TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mulai tercium oleh publik pada awal Oktober 2018 ketika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor perasuransian itu mengirimkan surat kepada bank mitra untuk menunda pembayaran polis jatuh tempo produk JS Saving Plan. Hasil audit investasi terhadap Jiwasraya pada bulan yang sama pun menguak gangguan likuiditas yang menyebabkan penundaan pembayaran klaim sebesar Rp. 802 miliar pada November 2018, yang kemudian naik menjadi Rp12,4 triliun pada akhir 2019.
Permasalahan bermula ketika manajemen Jiwasraya sebelumnya menawarkan produk asuransi yang menjanjikan bunga tinggi, di luar standar kewajaran produk sejenis di pasar (product mispricing), serta masa perlindungan asuransi yang panjang. Salah satunya ialah produk bancassurance JS Savings Plan yang ditawarkan dengan jaminan tingkat pengembalian (guaranteed return) sebesar 9% – 13% selama periode 2013 – 2018, dengan periode pencairan setiap tahun. Namun jaminan return JS Savings Plan lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga deposito pada tahun finansial 2018 (yaitu 5,2% – 7,0%). Dengan return yang lebih tinggi dari pertumbuhan instrumen investasi di pasar dan jangka waktu produk yang dapat dicairkan setiap tahun, Jiwasraya terus terkena risiko pasar bunga yang tinggi sehingga membuat perseroan harus menempatkan investasi di instrumen yang berisiko tinggi demi mencapai imbal hasil yang besar.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhirnya menjabarkan secara terperinci kronologi kasus yang membelit Jiwasraya hingga berakhir tak mampu membayar polis asuransi (gagal bayar) JS Savings Plan. Akibat sejumlah penyimpangan tersebut, BPK menetapkan kerugian negara karena kasus Jiwasraya mencapai Rp16,81 triliun. Perinciannya ialah sebesar Rp4,65 triliun yang merupakan nilai perolehan saham BJBR, PPRO, SMBR, dan SMRU. Selain itu, sebesar Rp12,16 triliun merupakan nilai perolehan 21 produk reksa dana pada 13 manajer investasi setelah dikurangi nilai penjualan unit penyertaan reksa dana (redemption).
Pemerintah melalui APBN tahun 2021memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 20 triliun kepada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dana tersebut salah satunya akan digunakan untuk membantu menyelesaikan permasalahan di PT Asuransi Jiwasraya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) juga memastikan manajemen PT Asuransi Jiwasraya (Persero) berkomitmen untuk menyelesaikan masalah yang menimpa para pemegang polis dengan baik.Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah berupaya melakukan penyelesaian atas permasalahan gagal bayar klaim PT. Asuransi Jiwasraya, salah satunya dengan menyuntikkan dana sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp.20 triliun kepada PT.IFG yang selanjutnya digunakan untuk penguatan struktur permodalan anak usaha yaitu PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life). PT. IFG Life ini kemudian yang melakukan pengambilalihan penyelesaian polis Asuransi Jiwasraya melalui program restrukturisasi.
Restrukturisasi polis yang ditawarkan oleh PT. IFG Life kepada nasabah asuransi Jiwasraya tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan klaim polis para nasabah. Nasabah asuransi Jiwasraya, baik yang mengikuti program restrukturisasi maupun yang tidak mengikuti program restrukturisasi, keduanya sama-sama merasa dirugikan.
Panitia Khusus Jiwasraya DPD RI
Permasalahan Asuransi telah melatarbelakangi pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Jiwasraya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meskipun pemerintah dan Komisi VI DPR RI telah mengupayakan langkah-langkah penyelesaian. Pada Sidang Paripurna DPD RI tanggal 5 Oktober 2022, Pansus Jiwasraya DPD RI menyampaikan kesimpulan antara lain:
Pertama, Berdasarkan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian disebutkan bahwa perusahaan asuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim. Terdapat pelanggaran atas prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh PT Asuransi Jiwasraya dalam berinvestasi sehingga menyebabkan PT Asuransi Jiwasraya mengalami gagal bayar. Penyelesaian kerugian negara dan penyelesaian permasalahan hukum nasabah melalui pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap masih terkendala eksekusi terhadap aset yang dimiliki para terpidana.
Kedua, Permasalahan Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara sebesar Rp16,81 triliun berdasarkan audit BPK masih belum terselesaikan dengan baik hingga saat ini. Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp20 triliun yang belum jelas seberapa jauh PMN ini telah menyelesaikan klaim polis para nasabah. Pembentukan IFG Life sebagai bagian dari PT BPUI yang mengelola PMN sebesar Rp 20 triliun dan pengalihan aset PT Jiwasraya sebesar Rp12,5 triliun ke PT IFG Life tidak menyelesaikan masalah. Pengalihan polis dari Jiwasraya ke IFG Life melalui restrukturisasi menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini BUMN hanya memikirkan kepentingan institusi tanpa memikirkan kepentingan rakyat, dalam hal ini nasabah Asuransi Jiwasraya.
ketiga Penyelesaian permasalahan Asuransi Jiwasraya yang ditawarkan oleh Kementerian BUMN melalui program restrukturisasi polis telah menyebabkan kerugian bagi nasabah, baik bagi nasabah yang setuju restrukturisasi maupun yang tidak setuju restrukturisasi. Bagi nasabah yang tidak setuju untuk mengikuti program restrukturisasi polis, status polis akan berubah menjadi utang-piutang dengan underlying aset non-clean & non-clear. Hal itu sangat tidak adil bagi nasabah yang tetap bertahan pada PT Asuransi Jiwasraya karena ketidakjelasan mengenai sampai kapan piutangnya akan dibayar.
Keempat, Nasabah yang setuju restrukturisasi polis dan dialihkan ke IFG Life berdasarkan catatan Kementerian BUMN adalah sebanyak 99,6%, sebagaimana yang disampaikan Menteri BUMN melalui surat, tetapi tidak didukung data yang lengkap dan masih simpang-siur di lingkup Forum Nasabah Korban Jiwasraya (FNKJ).
Kelma, Pemerintah telah lalai karena tidak segera membentuk Lembaga Penjamin Polis sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 40 Tahun 2014 tentang perasuransian sehingga nasabah Asuransi Jiwasraya tidak mendapatkan jaminan dan pelindungan ketika permasalahan gagal bayar polis terjadi. Terdapat kelemahan pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap Asuransi Jiwasraya, baik pengawasan atas produk maupun investasinya.
Keenam, UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian belum mengatur mengenai beberapa usaha penunjang perasuransian, yaitu (1) usaha pialang asuransi.; (2) usaha pialang reasuransi. (3) usaha penilaian kerugian asuransi; (4) usaha konsultan aktuaria; dan (5) usaha agen asuransi. Keberadaan usaha penunjang perasuransian tersebut sangat penting untuk menjamin kepastian hukum usaha perasuransian. Selain itu, belum ada pengaturan mengenai Dewan Perasuransian yang memiliki eksistensi sebagai lambaga independen pemantau pelaksanaan usaha perasuransian di Indonesia.
Selanjutnya Pansus Jiwasraya DPD RI merekomendasikan:
Pertama, Pansus Jiwasraya DPD RI merekomendasikan Kementerian BUMN agar tetap mengaktifkan PT Asuransi Jiwasraya yang telah melanggar UU Perasuransian, hingga pembayaran hak-hak nasabah dapat terselesaikan seluruhnya.
Kedua, BPK RI agar melakukan audit investigasi terhadap pelaksanaan restrukturisasi polis Asuransi Jiwasraya yang telah menggunakan APBN tahun 2021 sebesar Rp. 20 triliun melalui PMN. Otoritas Jasa Keuangan untuk memperketat pengawasan di sektor perasuransian, khususnya pengawasan terhadap jenis produk dan investasi pada asuransi.
Ketiga, Terhadap restrukturisasi direkomendasikan:
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, terutama PT Asuransi Jiwasraya agar segera menyelesaikan utang atas polis nasabah Asuransi Jiwasraya yang tidak mengikuti restrukturisasi sesuai dengan nilai piutang yang dimiliki oleh nasabah
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, terutama PT IFG Life agar segera menyelesaikan seluruh klaim atas polis nasabah Asuransi Jiwasraya yang telah mengikuti restrukturisasi tanpa ada pengurangan manfaat dan tanpa dicicil.
Kementerian BUMN, terutama PT IFG Life agar tidak melakukan pengurangan nilai manfaat atas polis hingga sebesar 40% dan tidak melakukan pembayaran secara diangsur karena dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim.
Keempat, Kementerian BUMN agar membuka kepada publik tentang data nasabah yang ikut restrukturisasi sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, untuk menempatkan unsur pemerintah di dalam jajaran dewan komisaris dan dewan direksi pada IFG Life agar dapat melakukan pengawasan atas aset negara yang ada di IFG Life karena IFG Life adalah BUMN.
Kelima, DPR dan Pemerintah untuk segera membentuk UU tentang Lembaga Penjamin Polis (LPP) sebagaimana amanat UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian guna melindungi nasabah asuransi.
Keenam, Pansus Jiwasraya DPD RI merekomendasikan pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan revisi terhadap UU No. 40 Tahun 2014 tentang perasuransian.
Regulasi untuk Memulihkan Kerugian Negara.
Pada tulisan ini, penulis fokus pada regulasi yang perlu ditindaklanjuti oleh DPR dan Pemerintah yaitu:
Pertama, UU Lembaga Penjamin Perasuransian, Keberadaan RUU ini menjadi perintah dari UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Dengan adanya LPP semacam LPS pada perbankan maka diberikan jaminan dan pelindungan kepada nasabah ketika permasalahan gagal bayar polis terjadi. RUU Ini telah masuk dalam program legislasi nasional 2019—2024 tetapi belum kunjung dibahas oleh DPR dan Pemerintah sehingga pembahasannya harus segera diprioritaskan dan segera diberlakukan.
Kedua, Revisi UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. UU Perasuransian belum mengatur mengenai keberadaan belum mengatur mengenai beberapa usaha penunjang perasuransian, yaitu (1) usaha pialang asuransi.; (2) usaha pialang reasuransi. (3) usaha penilaian kerugian asuransi; (4) usaha konsultan aktuaria; dan (5) usaha agen asuransi. Keberadaan usaha penunjang perasuransian tersebut sangat penting untuk menjamin kepastian hukum usaha perasuransian. Revisi terhadap UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak masuk dalam program legislasi nasional 2019—2024, oleh karena itu, keberadaan RUU perubahan ini dapat diajukan melalui mekanisme kumulatif terbuka diluar Program Legislasi Nasional.
Ketiga, menurut hemat penulis diperlukan juga suatu regulasi tambahan yaitu Undang-undang Perampasan Aset untuk mengantisipasi permasalahan serupa di kemudian hari. Permasalahan asuransi Jiwasraya menyisakan penyelesaian kerugian negara dan penyelesaian permasalahan hukum nasabah melalui pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap masih terkendala eksekusi terhadap aset yang dimiliki para terpidana.
Prof. Herlambang, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dalam diskusi publik dengan Pansus Jiwasraya di Universitas Bengkulu tangal 8 September 2022 menyempaikan pertanyaan mendasar yakni hilangnya kekayaan negara/ kekayaan Jiwasraya akibat perliaku koruptif pengurusnya, haruskah dibebankan lagi kepada negara, dimana dalam kasus korupsi Negara berkali-kali dirugikan, meliputi: pertama, Kerugian Negara yang dilakukan akibat perbuatan melawan hokum ataupun penyalahgunaan weweang atau perbuatan curang. Kedua, Biaya yang ditimbulkan pada penangan tindak pidana korupsi, dan ketiga, Biaya yang ditimbulkan dalam memelihara para koruptor di lembaga pemasyarakatan.
Dalam penyelamatan keuangan negara disini, Pengembalian aset-aset Jiwasraya yang sudah beralih kepada pihak lain sebagai akibat perbuatan korupsi seharusnya dapat dimaksimalkan. Dalam hal ini, Seharusnya mereka yang terlibat dalam perbuatan koruptif dalam penggunaan dana jiwasraya harus dapat dimintakan/ dipaksakan pertanggungjawaban pidananya dan dijatuhi sanksi untuk mengembalikan kerugian Negara dan kesehatan keuangan BUMN Asurasi Jiwasraya.
Dalam permasalahan Jiwasraya perlu diidentifikasi tidak saja berhenti pada para terpidana tetapi juga kepada mereka yang terlibat dalam perbuatan Terpidana.Dalam hal ini, perorangan atau korporasi yang ikut dalam pengelolaan dana Asuransi Jiwasraya secara tidak benar. (baik prosedur penanaman modalnya maupun pemanfaatan dana investasi Jiwasraya). Perlu juga diinventarisasi dan dikonfirmasi perseorangan atau perseroan yang ambil bagian dari produk Jiwasraya yang menjadikan keuntungan secara tidak wajar. Inventarisasi ini diperlukan untuk menemukan niat baik/niat jahat pelakukanya. Apabila hal ini dilakukan maka jumlah yang dapat ditarik dari uang pengganti tersebut dapat menutupi kerugian jiwasraya. Meningkatnya dana yang ditarik dari pihak lain akan mebuat jiwasraya dengan sendirinya mampu membayar kewajibannya.
Membebankan negara dengan memberikan modal tambahan atau suntikan dana PMN yang mengibatkan keluarnya keuangan Negara untuk menutupi kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan terpidana, merupakan perbuatan yang tidak adil, karena negara telah berkali-kali dirugikan akibat perbuatan korupsi di jiwasraya. Oeh karena itu, tidak ada jalan lain selain memksimalkan Sistem peradilan Negara untuk memulihkan keuangan Jiwasraya, dengan jalan meminta semua pihak yang terlibat dalam timbulnya kerugian Negara/ jiwasraya untuk ikut bertangungjawab.
Menurut hemat penulis, eksekusi terhadap asset Jiwasraya akan seMakin efektif apabila ada undang-undang tentang perampasan asset terpidana korupsi yang merugikan keuangan negara. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tetang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tidak Pidana Korupsi tidak efektif dalam memulihkan kerugian negara. Oleh karena itu, RUU Perampasan asset yang sudah ada dalam Daftar Prolegnas agar segera dibahas dan dituntaskan sebagai sebuah undang-undang. Dengan demikian, pertanggungjawaban perbuatan pidana korupsi yang merugikan keuangan negara tidak sekedar memberikan sanksi berupa penjara dan denda saja tetapi juga dalam bentuk mengganti kerugian negara dengan aset-aset yang dimiliki oleh terpidana.
Dengan adanya perampasan aset terpidana korupsi keuangan nagera, Penyertaan Modal Negara (PMN) yang bersumber dari APBN tidak lagi berpotensi menjadi modus untuk makin membebani keuangan negara. BUMN bermasalah yang diatasi dengan PMN berpotensi merugikan keuangan negara berulang kali, apalagi kemudian justru PMN tidak menyelesaian permasalahannya, Dengan demikian, perampasan aset-aset yang dimiliki terpidana menjadi solusi untuk memulihkan keuangan negara dan membawa dampak positif pada perekonomian nasional. Apabila negara kita ingin memajukan kesejahteraan bagi masyarakat sebagaimana amanat konsitusi UUD 1945, maka regulasi ini mutlak segera diwujudkan. VB-Putra Trisna.