Tangerang Selatan (Varia Bsnten) – Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Oleh Anas Syaefudin. (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang, Kota Tangerang, Provinsi Banten).
Pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif nampaknya masih sangat menuai berbagai polemik di kalangan masyarakat luas. Banyak yang mendukung terselenggarakannya kegiatan tersebut dan ada juga yang menolaknya. Masyarakat yang mendukung adanya kebijakan tersebut adalah mereka yang mengetahui bagaimana kondisi pemasyarakatan saat ini, dimana kondisi Lapas dan Rutan yang mengalami overcrowed atau overcapasity. Selain itu, mereka juga mengetahui bahwa dengan proses penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sangat berpengaruh terhadap penyelesaian permasalahan secara kekeluargaan dan dengan bermusyawarah. Tetapi, untuk mereka yang menolak dengan adanya pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif adalah mereka yang merasa dirugikan dari perilaku perilaku tersangka tindak pidana atau mereka yang telah menjadi korban dari tindakan pidana. Mereka sangat merasakan bagaimana menderitanya mereka yang harus menjadi korban. Tingkat residivis juga menjadi patokan mereka dalam menilai bagaimana para mantan narapidana yang telah menyelesaikan pembinaan di dalam Lapas atau Rutan pun masih saja mengulangi tindak pidana.
Sebelum kita menggali lebih jauh terkait penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, kita perlu ketahui bahwa penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan guna memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan menyeimbangkan antara kepastian hukum (rechtmatigheid) dan kemanfaatan (doelmatigheid) dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan berdasarkan hukum dan hati nurani. Jaksa Agung menetapkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan tersebut dilaksanakan dalam rangka mengakomodasi ide keseimbangan yang mencakup keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perseorangan, keseimbangan antara ide perlindungan/kepentingan korban dan ide individualisasi pidana, keseimbangan antara unsur/faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan subjektif (orang batiniah/sikap batin), keseimbangan antara kriteria formal dan materiel, dan keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastitisat/fleksibilitas dan keadilan. Syarat prinsip yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terdapat pada Pasal 5 ayat (1), yakni :
a. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. Tindak pidana hanya diancama dengan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. Nilai barang bukti atau kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Setelah mengetahui tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, maka kita perlu menimbang ulang apa yang sebaiknya ditentukan. Dalam peraturan tersebut jelas tertera terkait syarat yang harus dipenuhi guna dapat melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Menurut pendapat saya, kebijakan tersebut dirasa telah cukup efektif untuk mengurangi atau mengatasi permasalahan yang ada di Pemasyarakatan saat ini, dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka tidak berarti semua terdakwa pasti mendapatkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Hal seperti ini lah yang perlu kita sampaikan kepada masyarakat, terutama bagi mereka yang belum mengetahui isi dari Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Selain permasalahan Pemasyarakatan yang dapat teratasi, kebijakan tersebut dapat memberikan keadilan yang sejelas-jelasnya baik untuk pelaku maupun para korban. (VB-BS).