Berita Banten - Portal Banten - Media Online Banten

Tangerang Selatan, (variabanten.com)-JH merupakan salah satu tokoh ternama di Indonesia, baik sebagai sastrawan, tokoh budaya, maupun tokoh masyarakat. Kasus utang negara kepada JH cukup menarik perhatian publik, dan aspek hukumnya perlu dikaji lebih mendalam. JH mengklaim adanya piutang yang belum dibayar negara perlu dikaji dari segi hukum untuk melihat hak dan kewajiban para pihak, termasuk kemungkinan solusi hukumnya.

Hutang negara ini dimulai pada tahun 1997, tepat sebelum krisis mata uang melanda Indonesia dan Asia Tenggara, ketika PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) menyetor total Rp 78 miliar di Bank Yakin Makmur (Bank Yama). Krisis tersebut menyebabkan ketidakstabilan perekonomian dan bangkrutnya banyak bank, termasuk Bank Yama yang akhirnya diambil alih oleh pemerintah melalui program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bank Yama yang terafiliasi dengan keluarga CD, khususnya SHR(TS), gagal mengembalikan simpanan CMNP karena diyakini memiliki sebagian dari anak perusahaan keluarga bank tersebut. Pemerintah pada saat itu memberikan dana talangan kepada bank-bank yang terancam bangkrut untuk mencegah krisis lebih lanjut, namun menolak memberikan kompensasi kepada CMNP, dengan alasan hubungannya dengan Bank Yama. Pada tahun 2012, JH menggugat pemerintah dan menuntut pengembalian uang jaminannya. Mahkamah Agung (MA) kemudian memenangkan perkara JH dan memutuskan pemerintah harus membayar uang jaminan CMNP beserta bunga dan dendanya. Namun, hingga kini pemerintah belum melunasi hutangnya, meski sudah ada kesepakatan pada tahun 2015 untuk mengurangi jumlah hutang menjadi sekitar Rp 170 miliar. Total hutang kini bertambah menjadi Rp 800 miliar karena kenaikan bunga.

Berdasarkan Pasal 23 UUD 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap utang milik Negara, baik perorangan maupun perusahaan, harus dikelola dan dipertanggungjawabkan melalui mekanisme keuangan Negara yang transparan dan akuntabel. Serta berdasarkan Perjanjian hutang yang disetujui pengadilan antara CMNP dan pemerintah merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus dilaksanakan oleh negara, sebagai debitur, negara wajib melunasi hutangnya sesuai dengan keputusan yang sah. inkracht (yang mempunyai kekuatan hukum tetap). Dengan diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1616K/PDT/2006 Tahun 2006 bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan harus membayar uang jaminan sebesar Rp78,84 miliar kepada CMNP dan mengenakan denda bulanan sebesar 2% dari jumlah total yang belum dibayar sampai pemerintah melunasinya. hutang. Keputusan tersebut bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pemerintah.

Jika pemerintah sebagai debitor gagal melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutang yang telah diputuskan oleh pengadilan, maka pihak kreditor, dalam hal ini JH atau CMNP, dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atau upaya hukum lain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Negara memiliki tanggung jawab hukum untuk membayar hutang yang sudah diputuskan oleh pengadilan, terutama karena keputusan ini telah inkracht dan denda yang dibebankan terus bertambah selama hutang belum dilunasi. Kewajiban ini harus dipenuhi oleh pemerintah, sesuai dengan mekanisme APBN yang diatur dalam UU Keuangan Negara. Menunda pembayaran tanpa alasan yang jelas atau tidak sesuai dengan putusan hukum dapat dikategorikan sebagai wanprestasi atau pelanggaran hukum. Meskipun akhirnya disepakati permintaan pemerintah untuk diskon dalam pembayaran utang kepada Jusuf Hamka, tetapi tetap tidak diikuti dengan pelunasan kewajiban. Hal ini dapat dianggap sebagai upaya menghindari tanggung jawab utang yang sah dan melanggar prinsip itikad baik dalam perjanjian. Serta tuduhan Afiliasi CMNP dengan Bank Yama yang menjadi alasan pemerintah untuk menolak penjaminan dana deposito CMNP pada awalnya adalah keputusan sepihak yang telah dibatalkan oleh MA. Dalam konteks hukum, hubungan afiliasi tersebut tidak relevan lagi karena putusan MA telah memenangkan JH dan memerintahkan pemerintah untuk membayar utangnya. Keputusan ini membedakan entitas CMNP dan Bank Yama sebagai dua entitas hukum yang berbeda.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan harus segera melaksanakan putusan MA dan membayar hutang JH melalui mekanisme APBN. Keterlambatan pembayaran ini harus dihentikan untuk menghindari bertambahnya jumlah utang akibat bunga dan denda. Mediasi yang dilakukan pihak ketiga yang independen juga bisa menjadi solusi untuk memperlancar proses pelunasan utang. Hal ini membantu mengurangi konflik antara Jusuf Hamka dan pemerintah. Selain itu, Jusuf Hamka juga dapat mengajukan permohonan eksekusi putusan ke Pengadilan Negeri setempat untuk menegakkan keputusan tersebut sehingga memaksa pemerintah untuk segera melaksanakan keputusan yang telah berlaku tersebut. Gugatan eksekusi ini merupakan jalan hukum yang bisa diambil pemerintah jika terus menunda pembayaran. Sebagai sebuah langkah politik, JH juga bisa mendesak DPR untuk menekan pemerintah agar membayar utangnya. Dengan lebih banyak perhatian dari para legislator, pemerintah akan mendapatkan dorongan untuk mengatasi masalah ini secepat mungkin.

Kesimpulan
JH memiliki hak hukum yang kuat berdasarkan putusan pengadilan yang inkracht untuk menuntut pembayaran utang pemerintah. Negara memiliki kewajiban untuk segera melunasi utang tersebut, sesuai dengan hukum dan mekanisme APBN. Penundaan pembayaran utang yang berkepanjangan tidak hanya melanggar putusan hukum, tetapi juga berpotensi menciptakan ketidakpercayaan pada tata kelola keuangan negara. Solusi hukum yang cepat dan efektif harus segera diambil, termasuk opsi eksekusi putusan atau mediasi oleh pihak ketiga.

Sumber :
Cnbcindonesia.com Diakses Tanggal 3 Oktober 2024
Hukumonline.com Diakses Tanggal 5 Oktober 2024
Bloombergtechnoz.com Diakses Tanggal 3 Oktober 2024
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1616K/PDT/2006.VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *