusi untuk masalah sosial yang kompleks.
Dengan kurikulum yang tepat dan dukungan ekosistem yang kuat, mahasiswa informatika Indonesia berpeluang besar menjadi pionir di era ekonomi berbasis data ini.
VB- Putra Trisna.






