Implementasi Restorative Justice pada Tahap Post-Ajudikasi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Oleh Chandra Kurnia Pratama Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pamulang

TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Dunia peradilan pidana di Indonesia sedang santer dengan istilah baru yang cukup viral di khalayak ramai. Banyak pelaku kejahatan yang di gadang-gadang masuk bui tapi akhirnya bebas lagi. Motif melakukan kejahatan menjadi pertimbangan para pengadil dalam penentuan hasil. Proses berjalan hingga hakim memutuskan hukuman, atau musyawarah dengan dalih pemulihan keadaan sesuai keinginan korban.

Istilah viral tersebut adalah restorative justice, atau secara ringkas bisa diartikan dengan penyelesaian tindak pidana dengan cara pemulihan keadaan. Konsep hukum tersebut menawarkan banyak kesepakatan yang bisa dijadikan alternatif selain penjara. Hal tersebut yang kemudian memicu banyak kontoversi dalam masyarakat, terutama dari pihak korban. Banyak yang berpikir bahwa tidak selama kerugian materiil atau immateriil itu bisa dipulihkan, tetapi harus dibalaskan.

Implementasi Restorative Justice.
Pada implementasinya, ternyata masih banyak perbedaan pemahaman dan penafsiran terkait konsep restorative justice. Beberapa praktisi ataupun akademisi dibidang hukum menilai restorative justice hanya bisa dilakukan pada tahap pra ajudikasi. Banyak juga yang berpendapat bahwa restorative justice bisa dilakukan di tahap ajudikasi dan post ajudikasi. Akhirnya, semua kembali kepada siapa yang memegang peranan sebagai penegak hukumnya.

Instansi kepolisian mempunyai Peraturan Kepolsian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021. Kejaksaan juga mempunyai Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020. Mahkamah Agung pun punya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Semuanya berlomba membuat peraturan serta berupaya menerapkan Restorative Justice, tetapi hanya terfokus pada tahap pra ajudikasi dan tahap ajudikasi.

Konsep Restorative Justice pada Tahap Post-Ajudikasi.
Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan kemudian muncul sebagai pembeda dalam konsep hukum tersebut. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang kemudian memunculkan ide bahwa Restorative Justice juga harus dilakukan pada tahap post ajudikasi. Sebagai hilir proses peradilan umum, pengusulan program pembebasan bersyarat (PB) kepada para narapidana membutuhkan tanggapan dari pihak korban. Faktanya hal tersebut tidak pernah disoroti oleh para praktisi dan akademisi pada bidang hukum yang berkoar tentang Restorative Justice.

Pelaku kejahatan yang proses peradilannya berujung pada hukuman penjara, tidak pernah mengetahui bagaimana perasaan korbannya. Semua terlihat selesai begitu saja ketika palu hakim sudah berbunyi dan vonis itu dianggap sebagai balasan. Mungkin Polisi, Jaksa dan Hakim mempunyai pertimbangan untuk tidak melakukan Restorative Justice selama proses peradilan. Sehingga hal tersebut bisa berpotensi menimbulkan masalah besar ketika pelaku kejahatan yang kemudian menjadi narapidana akan diusulkan hak pembebasan bersyaratnya.

Penulis sebagai petugas pembimbing kemasyarakatan (PK), seringkali menemukan kendala ketika melakukan penelitian kemasyarakatan (litmas), untuk usulan Pembebasan Bersyarat (PB) narapidana. Format laporan hasil litmas mengharuskan petugas PK melakukan wawancara terhadap korban dari seorang narapidana. Petugas PK wajib mengetahui keadaan korban dan tanggapan korban terkait rencana program PB narapidana. Tak sedikit pihak korban dan keluarga korban yang tidak berkenan apabila narapidana mendapatkan PB.

Bagai buah simalakama, peribahasa yang melekat dengan kondisi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Alih-alih mengurangi over kapasitas lapas rutan dengan program PB narapidana, tetapi malah tertahan karena korban tidak berkenan. Tekanan kemudian ditujukan kepada petugas PK untuk menjadi problem solver dalam polemik tersebut. Penulis secara pribadi merasa tertantang dan bertanggungjawab untuk membuat strategi pendekatan persuasive terhadap para korban.

Tujuan Restorative Justice.
Tidak menjadi masalah meskipun belum ada dasar hukum yang pasti versi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan terkait pelaksanaan Restorative Justice pada tahap post-ajudikasi. Cita-cita pemasyarakatan harus tetap ditegakkan, memperbaiki orang-orang tersesat adalah awal. Sisanya, bagaimana mengembalikan mereka untuk mendapat peran dan diterima dimasyarakat. Siapapun bisa melakukan kesalahan, siapapun bisa mendapatkan hukuman, tapi siapapun itu juga pantas untuk mendapatkan kesempatan.

Penulis berpikir bahwa setiap kejahatan yang dilakukan narapidana dimasa lalu mungkin masih membekas pada korban. Tidak patah arang, sebagai petugas PK penulis mulai melakukan pendekatan persuasive kepada korban, sejak narapidana menjalani pembinaan awal di lapas atau rutan. Hal ini menjadi bekal dan ancang-ancang untuk mulai meredam dendam korban kepada si pelaku kejahatan. Memang terlihat terlalu dini tapi hal tersebut lebih baik dilakukan dari pada tiba masa, tiba akal.

Benang merahnya, konsep Restorative Justice akan terkoneksi mulai dari tahap pra ajudikasi, tahap ajudikasi dan post ajudikasi. Setiap tindak pidana punya alternatif dalam penyelesaiannya, dan melibatkan banyak pihak untuk menyelesaikannya. The Man behind the gun, setiap penegak hukum punya kewenangan di ranahnya masing-masing untuk menerapkan Restorative Justice. Tujuannya sama, tidak semua pelaku kejahatan harus berakhir di penjara dan tidak semua kejahatan tidak bisa di maafkan.


VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *