
TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Persoalan agraria di Indonesia bukan hanya sekadar masalah tanah, tetapi masalah struktural yang mengakar dalam sejarah, kebijakan, dan dinamika sosial ekonomi bangsa. Ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria yang terus meningkat, dan krisis ruang hidup masyarakat kecil merupakan potret nyata dari tantangan agraria kontemporer yang perlu segera ditangani secara serius. Dalam konteks inilah konsep “Membumikan Agraria dan Mengagrariakan Bumi” menjadi sangat penting sebagai upaya membangun kembali kesadaran publik sekaligus merumuskan strategi pengelolaan tanah yang adil dan berkelanjutan.
Salah satu tantangan terbesar agraria di Indonesia adalah ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tanah produktif dikuasai oleh kelompok yang kecil jumlahnya, sementara masyarakat luas—petani, buruh tani, masyarakat pesisir, hingga komunitas adat—sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap tanah sebagai sumber ekonomi maupun ruang hidup. Ketimpangan ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah keadilan sosial dan pelanggaran hak dasar masyarakat.
Selain ketimpangan, konflik agraria menjadi potret lain dari persoalan agraria yang belum terselesaikan. Konflik terjadi karena tumpang tindih perizinan, lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat adat, ekspansi industri ekstraktif, konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau perumahan, serta minimnya transparansi dalam tata kelola ruang. Konflik semacam ini tidak hanya mengorbankan ruang hidup masyarakat, tetapi juga menimbulkan trauma sosial, penggusuran paksa, dan hilangnya sumber ekonomi masyarakat setempat.
Lebih jauh, Indonesia juga menghadapi krisis penguasaan tanah di era pembangunan modern. Pertumbuhan ekonomi sering kali diikuti oleh eksploitasi lahan besar-besaran: pembukaan hutan, pembangunan tambang, perkebunan monokultur, hingga proyek strategis nasional yang tidak selalu berpihak pada kepentingan masyarakat kecil. Fenomena ini memperlihatkan adanya ketegangan antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan ruang hidup. Ketika tanah hanya dilihat sebagai objek investasi, maka fungsi ekologis dan sosialnya semakin terpinggirkan.
Konsep mengagrariakan bumi hadir sebagai kritik sekaligus solusi untuk kondisi ini. Pengelolaan tanah tidak boleh sekadar mengejar keuntungan ekonomi, melainkan harus berpijak pada prinsip etika ekologi, keadilan, dan keberlanjutan. Bumi harus dipandang sebagai ruang hidup yang memiliki keterhubungan ekologis dan sosial, bukan sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Dengan cara pandang ini, pembangunan dapat diarahkan pada penggunaan lahan yang memperhatikan keseimbangan lingkungan, mempertahankan ruang pertanian produktif, serta melindungi hak masyarakat lokal.
Upaya membumikan agraria juga mengajak publik untuk melihat agraria sebagai isu strategis bangsa. Media, akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil perlu bersama-sama mengangkat diskursus agraria ke permukaan. Literasi agraria harus diperkuat agar masyarakat memahami pentingnya tanah sebagai ruang hidup dan penopang pangan nasional. Tanpa kesadaran kolektif, kebijakan agraria akan sulit berubah, dan ketimpangan akan terus berlangsung.
Reformasi agraria sebagai program nasional perlu didorong dengan lebih serius, bukan hanya pada redistribusi lahan, tetapi juga pemulihan tanah yang rusak, perlindungan masyarakat adat, penguatan petani kecil, serta peningkatan tata kelola ruang yang transparan dan adil. Hanya dengan cara inilah ketimpangan dan krisis agraria dapat ditangani secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, tantangan agraria di Indonesia adalah ujian moral sekaligus ujian kebijakan. Apakah kita ingin membangun masa depan yang berpihak pada rakyat dan menghormati bumi, atau masa depan yang rapuh karena ketimpangan dan kerusakan ekologis? Membumikan agraria dan mengagrariakan bumi adalah jalan untuk memastikan bahwa bumi tetap menjadi ruang hidup yang layak bagi generasi sekarang dan mendatang. Tanpa itu, kita sedang mempertaruhkan keberlanjutan bangsa dan peradaban.
VB-Putra Trisna





