CILEGON, (variabanten.com) – Pakar hukum pidana Prof. Dadang Herli juga selaku Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) DPD Banten, turut menyoroti beredarnya isu terkait Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Pada Seminar Nasional mencari format ideal kewenangan penyidik dan penuntut umum dalam RKUHAP untuk sistem peradilan yang berkeadilan, yang digelar di Universitas Al Khairiyah, Kota Cilegon, yang turut dihadiri sejumlah pakar hukum seperti Dr Basuki selaku advokat, Profesor Rena Yulia selaku Direktur Criminal Law Institute, Rektor Universitas Al Khairiyah Rafiudin, dan Ketua Umum Al Khairiyah Ali Mujahidin tegas menyoroti isu terkait kewenangan, sebagai diferensiasi penyidikan Kepolisian dan Kejaksaan dalam RKUHAP.

“Di sana ada isu bahwa penyidikan juga diberikan kepada jaksa, dengan dasar Asas Dominus Litis padahal ada namanya diferensiasi fungsional. Jadi yang ingin ditekankan kami dari para narasumber, bahwa Kepolisian tetap di bidang penyidikan dan penyelidikan di dalamnya, Jaksa sebagai penuntut umum, kemudian juga memperkuat advokat sebagai penegak hukum sehingga tercipta check and balansis. Jadi tidak boleh di dalam penegakan hukum itu kewenangan bertumpu pada satu pihak,” kata Dadang Herli, Jumat (07/03/2025).

Lebih lanjut Dadang menjelaskan, jika Jaksa berperan sebagai penuntut dan juga sebagai penyidik, maka akan nantinya tidak ada check and balancing. Padahal menurutnya, kewenangan jaksa di dalam melakukan pengawasan terhadap kepolisian memiliki kedudukan yang sederajat.

“Misal Jaksa berperan sebagai penuntut, tapi dia juga sebagai penyidik maka tidak ada check and balansis nya. Kemudian kewenangan jaksa di dalam melakukan pengawasan terhadap kepolisian itu bukan bersifat vertikal tetapi bersifat horizontal dengan kedudukan yang sederajat, dan itu sudah ditegaskan dalam Pasal 109 Ayat 1, SPDP itu bentuk pengawasan terhadap proses penegakan hukum seperti itu,” katanya.

Pada seminar ini, Pakar Hukum Untirta juga menyorot tajam isu akan dihilangkan nya proses penyelidikan di tingkat kepolisian. Karena menurutnya, penghilangan proses penyelidikan akan merugikan masyarakat.

“Kalau penyelidikan dihilangkan, bagaimana mungkin sebuah perkara dilaporkan langsung naik ke penyidikan, yang akan rugi adalah masyarakat. Masyarakat yang dilaporkan belum jelas kebenarannya langsung naik ke penyidikan. Sedangkan penyidikan adalah upaya paksa, sehingga konteks penyelidikan atau inquiry dalam bahasa asingnya ini penting untuk melakukan kroscek, sehingga tidak boleh serta-merta dilakukan penetapan tersangka,” tambahnya.

Lebih lanjut dirinya hawatir, jika dihilangkan proses penyelidikan, akan menimbulkan kekuasaan di dalam proses penegakan hukum.

“Jika ini bertumpu pada satu pihak yang dapat berpotensi masuk ke dalam abuse of power yang tidak terkontrol,” ucap Dadang.

Para pakar hukum juga menyatakan sepakat tidak terlalu setuju dengan konsep Hakim komisaris, karena wilayah Indonesia sangat luas, termasuk terdapat pulau-pulau kecil.

Adapun para pakar merekomendasikan format praperadilan yang harus diperkuat, misalnya dari hakim tunggal menjadi majelis hakim, kemudian proses penyelesaian pra peradilan yang sebelumnya selesai dalam 7 hari, agar diperpanjang waktunya menjadi 14 hari.

“Kami mengharapkan demikian, sehingga para peradilan itu betul-betul mendapatkan hasil yang baik, seperti yang diharapkan. Untuk menciptakan keadilan atau tercapai keadilan di dalam proses hukum,” tutup Dadang.

Sumber: banten.antaranews.com (*/Ag).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.