
TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Konsep Membumikan Agraria dan Mengagrariakan Bumi kembali mengemuka sebagai gagasan strategis dalam membangun fondasi ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Di tengah tantangan global—mulai dari perubahan iklim, krisis pangan internasional, hingga kompetisi penggunaan lahan—pengelolaan agraria menjadi titik sentral dalam memastikan kemandirian dan stabilitas pangan Indonesia. Dalam perspektif pembangunan jangka panjang, agraria bukan sekadar urusan tanah, tetapi menyangkut penguasaan sumber daya, pemerataan ekonomi, dan keberlanjutan ekosistem pangan.
Indonesia sebagai negara agraris memegang potensi besar dalam produksi pangan, namun persoalan klasik seperti ketimpangan penguasaan lahan, alih fungsi tanah produktif, serta lemahnya akses petani terhadap sumber daya produktif terus menghambat peningkatan kapasitas nasional. Ketahanan pangan tidak mungkin tercapai jika struktur agraria mengalami distorsi. Di sinilah urgensi reforma agraria—bukan hanya sebagai redistribusi lahan, tetapi sebagai penataan ulang relasi antara manusia, tanah, dan negara.
Ketidakmerataan penguasaan lahan selama bertahun-tahun menyebabkan sebagian besar petani Indonesia bertani pada lahan sempit, tidak produktif, atau tanpa kepastian hukum. Padahal, kajian pembangunan menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil mencapai ketahanan pangan memiliki struktur agraria yang relatif egaliter, di mana petani kecil memperoleh akses yang cukup terhadap lahan subur. Tanah adalah instrumen produksi pangan, dan tanpa tanah yang memadai, mustahil berharap produktivitas meningkat secara signifikan.
Kebijakan pangan nasional sejauh ini masih banyak difokuskan pada peningkatan produksi, namun sering kali mengabaikan faktor hulu seperti keberlanjutan lahan pertanian. Ketika lahan-lahan subur terus berkurang akibat ekspansi industri, perkotaan, dan proyek non-pertanian, maka kebijakan peningkatan produksi akan selalu terbentur pada keterbatasan fisik. Untuk itu, kebijakan agraria harus menjadi bagian integral dari kebijakan pangan. Tanpa kebijakan agraria yang kuat, kedaulatan pangan hanya tinggal slogan.
Mengagrariakan bumi berarti menghadirkan kembali tanah sebagai sumber kehidupan yang harus dikelola secara berkelanjutan. Setiap kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap cadangan lahan pangan. Pertanian modern tidak dapat berkembang jika tanah subur terus tergerus. Demikian pula, investasi pertanian tidak akan signifikan tanpa kepastian hukum kepemilikan tanah bagi petani. Dengan demikian, reforma agraria adalah instrumen strategis untuk mengamankan lahan produktif secara jangka panjang.
Pembumian agraria juga menekankan penguatan kapasitas petani sebagai aktor utama ketahanan pangan. Petani harus menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Akses terhadap lahan saja tidak cukup; petani membutuhkan akses terhadap teknologi, permodalan, pasar, dan infrastruktur. Pemerintah harus membangun ekosistem pertanian yang terintegrasi sehingga lahan yang telah didistribusikan benar-benar membawa dampak terhadap peningkatan hasil pangan dan kesejahteraan masyarakat desa.
Di tengah krisis pangan global, negara yang mampu memastikan cadangan lahannya tetap terjaga akan menjadi negara yang memiliki daya tawar tinggi. Pandemi COVID-19 dan perang Ukraina–Rusia memberi pelajaran bahwa distribusi pangan global sangat rentan. Banyak negara menahan ekspor beras, gandum, dan komoditas vital lainnya. Indonesia tidak boleh bergantung pada impor. Penguatan agraria menjadi tameng pertama untuk memastikan bahwa kebutuhan pangan nasional aman tanpa harus bergantung pada pasar internasional.
Penguasaan lahan yang kuat pada tingkat desa juga mendorong pertumbuhan ekonomi desa yang berkelanjutan. Desa dengan lahan produktif mampu membangun rantai nilai pertanian yang stabil, memotong ketergantungan pada tengkulak, serta meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi. Hal ini bukan hanya meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi nasional dari bawah ke atas. Dengan demikian, reforma agraria dan ketahanan pangan memiliki hubungan simbiotik yang tidak dapat dipisahkan.
Pemerintah harus memastikan tidak ada lagi alih fungsi lahan pertanian secara masif dan tidak terkontrol. Zonasi lahan pangan berkelanjutan, proteksi lahan subur, serta pengaturan izin pemanfaatan ruang harus menjadi prioritas utama. Jika kebijakan tata ruang tidak dikendalikan, maka seluruh kerja reforma agraria dan penguatan sektor pertanian akan menjadi sia-sia. Lahan produktif harus dipertahankan, dijaga, dan dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Pada akhirnya, membumikan agraria dan mengagrariakan bumi adalah strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan pangan yang kokoh, adil, dan berkelanjutan. Indonesia membutuhkan kebijakan agraria yang berpihak pada petani, menjaga kelestarian lahan, serta memastikan bahwa tanah tetap menjadi sumber kehidupan bangsa. Tanpa penataan agraria yang kuat, ketahanan pangan hanya menjadi wacana, bukan kenyataan. Sebaliknya, dengan agraria yang adil dan berkelanjutan, Indonesia akan melangkah lebih dekat menuju kedaulatan pangan sejati. VB-Putra Trisna.





