BOGOR, (variabanten.com)-Meskipun Indonesia telah menunjukkan komitmen melalui pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan berbagai instrumen perlindungan lainnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan (KtP) masih merupakan fenomena yang sistemik, mengakar, dan jauh dari kata terselesaikan. Laporan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 menyuguhkan potret getir yang seharusnya tidak hanya dibaca sebagai statistik, tetapi sebagai jeritan kolektif dari ribuan perempuan yang hak dasarnya masih dirampas, tubuhnya dilanggar, dan martabatnya dinistakan di tengah masyarakat yang kerap memilih diam.
Angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) yang mendominasi sebanyak 330.097 kasus, mengalami lonjakan signifikan sebesar 14,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, dalam skala pengaduan langsung kepada Komnas Perempuan saja, tercatat 4.178 kasus atau setara dengan 16 aduan setiap hari. Ini adalah refleksi betapa urgennya kita untuk tidak hanya menggugurkan kewajiban pada tataran regulasi, namun menuntut kehadiran negara secara konkret dalam pemulihan korban dan pencegahan kekerasan sejak dini.
Data keseluruhan menunjukkan bahwa pada tahun 2024 terdapat 445.502 kasus kekerasan, naik hampir 10 persen dari tahun sebelumnya. Di dalamnya, bentuk kekerasan seksual dan psikis muncul sebagai pola dominan, masing-masing menyumbang 26,94 persen dari total kasus. Disusul oleh kekerasan fisik sebesar 26,78 persen dan kekerasan ekonomi sebesar 9,84 persen. Ironisnya, kekerasan yang terjadi bukan hanya bersifat personal, tetapi juga merambah ke ranah publik, bahkan dilakukan oleh aktor negara, dengan rincian 309.516 kasus terjadi di ruang domestik, 12.004 kasus di ruang publik, dan 209 kasus di lingkungan institusi negara.
Lebih menyedihkan lagi, kelompok korban yang paling terdampak adalah perempuan muda berusia antara 18 hingga 24 tahun, mayoritas berasal dari latar belakang pendidikan menengah atas, dan berprofesi sebagai pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, atau bahkan tidak memiliki pekerjaan tetap. Sementara itu, pelaku kekerasan didominasi oleh kategori usia yang tidak teridentifikasi secara resmi, namun yang mengkhawatirkan adalah munculnya 1.280 pelaku yang berasal dari instansi negara—yakni pegawai negeri sipil, anggota TNI, dan anggota POLRI—yang seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga hak dan keselamatan warga negara.
Fakta mengenai masih maraknya kasus femisida, yakni pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya, menjadi alarm keras bahwa akar kekerasan terhadap perempuan jauh lebih dalam dari sekadar tindakan individual, melainkan berurat-akarnya dalam struktur sosial yang misoginis, budaya patriarkis yang menormalisasi kekerasan, serta ketidakadilan sistemik yang membuat perempuan korban kekerasan seringkali tak mendapat ruang aman, bahkan di rumahnya sendiri.
Perempuan yang tergolong dalam kelompok rentan—seperti perempuan pembela hak asasi manusia (HAM), perempuan penyandang disabilitas, dan minoritas gender dan seksual—menghadapi kekerasan berlapis yang tak hanya menyasar tubuh mereka, tetapi juga merampas ruang hidup, hak bicara, dan akses terhadap keadilan. Ketika sistem hukum belum mampu menyentuh kebutuhan pemulihan dan perlindungan secara menyeluruh, maka ketimpangan akan terus diperpanjang dan dilanggengkan.
Sayangnya, setelah dua tahun berlalu sejak pengesahan UU TPKS, implementasinya masih jauh dari harapan. Hingga akhir 2024, baru empat dari tujuh peraturan pelaksana yang disahkan, menyisakan ketidakpastian hukum dan ketimpangan layanan bagi para penyintas. Ketiadaan payung hukum yang menyeluruh dalam implementasi aturan teknis tersebut menjadikan UU TPKS belum sepenuhnya dapat diandalkan sebagai instrumen perlindungan yang nyata bagi korban.
Di sisi lain, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang telah lama diperjuangkan berbagai kelompok masyarakat sipil, hingga akhir 2024 belum juga disahkan oleh parlemen. Situasi ini mencerminkan tarik-ulur kepentingan politik yang tidak berpihak pada keadilan gender dan keadilan sosial secara luas. Penundaan ini menjadi indikator lemahnya sensitivitas negara dalam merespons kebutuhan kelompok rentan yang selama ini paling terdampak oleh kekerasan struktural dan ketidakadilan hukum.
Lebih jauh, ketidakhadiran negara dalam menjamin perlindungan menyeluruh terhadap perempuan menjadi sebuah paradoks, di mana perlindungan normatif tersedia dalam peraturan tertulis, tetapi nihil pada aspek implementatif di lapangan. Kondisi ini mengharuskan adanya reformulasi ulang komitmen negara terhadap pemenuhan hak-hak korban kekerasan, tidak sekadar dalam bentuk jargon politis, tetapi dalam bentuk mekanisme perlindungan yang terukur, terintegrasi, dan berpihak pada korban secara nyata.
Dengan segala data dan kenyataan tersebut, menjadi jelas bahwa upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya memerlukan keberanian untuk membuat kebijakan, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan keberpihakan yang kokoh, konsistensi dalam pelaksanaan, serta partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam membongkar budaya kekerasan yang selama ini telah menjadi bayang-bayang kelam dalam kehidupan perempuan Indonesia.VB-PT