TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 27 ayat (3), telah lama menjadi kontroversi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Pasal ini, yang mengatur tentang larangan penyebaran muatan penghinaan atau pencemaran nama baik di ruang digital, sering kali dituding sebagai “pasal karet” karena rumusannya yang multitafsir dan aplikasinya yang kerap menjerat warga negara hanya karena menyuarakan kritik atau keluhan di media sosial.

Dalam praktiknya, tidak sedikit institusi negara, pejabat publik, maupun korporasi yang menggunakan pasal ini untuk melaporkan individu yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan, layanan, atau dugaan pelanggaran tertentu. Akibatnya, ruang kebebasan berekspresi masyarakat sipil menjadi terancam, dan partisipasi publik dalam pengawasan kekuasaan mengalami kemunduran.

Situasi tersebut menjadi perhatian serius dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah adanya sejumlah kasus kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat umum yang menyuarakan pendapat secara damai. Merespons kondisi tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE melalui Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 merupakan momen penting dalam dinamika perlindungan hak konstitusional atas kebebasan berekspresi di Indonesia. Dengan membatasi pihak yang dapat mengajukan pengaduan pencemaran nama baik hanya kepada individu, MK menegaskan bahwa institusi negara, pemerintah, dan korporasi bukanlah subjek hukum yang dapat merasa “terhina” secara personal. Putusan ini menjadi tonggak baru dalam menyeimbangkan antara perlindungan terhadap martabat pribadi dan kebebasan menyampaikan pendapat, khususnya di ruang digital.

Pasal 27 Ayat (3) UU ITE: Permasalahan Lama
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 1 Tahun 2024, mengatur tentang larangan penyebaran muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Pasal ini telah lama dikritik sebagai “pasal karet” karena multitafsir dan berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.

Data Amnesty International Indonesia mencatat sedikitnya 530 kasus kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi sepanjang 2019–2024, yang sebagian besar menggunakan pasal ini. Tidak sedikit pelapor berasal dari pemerintah daerah atau institusi negara, yang merasa dikritik terhadap kebijakan publik sebagai pencemaran nama baik.

Putusan MK: Membatasi Delik Aduan untuk Perseorangan
Dalam Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa:
“Yang dimaksud dengan ‘setiap orang’ sebagai pelapor dalam delik aduan adalah orang perorangan, bukan badan hukum, instansi pemerintah, atau korporasi” (MK, 2024).

Putusan ini menjawab persoalan konstitusionalitas dengan membatasi ruang pidana hanya pada relasi antarmanusia sebagai subjek hukum. Institusi, yang bersifat abstrak, tidak memiliki rasa malu, kehormatan, atau harga diri dalam konteks yang setara dengan individu.

Dengan demikian, jika terdapat kritik terhadap kebijakan institusional, maka tanggapan yang pantas bukanlah pemidanaan, tetapi klarifikasi, hak jawab, atau gugatan perdata apabila memenuhi unsur pencemaran reputasi dalam ranah keperdataan.

Ancaman terhadap Otoritas Institusi?
Sebagian pihak mungkin memandang bahwa dengan dicabutnya hak institusi untuk mengadukan pencemaran nama baik, negara menjadi lemah menghadapi disinformasi dan fitnah. Namun perlu ditegaskan bahwa yang dibatasi adalah delik pidana, bukan seluruh mekanisme perlindungan hukum.

Negara tetap memiliki kewenangan administratif dan hukum perdata untuk merespons tindakan yang merugikan reputasi kelembagaan. Mekanisme hak jawab dalam Undang-Undang Pers, gugatan perbuatan melawan hukum (PMH), serta edukasi publik menjadi instrumen yang lebih sejalan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.

Perlindungan Hak Konstitusional dan Ruang Publik yang Sehat
Kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Putusan MK menjadi pelindung konstitusional agar ekspresi damai tidak lagi dikriminalisasi atas dasar delik yang kabur.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut putusan ini sebagai “langkah awal penting” menuju reformasi UU ITE secara menyeluruh. Kriminalisasi atas ekspresi, jika tidak segera dibatasi, berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap institusi dan menghambat partisipasi warga dalam demokrasi.

Kesimpulan
Putusan MK membuka ruang demokrasi yang lebih sehat, tetapi juga menuntut institusi untuk berbenah dalam merespons kritik. Negara tidak boleh menjadi entitas yang kebal dari pengawasan publik. Sebaliknya, ia harus menjadi teladan dalam merespons kritik secara terbuka, adil, dan proporsional.

Daftar Pustaka
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2024). Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024. Diakses dari: https://www.mkri.id
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 1 Tahun 2024.
Amnesty International Indonesia. (2025). Putusan MK Jadi Momentum Revisi Menyeluruh Pasal-Pasal Bermasalah UU ITE. Diakses dari: https://www.amnesty.id
Reuters. (2025). Indonesian court bans government, company from defamation complaints. Diakses dari: https://www.reuters.com
Kompas.com. (2025). MK Putuskan Hanya Perseorangan yang Bisa Gugat Pencemaran Nama Baik. Diakses dari: https://www.kompas.com.

VB-PUTRA TRISNA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.