BOGOR, (variabanten.com)-Peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) oleh Presiden Prabowo Subianto menandai era baru dalam pengelolaan aset negara. Dengan aset kelolaan fantastis sebesar US$980 miliar atau setara Rp15.978 triliun, Danantara diharapkan menjadi superholding BUMN yang mampu memperkuat daya saing ekonomi Indonesia di tingkat global.
Namun, di balik ambisi besar ini, ada pertanyaan yang lebih mendasar: Apa yang sebenarnya kita pertaruhkan? Apakah ini langkah maju menuju efisiensi dan kesejahteraan, atau justru jebakan yang bisa menjadi beban bagi negara?
1. Taruhan Ekonomi: Efisiensi atau Beban Baru?
Secara teori, holdingisasi BUMN bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan aset, meningkatkan efisiensi, dan mempercepat investasi strategis. Negara-negara seperti Singapura dengan Temasek Holdings dan Malaysia dengan Khazanah Nasional telah membuktikan bahwa model ini dapat berhasil ketika dijalankan dengan tata kelola yang baik.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa tidak semua superholding berjalan sesuai harapan. Jika tidak dirancang dan dikelola dengan baik, Danantara bisa menjadi beban ekonomi baru bagi negara. Beberapa risiko yang perlu diperhatikan meliputi:
Sentralisasi Berlebihan → Jika Danantara mengambil terlalu banyak kewenangan dalam keputusan strategis BUMN, fleksibilitas dan daya saing masing-masing perusahaan justru bisa menurun. Alih-alih efisiensi, justru bisa terjadi birokrasi yang lebih panjang.
Risiko Investasi Skala Besar → Dengan aset kelolaan yang sangat besar, keputusan investasi yang keliru bisa berakibat fatal bagi stabilitas keuangan negara. Jika Danantara tidak memiliki mekanisme mitigasi risiko yang ketat, potensi kerugian bisa sangat besar.
Ketimpangan dalam Sinergi BUMN → Sinergi antarperusahaan BUMN memang menjadi salah satu tujuan utama, tetapi dalam praktiknya, tidak mudah mengintegrasikan perusahaan dengan struktur bisnis, budaya organisasi, dan tujuan strategis yang berbeda-beda. Jika tidak ada pendekatan yang tepat, Danantara bisa berubah menjadi sekadar entitas administratif tanpa peran yang jelas.
2. Taruhan Tata Kelola: Transparansi atau Lahan Baru bagi Korupsi?
Salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan aset negara adalah tata kelola yang transparan dan akuntabel. Dengan aset lebih dari tiga kali lipat APBN Indonesia, Danantara akan menjadi pusat kekuatan ekonomi baru. Namun, seberapa kuat mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap lembaga ini?
Ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus dijawab:
Siapa yang akan mengawasi Danantara? Apakah lembaga ini akan berada di bawah kontrol langsung Kementerian BUMN, atau akan memiliki otoritas yang lebih independen?
Bagaimana transparansi pengelolaan asetnya? Apakah publik dan DPR memiliki akses terhadap laporan keuangan, kebijakan investasi, dan pengelolaan risiko Danantara?
Bagaimana pencegahan terhadap potensi konflik kepentingan? Dengan jumlah aset yang sangat besar, godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan tentu akan semakin besar. Tanpa sistem pengawasan yang ketat, ada risiko Danantara menjadi “ladang basah” bagi kepentingan tertentu.
Jika transparansi tidak dijaga dengan baik, maka alih-alih menjadi solusi bagi efisiensi, Danantara justru bisa menjadi lahan baru bagi korupsi dan praktik oligarki dalam pengelolaan aset negara.
3. Taruhan Masa Depan: Kemajuan atau Kemunduran?
Keberhasilan Danantara akan sangat menentukan arah masa depan ekonomi Indonesia. Jika dikelola dengan strategi yang tepat, holding ini bisa menjadi mesin penggerak investasi, inovasi, dan daya saing nasional. Namun, jika salah langkah, kita bukan hanya kehilangan potensi keuntungan, tetapi juga mempertaruhkan stabilitas ekonomi negara.
Beberapa faktor kunci yang akan menentukan sukses atau gagalnya Danantara meliputi:
1. Keseimbangan antara kontrol holding dan otonomi BUMN → Holding harus memberikan arahan strategis tanpa menghambat fleksibilitas operasional masing-masing perusahaan.
2. Tata kelola yang profesional, transparan, dan bebas dari kepentingan politik → Pengelolaan Danantara harus didasarkan pada prinsip good corporate governance, bukan sekadar alat politik atau ekonomi bagi kelompok tertentu.
3. Strategi investasi yang cerdas dan minim risiko → Danantara harus fokus pada investasi yang memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi nasional, bukan sekadar menyalurkan dana ke proyek-proyek yang kurang produktif.
Jika strategi yang diterapkan tidak tepat, maka Danantara bisa menjadi struktur besar tanpa manfaat nyata, atau lebih buruk lagi, menjadi liabilitas yang membebani ekonomi nasional.
Kesimpulan: Berhati-hati dalam Bertaruh
Danantara bukan sekadar proyek kebanggaan, tetapi sebuah taruhan besar bagi masa depan Indonesia. Ia memiliki potensi besar untuk mendorong efisiensi, meningkatkan investasi, dan memperkuat daya saing ekonomi nasional. Namun, tanpa tata kelola yang baik, holding ini bisa menjadi jebakan yang justru memperumit pengelolaan BUMN dan aset negara.
Saat ini, yang dibutuhkan bukan hanya optimisme, tetapi juga kritisisme dan pengawasan ketat. Jika Danantara benar-benar ingin menjadi solusi, maka ia harus dijalankan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme yang tinggi.
Satu pertanyaan besar masih menggantung: Apakah pemerintah siap untuk mengelola taruhan besar ini dengan cermat, ataukah kita sedang melangkah menuju risiko yang belum sepenuhnya dipahami? VB-PT.