Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Kekerasan seksual merupakan istilah yang sering terdengar dan menjadi perbincangan di berbagai kalangan masyarakat. Kekerasan seksual pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang hidup di masyarakat maupun norma hukum. Kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja dan kapan saja, baik di lingkungan keluarga, ruang publik, pekerjaan, dan tidak terkecuali di lingkungan institusi pendidikan.
Dilansir dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Republik Indonesia (KEMENPPA) bahwa, per januari 2024 terdapat terdapat 13.096 (tiga belas ribu sembilan puluh enam) kasus kekerasan, 11.381 (sebelas ribu tiga ratus delapan puluh satu) diantaranya adalah perempuan yang menjadi korban. Dari jumlah kasus tersebut 6.053 (enam ribu lima puluh tiga) diantaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Tingginya angka kekerasan seksual tersebut, menjadi permasalahan penting yang perlu diselesaikan mengingat dampak yang ditimbulkan baik secara fisik maupun psikis terhadap korbannya. Oleh karena itu, perlu adanya payung hukum yang secara khusus mengatur terkait kekerasan seksual sebagai upaya penanggulangan kekerasan seksual dari segi penegakan hukumnya terhadap pelaku serta perlindungan hukumnya bagi korban yang diharapkan dapat memenuhi dan menjawab kekhawatiran masyarakat akan adanya kepastian hukum.
Dimensi hukum yang mengatur terkait kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dirasa belum cukup mengakomodir berbagai bentuk kekerasan seksual. Pengaturannya yang terbatas pada ancaman pidana terhadap perbuatan pelaku kekerasan seksual belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan bagi korban dengan memberikan hak atas penanganan, perlindungan dan pemulihan.
Bertolak dari hal tersebut, pemerintah bersama DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai payung hukum yang mengatur secara komprehensif terhadap penegakan hukum yang lebih melindungi korban dalam rangka memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Secara substansial hukum memiliki fungsi sebagai perlindungan terhadap kepentingan manusia untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Perlindungan hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak subyek hukum, baik perlindungan secara preventif (pencegahan) maupun represif (pemaksaan).
Hadirnya UU TPKS menjadi reformasi terhadap instrument hukum sebelumnya yang belum secara komperhensif mengatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual, undang-undang ini memberikan Gambaran yang jelas perihal bentuk dan jenis tindak pidana kekerasan seksual sehingga dalam penegakannya dapat dilakasankan secara optimal. Disamping itu, UU TPKS memberikan hak-hak terhadap korban.
Pertama, hak atas penanganan diatur secara khusus dalam pasal 68 UU TPKS.
Korban tindak pidana kekerasan seksual dalam hal ini memiliki hak untuk menerima tindakan serta pelayanan dalam suatu kasus yang sedang dialami. Hak penanganan mencakup juga mengenai hak korban untuk dapat mengakses dan memperoleh arahan dari para aparat penegak hukum dan pemangku kepentingan mengenai informasi hukum, layanan hukum dan dokumen hukum.
Hak atas penganan juga mengatur tentang pengahapusan media berita maupun konten yang tersebar di sosial media mengenai kasus yang dialami korban. Oleh karena itu hak atas penanganan menjunjung tinggi hak-hak korban atas maupun fasilitas ataupun akses dari berbagai pihak untuk membantu serta memberi perlindungan terhadap korban untuk memperoleh pencegahan, keadilan, kepuasan serta kesembuhan dari trauma maupun penderitaan yang dialaminya.
Kedua, hak atas perlindungan diatur dalam pasal 69 UU TPKS yang memberikan hak bagi korban kekerasan seksual untuk menerima serta mendapatan rasa keamanan serta rasa kenyamanan sejak dimulainya penangan kasus tersebut berupa hak bagi korban untuk memperoleh dan menerima akses, fasilitas serta informasi atas penyelenggaraan perlindungan.
Kemudian hak untuk memperoleh perlindungan segala ancaman terhadap kekerasan baik yang dilaksanakan oleh pihak pelaku ataupun orang lainnya serta hak memperoleh perlindungan atas akses politik, pendidikan serta pekerjaan. Kemudian hak memperoleh perlindungan atas tuntutan perdata ataupun ancaman kepemidanaan terhadap laporan kekerasan seksual.
Ketiga adalah hak atas pemulihan, yaitu hak bagi korban kekerasan seksual untuk menerima serta memperoleh berbagai akses serta fasilitas dalam proses pemuliha baik dari segi mental, fisik, sosial maupun spiritual korban agar kembali seperti semula. Hak ini diatur dalam pasal 70 UU TPKS.
Adanya upaya pemulihan bagi korban dapat membantu korban dalam melewati masa traumanya, serta mengurangi kemungkinan korban melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri, seperti misalnya bunuh diri. Upaya pemulihan juga dapat membantu korban belajar agar dapat kembali terjun di masyarakat seperti sedia kala.
Disahkannya UU TPKS Merupakan suatu pelaksanaan dari komitmen negara untuk menjamin kepastian hukum serta perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual. Melalui undang-undang ini para korban kekerasan seksual diberikan ruang dukungan secara komprehensif termasuk terapi, perlindungan, dan tindakan pemulihan sampai mereka benar-benar pulih dari dampak buruk pengalaman traumatis.VB-Putra Trisna.