Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan isu serius yang terus menjadi tantangan di Indonesia. Meskipun Indonesia telah mengesahkan berbagai undang-undang untuk melindungi perempuan dan anak, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak kasus KDRT masih terjadi dan sering kali tidak dilaporkan. Salah satu faktor utama yang memperburuk situasi ini adalah budaya patriarki yang mendalam di masyarakat Indonesia.
Budaya patriarki, yang mengedepankan kekuasaan dan dominasi laki-laki dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik, berkontribusi besar terhadap terjadinya KDRT. Dalam banyak kasus, perempuan dianggap sebagai pihak yang lebih rendah dan tidak memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Pemahaman bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang berhak mengambil keputusan dan mengontrol perempuan sering kali menimbulkan kekerasan, baik fisik, psikologis, maupun seksual. Hal ini menciptakan lingkungan di mana perempuan merasa terjebak dan tidak memiliki suara untuk melawan.
Pengaruh utama dari budaya patriarki adalah penanaman nilai bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki hak untuk mengontrol dan mendominasi perempuan. Dalam banyak masyarakat, perempuan sering kali diposisikan sebagai pihak yang lebih lemah, baik secara fisik maupun ekonomi. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan yang mendasar, di mana perempuan merasa tertekan untuk menerima perlakuan buruk dari pasangan mereka. Dalam situasi seperti ini, KDRT sering kali dianggap sebagai hal yang “normal” atau bahkan wajar, sehingga banyak kasus yang tidak dilaporkan. Budaya patriarki dan norma-norma sosial menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai hal yang wajar masih kuat di masyarakat. Hal ini menciptakan hambatan bagi korban untuk mencari bantuan, serta membuat masyarakat cenderung mengabaikan tindakan kekerasan dalam rumah tanggga yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.
Data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus/38.21%) diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72%). Sedangkan data dari lembaga layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38.8%), diikuti dengan kekerasan seksual (4102 kasus/26.52%%). Jika dilihat lebih terperinci pada data pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu yang tertinggi (1.127 kasus), sementara di ranah personal yang terbanyak kekerasan psikis (1.494). Berbeda dengan lembaga layanan, data tahun 2022 ini menunjukkan bahwa di ranah publik dan personal yang paling banyak berbentuk fisik.
Dari perspektif hukum, meskipun terdapat undang-undang yang melindungi korban KDRT, implementasinya masih lemah. Banyak korban yang enggan melapor karena stigma sosial, kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar, atau bahkan ketakutan akan pembalasan dari pelaku atau pasangannya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak konsisten dan kurangnya pelatihan bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus KDRT sering kali membuat korban merasa tidak mendapatkan keadilan. Aparat penegak hukum harus dilatih untuk menangani kasus-kasus ini dengan empati dan profesionalisme, sehingga korban merasa aman dan didukung saat melapor. Proses hukum yang cepat dan transparan juga harus diterapkan agar korban mendapatkan keadilan tanpa harus melalui proses yang panjang dan melelahkan.
Secara keseluruhan, meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memberikan kerangka hukum yang penting untuk penghapusan KDRT, berbagai tantangan dalam implementasi, penegakan, serta kesadaran masyarakat mengakibatkan undang-undang ini tidak sepenuhnya efektif. Undang-undang ini masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku. Misalnya, dalam kasus-kasus di mana kekerasan tidak bersifat fisik, seperti kekerasan psikologis atau ekonomi, sering kali sulit untuk membuktikan dan mendapatkan keadilan. Hal ini menunjukkan perlunya revisi dan penguatan ketentuan dalam undang-undang untuk meningkatkan efektivitas perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia.VB-Putra Trisna.