Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) semakin populer, terutama dalam upaya untuk mengurangi kapasitas lembaga pemasyarakatan yang berlebihan dan meningkatkan pemulihan sosial bagi pelaku dan korban. Metode penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai restorative justice menekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat daripada hanya menghukum pelaku.
Kerangka hukum yang kuat dan komprehensif diperlukan untuk mendukung restorative justice di Indonesia. Meskipun ada beberapa undang-undang yang mendukung keadilan restoratif, seperti Undang-Undang Peradilan Anak dan beberapa undang-undang Kapolri dan Mahkamah Agung, pengembangan lebih lanjut diperlukan untuk menerapkan metode ini secara lebih luas dan terorganisir. Dengan landasan hukum yang lebih jelas dan rinci, keadilan restoratif akan menjadi komponen penting dari sistem hukum pidana Indonesia. Ini juga akan mencegah interpretasi yang tidak konsisten.
Terlepas dari kenyataan bahwa ide restorative justice menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi dan berfokus pada pemulihan daripada penghukuman, ada banyak tantangan yang menghalangi implementasinya di Indonesia. Aparat penegak hukum yang sudah terbiasa dengan pendekatan retributive justice yang berfokus pada hukuman penjara dan denda merupakan salah satu tantangan utama. Banyak jaksa, hakim, dan polisi merasa nyaman dengan sistem peradilan pidana yang formal, sehingga mereka memperlakukan restorative justice sebagai alternatif. Penegak hukum tidak dilatih atau memahami prinsip-prinsip keadilan restoratif.
Selain itu, kurangnya pemahaman dan dukungan masyarakat merupakan masalah tambahan. Banyak masyarakat belum benar-benar memahami keuntungan restorative justice, terutama dalam kasus di mana korban percaya bahwa hukuman berat adalah satu-satunya bentuk keadilan. Solusi yang lebih lunak seperti permintaan maaf atau kerja sosial sering dihalangi oleh pandangan masyarakat yang lebih retributif, yang mungkin dianggap tidak memadai untuk menegakkan keadilan bagi korban. Tidak semua kasus sesuai untuk diselesaikan dengan metode ini juga. Karena restorative justice dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan bagi korban, tindak pidana berat yang melibatkan kekerasan fisik atau seksual sering kali dianggap membutuhkan hukuman yang lebih keras.
Selain itu, sumber daya dan infrastruktur terbatas. Untuk menjalankan proses restorative justice secara merata di seluruh negara, terutama di wilayah terpencil, diperlukan mediator dan fasilitator yang kompeten. Sebaliknya, norma sosial dan budaya yang beragam di Indonesia menjadikannya lebih sulit. Semua komunitas memiliki kebiasaan dan tradisi unik yang mungkin tidak sesuai dengan gagasan restorative justice modern. Oleh karena itu, untuk menerapkannya, diperlukan pemahaman yang cermat terhadap budaya lokal.
Meskipun ada beberapa hambatan, prospek untuk menerapkan restorative justice di Indonesia cukup cerah. Dengan mengeluarkan berbagai peraturan, seperti Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 dan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020, pemerintah Indonesia telah menunjukkan bahwa mereka sangat mendukung metode ini. Dengan langkah ini, penerapan yang lebih luas dan sistematis dapat dimulai, terutama di tingkat kebijakan dan operasional. Selain itu, metode restoratif dapat menyelesaikan lebih banyak kasus di masa mendatang jika penegak hukum dilatih dan masyarakat lebih sadar.
Sebaliknya, budaya Indonesia sangat kaya sehingga dapat mendukung restorative justice. Banyak komunitas adat telah lama menggunakan tradisi penyelesaian sengketa yang berfokus pada pemulihan hubungan sosial. Tradisi lokal ini dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum formal, yang dapat memperkuat legitimasi restorative justice di tingkat akar rumput dan mengurangi beban sistem peradilan yang formal. Selain itu, metode ini memungkinkan penyelesaian kasus yang lebih cepat dan efektif—terutama yang berkaitan dengan kasus pidana yang lebih ringan.
Selain itu, restorative justice memiliki potensi untuk memulihkan hubungan sosial yang rusak oleh tindak pidana karena memungkinkan pelaku, korban, dan komunitas mereka untuk berpartisipasi dalam proses penyelesaian dan pemulihan. Hal ini membantu mengurangi stigma terhadap pelaku kriminal dan mencegah mereka melakukan tindakan kriminal yang sama lagi. Indonesia dapat terus mengembangkan pendekatan ini dengan mengikuti praktik terbaik dari berbagai negara dengan dukungan dari organisasi internasional seperti United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan kerja sama global.VB-Putra Trisna.