
Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Hubungan manusia dengan bumi adalah hubungan yang bersifat ekologis sekaligus sosial. Sejak awal keberadaannya, manusia tumbuh dan bertahan hidup melalui interaksi langsung dengan tanah, air, udara, dan sumber daya alam. Tanah menyediakan pangan, ruang, dan energi; sementara bumi sebagai ekosistem menyediakan keseimbangan yang memungkinkan kehidupan berlangsung. Di tengah modernisasi yang serba cepat, relasi mendasar ini sering kali terlupakan. Gagasan “membumikan agraria dan mengagrariakan bumi” hadir sebagai pengingat bahwa keberlanjutan hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan bumi yang menjadi ruang hidup bersama.
Dari perspektif ekologis, bumi bukan sekadar tempat berpijak, melainkan sistem kehidupan yang saling terhubung. Setiap perubahan pada tanah, air, atau vegetasi akan berdampak pada manusia. Ketika hutan ditebang, kualitas air menurun; ketika tanah terdegradasi, produktivitas pangan terganggu; ketika ruang hidup ekologis rusak, bencana ekologis menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini—banjir, kekeringan, pemanasan global, krisis biodiversitas—adalah bukti bahwa relasi ekologis manusia dengan bumi telah mengalami distorsi. Manusia terlalu memaksakan kehendak dan lupa bahwa alam memiliki batas daya dukung.
Sementara itu, dari perspektif sosial, tanah dan bumi membentuk struktur kehidupan masyarakat. Dalam sosiologi agraria, ruang hidup manusia tidak hanya dilihat dari fungsi fisiknya, tetapi juga fungsi sosialnya: tempat produksi, tempat tinggal, interaksi sosial, identitas budaya, hingga sumber kesejahteraan. Bagi masyarakat adat, misalnya, tanah bukan hanya sumber ekonomi tetapi juga sumber spiritualitas dan pengetahuan. Namun dalam kenyataannya, banyak kelompok masyarakat mengalami keterpinggiran akibat ketimpangan penguasaan lahan dan praktik-praktik eksploitasi yang tidak mempertimbangkan nilai sosial yang melekat pada ruang hidup.
Di sinilah pentingnya membumikan agraria—yakni menghadirkan kembali kesadaran bahwa ruang hidup harus dikelola berdasarkan keadilan ekologis dan keadilan sosial. Agraria bukan hanya urusan teknis tentang kepemilikan tanah, tetapi ruang yang menghubungkan manusia, budaya, ekosistem, dan keberlanjutan. Membumikan agraria artinya mengembalikan tanah sebagai basis kehidupan, bukan komoditas semata. Kebijakan agraria harus memastikan akses yang adil terhadap lahan, melindungi masyarakat rentan, dan menjaga keseimbangan ekologis demi keberlanjutan generasi.
Mengagrariakan bumi, di sisi lain, menekankan bahwa bumi harus dikelola dengan prinsip-prinsip agraria yang bijak dan berkelanjutan. Pembangunan tidak boleh lagi berorientasi pada eksploitasi tanpa batas. Bumi harus diperlakukan sebagai subjek ekologis yang memiliki hak untuk dipulihkan, dijaga, dan dilestarikan. Pendekatan ekstraktif harus digeser menuju pendekatan regeneratif: memperbaiki tanah yang rusak, memulihkan vegetasi, menjaga air, dan memastikan keberlanjutan ekosistem. Mengagrariakan bumi juga berarti menempatkan keseimbangan alam sebagai dasar dalam setiap kebijakan pembangunan.
Hubungan ekologis dan sosial manusia dengan bumi adalah hubungan yang saling menentukan. Tanpa bumi yang sehat, masyarakat tidak dapat hidup sejahtera. Tanpa masyarakat yang berkeadilan, pengelolaan lingkungan tidak mungkin berjalan efektif. Oleh karena itu, membumikan agraria dan mengagrariakan bumi harus menjadi strategi nasional dalam menghadapi ancaman krisis ekologis dan ketimpangan agraria.
Pada akhirnya, bumi adalah ruang hidup yang tidak terpisahkan dari manusia. Kesadaran ekologis dan sosial harus menjadi landasan dalam setiap pengambilan keputusan, baik di level individu maupun negara. Dengan membumikan agraria dan mengagrariakan bumi, kita sedang menegakkan kembali pilar peradaban yang selama ini terabaikan. Masa depan manusia sangat bergantung pada cara kita memperlakukan bumi hari ini. Jika bumi dirawat dengan kebijaksanaan dan rasa tanggung jawab, maka generasi mendatang akan mewarisi ruang hidup yang layak dan berkelanjutan.
VB-Putra Trisna.






