UNPAM Wujudkan Desa Aman dari Kekerasan Seksual: Edukasi Pencegahan Pelecehan Seksual di Kecamatan Candasari, Pandeglang, Banten Dorong Warga Lebih Berani Melapor

PANDEGLANG, (variabanten.com) — Kasus pelecehan seksual masih menjadi persoalan yang sering tidak terlihat namun meninggalkan luka mendalam bagi korban. Di banyak wilayah pedesaan, terutama yang menjunjung tinggi nilai kesopanan dan kehormatan keluarga, isu ini sering kali tertutup rapat. Korban dipaksa bungkam, dianggap membawa malu, sementara pelaku berjalan bebas tanpa konsekuensi. Situasi seperti inilah yang coba diubah oleh Tim Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) dari Universitas Pamulang (UNPAM) melalui kegiatan edukasi bertema “Pencegahan dan Penanggulangan Pelecehan Seksual Berbasis Pemberdayaan Komunitas dan Perlindungan Korban” yang dilaksanakan di Desa Pasirpeuteti, Kecamatan Candasari, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini melibatkan perangkat desa, kader PKK, tokoh agama, tokoh pemuda, guru, orang tua, dan warga umum. Program ini bertujuan membangun kesadaran kolektif bahwa pelecehan seksual bukan hanya persoalan pribadi atau aib yang harus disembunyikan, melainkan pelanggaran hak dan martabat manusia yang wajib dicegah dan ditangani bersama.

Ketua pelaksana kegiatan, Fridayani, menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam penanganan pelecehan seksual di masyarakat adalah minimnya pemahaman mengenai batasan tubuh dan persetujuan (consent). Banyak tindakan seperti siulan bernada seksual, sentuhan tanpa izin, komentar tidak pantas, bahkan pelecehan berbasis digital, dianggap hal biasa atau candaan belaka.
“Ketika suatu tindakan dianggap ‘biasa’, maka korban kehilangan ruang untuk bersuara. Di titik inilah pelecehan berulang terjadi. Kami ingin masyarakat memahami bahwa tubuh setiap orang adalah miliknya sendiri, dan tidak ada satu pun orang yang berhak melanggar batas tersebut,” tegas Fridayani.

Mengapa Korban Banyak Memilih Diam?
Budaya diam dan rasa malu menjadi akar persoalan serius dalam kasus pelecehan seksual. Korban, terutama perempuan dan anak, sering kali merasa takut tidak dipercaya, disalahkan, atau dianggap sebagai penyebab terjadinya pelecehan. Dalam beberapa kasus, keluarga korban memilih bungkam demi menjaga nama baik.

Hal ini diperkuat dengan fenomena victim blaming, ketika masyarakat cenderung menyalahkan korban atas insiden yang menimpanya. Cara berpakaian, tempat kejadian, hingga perilaku korban sering dijadikan alasan pembenaran pelaku atau pembela lingkungan sosial.

Salah satu peserta sosialisasi, seorang ibu rumah tangga, mengungkapkan:
“Kami dulu hanya bilang ke anak: jaga diri baik-baik. Tapi ternyata itu tidak cukup. Anak-anak harus tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain terhadap tubuh mereka.”
Pernyataan ini menunjukkan adanya momen kesadaran baru: keluarga bukan hanya tempat menjaga kehormatan, tetapi juga tempat pertama pendidikan keselamatan tubuh.

Bukan Sekadar Penyuluhan, Tapi Penguatan Sistem Perlindungan Desa
Program ini tidak berhenti pada teori dan paparan materi. Tim UNPAM menggunakan pendekatan partisipatif: masyarakat diajak berdiskusi, berbagi pengalaman, dan menyusun solusi berbasis kearifan lokal.

Hasilnya, terbentuk Pos Layanan Pengaduan Desa yang berfungsi sebagai ruang aman bagi korban untuk melapor dan mendapatkan pendampingan awal. Pos ini melibatkan perangkat desa, guru, kader PKK, tokoh agama, dan pemuda.

Kepala Desa Pasirpeuteti, Sunarsa, menyampaikan dukungan penuh:
“Selama ini warga mungkin tahu atau mendengar kasus pelecehan, tapi bingung harus melapor ke mana. Dengan adanya pos pengaduan ini, kami ingin memastikan korban tidak sendirian. Desa harus hadir memberikan perlindungan.”

Pos layanan pengaduan ini juga dilengkapi dengan SOP pelaporan yang menjaga kerahasiaan korban, serta mekanisme rujukan ke psikolog, pendamping hukum, atau puskesmas sesuai kebutuhan korban.

Tokoh Agama dan Pemuda Menjadi Kunci Perubahan
Salah satu kekuatan utama masyarakat Candasari adalah pengaruh tokoh agama. Mereka memiliki peran strategis dalam membentuk nilai dan norma sosial, terutama terkait perlindungan moral keluarga.

Dalam kegiatan tersebut, tokoh agama didorong untuk menyampaikan pesan mengenai kesucian hak tubuh dan kewajiban menjaga martabat manusia dalam ceramah, kajian, dan kegiatan keagamaan lainnya. Dengan demikian, pesan pencegahan pelecehan seksual tidak sekadar bersifat sosial, melainkan juga religius dan etis.

Tokoh pemuda dan karang taruna pun terlibat dalam membuat kampanye kesadaran melalui media sosial desa, memanfaatkan poster edukasi, reels edukatif, dan diskusi komunitas.

Perspektif Gender: Suara dari Akademisi
Dosen anggota sekaligus pemateri, Ema Farida, S.H., M.H, menyoroti pentingnya menghilangkan budaya menyalahkan korban (victim blaming) yang masih banyak terjadi.
“Sering kali korban justru disalahkan dengan dalih cara berpakaian, sikap, atau keberadaan mereka di tempat tertentu. Pola pikir seperti ini harus dihentikan. Korban perlu didengarkan, diterima, dan dilindungi. Kehormatan dan martabat korban lebih penting daripada citra sosial,” tegas Ema Farida.

Ia juga mengajak para ibu dan guru untuk menjadi pendamping emosional pertama bagi korban. “Anak-anak tidak akan berani bercerita jika rumah bukan tempat yang aman. Maka, rumah harus menjadi ruang paling nyaman bagi anak untuk mengungkapkan apapun,” tambahnya. Pendekatan empatik menjadi kunci pembaruan relasi keluarga dan sekolah dalam isu ini.

Penguatan Kelembagaan Desa
Sementara itu, Dr. Susanto, S.H., S.M., S.Ak., M.M., M.H., M.A.P, yang hadir sekaligus memberikan arahan mengenai penguatan kebijakan desa, menekankan bahwa pencegahan pelecehan seksual tidak dapat berjalan hanya dengan edukasi, tetapi harus didukung sistem desa yang kuat.
“Desa perlu memiliki regulasi perlindungan yang jelas agar upaya ini berkelanjutan. Pembentukan Pos Layanan Pengaduan Berbasis Desa adalah langkah awal, tetapi harus diperkuat dengan peraturan desa agar ada kepastian dalam penanganan kasus,” jelas Dr. Susanto.
Beliau menambahkan:
“Ketika desa, sekolah, tokoh agama, dan keluarga bergerak bersama, maka kita sedang membangun perisai sosial yang melindungi anak dan perempuan. Itu kekuatan sebenarnya dari masyarakat.”

Perubahan Mulai Terlihat
Berdasarkan evaluasi kegiatan berupa pre-test dan post-test, terdapat peningkatan pemahaman masyarakat antara 35% hingga 50%, khususnya pada isu:
– Batasan tubuh (body autonomy)
Persetujuan (consent)
-Jenis pelecehan seksual (fisik, verbal, digital)
– Cara mendampingi korban tanpa menghakimi
– Alur pelaporan aman
Selain peningkatan pemahaman, terjadi pula perubahan sikap:
-Orang tua mulai membuka pembicaraan mengenai keamanan tubuh kepada anak.
– Guru lebih aktif mengawasi interaksi antarsiswa.
– Warga mulai berani mengkritik tindakan bernuansa seksual yang dulunya dianggap candaan.

Tantangan Ke Depan: Keberlanjutan dan Dukungan Kebijakan
Meski perubahan mulai terlihat, Fridayani menegaskan bahwa program ini harus berlanjut, bukan satu kali kegiatan.
“Sosialisasi ini langkah awal. Yang terpenting adalah menjaga keberlanjutan: pos pengaduan harus aktif, guru dan kader perlu pelatihan lanjutan, dan pemerintah desa perlu memperkuat dalam bentuk kebijakan tertulis.”
Kepala desa menyatakan akan segera membahas Peraturan Desa tentang Perlindungan Perempuan dan Anak sebagai tindak lanjut.
Jika Perdes ini terbit, Candasari berpotensi menjadi desa model pencegahan kekerasan seksual di wilayah Banten.

Masyarakat Aman adalah Tanggung Jawab Bersama
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa perubahan sosial bukan hanya dimulai dari kebijakan besar, tetapi dari keberanian masyarakat untuk saling melindungi.
Dengan semakin terbukanya ruang dialog di Candasari, harapannya tidak ada lagi korban yang merasa sendirian. Tidak ada lagi keluarga yang merasa harus diam. Tidak ada lagi masyarakat yang menoleransi pelecehan seksual atas nama “kelaziman”.
Candasari sedang bergerak ke arah itu — desa yang berani menolak pelecehan, melindungi korban, dan membangun masa depan yang aman bagi perempuan dan anak. VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *