TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Dalam konteks Indonesia, perancangan dan penerapan hukum pidana sangat erat kaitannya dengan pidana penjara. Dalam diskursus di publik termasuk di kalangan akademisi hukum pidana, penjara selalu dikaitkan dengan penjeraan terhadap pelaku kejahatan. Pidana penjara diharapkan tidak hanya membawa efek jera bagi para pelakunya namun juga efek gentar terhadap masyarakat secara luas untuk tidak terlibat dalam suatu kejahatan. Akan tetapi perkembangan ilmu pengetahuan juga menunjukkan bahwa hukuman penjara yang awalnya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan namun dalam praktiknya justeru terkadang membawa dampak destruktif bagi para penghuni penjara. Terdapat kecenderungan bahwa orang-orang yang telah menjalani hukuman penjara ternyata lebih sulit untuk menyesuaikan diri di masyarakat dan sekaligus memiliki kerentanan untuk mengulangi tindak pidana.
Karena itu masyarakat internasional lalu mencoba mencari jalan bagaimana tujuan pemidanaan dapat tercapai tanpa menggunakan instrumen coercif seperti penjara. Pada tahun 1990, PBB mengeluarkan UN Standart Minimum Rules for Non-Custodial Measures atau dikenal dengan “Tokyo Rules”. Dalam Tokyo Rules disebutkan bahwa tujuan umun dari hukuman non penjara adalah menemukan alternatif hukuman yang efektif bagi pelaku kejahatan serta memberikan kemungkinan kepada penegak hukum untuk dapat mengubah pidana menjadi hukuman yang memperhatikan kebutuhan individual pelaku sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.
Tulisan ini berupaya menyajikan bagaimana masa depan hukuman non penjara dapat diterapkan di Indonesia. Tulisan ini menjadi relevan, utamanya karena telah diberlakukakannya KUHP baru sebagai aturan hukum yang mengutamakan pemulihan keadilan (restorative justice) dalam pelaksanaan pidana di Indonesia.
PIDANA PENGAWASAN DAN KERJA SOSIAL
Dengan diberlakukannya KUHP baru melalui UU No.1 Tahun 2023 di Indonesia, terjadi perubahan signifikan dalam paradigma pemidanaan yang menitikberatkan pada konsep pemulihan bagi korban dan perilaku. Salah satu inovasi yang mencolok adalah pengenalan double track system, pedoman pemidanaan dan penguatan pidana alternatif non penjara. Langkah ini tidak hanya mencerminkan komitmen pemerintah untuk memajukan sistem peradilan pidana, tetapi bertujuan menanggulangi permasalahan overcrowding di Rutan dan Lapas di Indonesia. Penguatan pidana alternatif non-penjara, yang menjadi fokus utama dalam KUHP baru, terdiri dari beberapa elemen, di antaranya adalah pengenalan pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
Munculnya pidana pengawasan dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP memberikan alternatif terhadap pidana penjara yang biasanya tidak diberlakukan untuk tindak pidana berat, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa terhadap pelaku tindak pidana dapat secara dini tercegah dari dampak stigmatisasi sebagai orang jahat yang sedikit banyak dapat mempengaruhi dalam melangsungkan kehidupannya di masyarakat. Bentuk alternatif berupa pidana pengawasan (probotion) mempunyai keuntungan-keuntungan diantaranya memberikan peluang kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di tengah masyarakat, dengan menilai kemanfaatannya terhadap kesejahteraan terpidana dibandingkan di penjara. Selain itu memungkinkan terpidana untuk menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai masyarakat, sehingga mendukung proses reintegrasi sosial yang lebih lancar.
Pidana pengawasan, sebagai salah satu pidana non-penjara memiliki tujuan agar pelaku tetap terasimilasi dengan masyarakat luas sebagai cara penyelesaian timbulnya masalah kejahatan dan sistem pemidanaan. Hal ini dapat memunculkan rasa tanggung jawab kepada pelaku kejahatan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, diharapkan pidana non penjara ini jika diterapkan dengan tepat dan proporsional dapat menjadi solusi bagi masalah residivisme dan kelebihan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan yang sering terjadi akibat dari sistem peradilan pidana yang mengutamakan pidana pemenjaraan.
Pidana kerja sosial merupakan hukuman yang mengharuskan pelaku untuk melakukan pekerjaan yang tidak dibayar karena mempertimbangkan sifatnya sebagai pidana (works as penalty) untuk jumlah jam tertentu, serta melakukan suatu tugas tertentu. Pekerjaan tersebut memberikan layanan kepada masyarakat sehingga dalam menjatuhkan pidana kerja sosial seperti itu dibutuhkan informasi yang dapat dipercaya bahwa pekerjaan tersebut tersedia di bawah pengawasan yang tepat dalam sistem peradilan pidana. Pelaksanaan pidana kerja sosial membutuhkan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa pelaku melakukan pekerjaan yang diperlukan dan bahwa pelaku tidak dieksploitasi atau dipaksa untuk bekerja di luar apa yang diminta atau dalam kondisi yang tidak dapat diterima. Di berbagai negara, Probation Service atau institusi sejenisnya memiliki beban tanggung jawab utama serta memiliki fungsi untuk memastikan bahwa persyaratan pidana kerja sosial dipenuhi.
Melihat Tokyo Rules yang menjadi acuan dalam implementasi pidana non-penjara bahwa partisipasi masyarakat menjadi penting dalam pelaksanaan pidana kerja sosial, masyarakat dapat menjadi tempat yang baik agar pelaku kejahatan dapat merenungkan perbuatannya. Anggota masyarakat dapat memberikan kesempatan kerja bagi para pelaku kejahatan sebagai bentuk asimilasi, namun mereka tidak boleh melakukan fungsi penegakan hukum atau pendisiplinan. Misalnya, mereka tidak boleh membuat keputusan akhir tentang apakah pelanggar telah gagal melakukan pelayanan masyarakat seperti yang diperintahkan oleh pengadilan, namun tetap dapat memberikan keterangan untuk menentukan apakah langkah lebih lanjut akan diambil terhadap terpidana kerja sosial.
Lebih lanjut dalam Tokyo Rules terkait implementasi pidana non-penjara ini agar pengadilan dapat menentukan lamanya waktu dari pelaksanaan pidana alternatif dari berbagai alternatif, maka dibutuhkan informasi yang komprehensif. Untuk tujuan itu Tokto Rules mengatur secara khusus keperluan infrastruktur dengan apa yang dosebut “Social Inquiry” yang harus disediakan untuk pengadilan. Laporan terssebut bersifat formal serta dibuat oleh pejabat atau badan yang berwenang dan kompeten. Tokyo Rules menetapkan bahwa laporan tersebut harus berisi informasi tentang pelaku dan rekomendasi yang relevan dengan hukuman yang dijalani. Namun pengadilan perlu mengevaluasi rekomendasi-rekomendasi tersebut dengan lebih hati-hati untuk memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi tepat dan obyektif.
Pidana kerja sosial dalam KUHP baru ditujukan sebagai alternatif bagi hukuman penjara singkat dan denda yang relatif ringan. Pelaksanaannnya dapat dilakukan di berbagai institusi seperti rumah sakit, panti asuhan, panti lansia, sekolah atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Selain itu, tempat pelaksanaan pidana kerja sosial sedapat mungkin disesuaikan dengan profesi narapidana. Dengan demikian, pendekatan ini memberikan kesempatan bagi individu yang terlibat dalam pelanggaran hukum untuk berkontribusi positif dalam masyarakat, sambil tetap mempetimbangkan kebutuhan dan keterampilan mereka.
KOLABORASI STRATEGIS PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DAN JAKSA DALAM PIDANA PENGAWASAN DAN PIDANA KERJA SOSIAL.
Kolaborasi antara Pembimbing Kemasyarakatan dan Jaksa dalam penegakan hukum bukanlah hal baru, tercermin dalam ketentuan Pidana Bersyarat KUHP lama melalui “pejabat tertentu” yang kemudian diperjelas sebagai Pembimbing Kemasyarakatan oleh PP No. 31 Tahun 1999. Meskipun demikian, implementasi kolaborasi ini dalam KUHP lama kurang optimal karena ketidakjelasan peran dan kurangnya koordinasi, sehingga bimbingan kepada terpidana bersyarat seringkali tidak memadai. Bebeda dengan KUHP yang baru yang secara eksplisit mengatur peran Pembimbing Kemasyarakatan dan Jaksa dalam pidana pengawasan dan kerja sosial.
Proyeksi kolaborasi Pembimbing Kemasyarakatan dan Jaksa memiliki landasan hukum yang kuat dalam KUHP baru (Pasal 76 dan 85), Peraturan Jaksa Agung No. 1 Tahun 2025, dan UU No.22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menegaskan peran Pembimbing Kemasyarakatan dalan reintegrasi sosial. Operasionalisasinya serupa dengan pidana bersyarat sebelumnya, dimana Jaksa berperan sebagai PIC (person in command) pengawasan, dan Pembimbing Kemasyarakatan menjalani fungsi reklasering (pengembalian terpidana ke masyarakat). Dalam pidana pengawasan. Pembimbing Kemasyarakatan fokus pada perubahan perilaku terpidana dan dapat memberikan pertimbangan kepada Jaksa terkait pelanggaran syarat. Sementara dalam pidana kerja sosial, Pembimbing Kemasyarakatan memiliki peran lebih kuat dalam mengidentifikasi kemanpuan kerja terdakwa dan menjalin kemitraan untuk pelaksanaan kerja sosial yang efektif.
Mengingat implementasi pidana bersyarat yang kurang optimal di KUHP lama, diperlukan langkah strategis untuk keberhasilan pidana pengawasan dan kerja sosial di KUHP baru, melalui koordinasi antar lembaga dan kejelasan operasional. Langkah-langkah strategis yang diusulkan meliputi: penetapan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara pelaksanaan pemidanaan dan pengawasan; pembuatan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan dengan Kejaksaan Agung untuk sinergi program seperti Griya Abhipraya dan Rumah Restorative Justice; serta penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) melibatkan kementerian terkait dan pemerintah daerah untuk memperkuat kolaborasi pelaksanaan alternatif pemidanaan. Kolaborasi strategis Pembimbing Kemasyarakatan dan Jaksa ini merupakan langkah nyata menuju sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi dan restoratif, tidak hanya menghukumn tetapi juga memulihkan dan membimbing terpidana kembali ke masyarakat. Sinergi ini membuka jalan bagi keadilan yang menegakkan hukum sekaligus memulihkan keseimbangan sosial.
VB-PUTRA TRISNA.