TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)
Pendahuluan
Anak luar perkawinan, khususnya yang lahir dari hubungan perselingkuhan, menempati posisi hukum yang kompleks dalam sistem hukum Indonesia. Disatu sisi, hukum perdata nasional mengalami perkembangan yang progresif yang mengakui hak-hak anak tanpa membedakan asal-usul kelahirannya. Disisi lain, hukum Islam memiliki prinsip nasab yang ketat, dimana status dan hubungan hukum anak sangat erat kaitannyadengan pernikahan yang sah.
Tulisan ini mengkaji secara kritis mengenai perlindungan dan pengakuan hak-hak anak hasil hubungan perselingkuhan dari dua perspektif hukum perdata Indonesia dan hukum Islam, dengan fokus pada aspek status hukum, hak atas pengakuan, nafkah, warisan dan hubungan hukum dengan ayah biologis.
1. Perspektif Hukum Perdata Indonesia
a. Status hukum anak luar kawin
Awalnya Hukum Perdata Indonesia (KUHPerdata) hanya mengakui anak luar kawin yang diakui secara sah oleh orang tuanya (Pasal 280-284 KUHPerdata). Namun, perkembangan hukum signifikan terjadi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa:
“Anak yang lahir diluar perkawinan memiliki hubungan perdata tidak hanya dengan ibu dan keluargany, tetapi juga dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan secara ilmiah dan/atau teknologi serta menurut hukum.”
Putusan ini menjadi tonggak penting yang memperluas pengakuan hukum terhadap anak luar perkawinan hasil perselingkuhan, selama dapat dibuktikan melalui tes DNA yang dapat menunjukkan bukti hubungan biologisnya dengan sang ayah.
b. Hak atas pengakuan dan nafkah
Dengan adanya putusan MK anak dari hubungan perselingkuhan berhak mendapat pengakuan identitas hukum, memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya yang telah dibuktikan, dan mendapatkan nafkah dan perlindungan hukum dari ayah biologisnya. Pengadilan dapat menetapkan status hukum anak melalui permohonan pengakuan atau pengesahan, terutama bila ayah tidak secara sukarela mengakui anak tersebut.
c. Hak waris
Secara Yuridis, hak waris anak luar kawin terhadap ayah biologisnya masih menjadi perdebata. Putusan MK membuka ruang hubungan keperdataan. Tetapi, tidak serta merta mengatur implikasi waris secara eksplisit. Maka, dalam praktiknya, pengakuan hubungan hukum bisa dijadikan dasar menuntut hak waris. Namun, sering kali tetap harus melalui putusan pengadilan.
2. Perspektif Hukum Islam
a. Prinsip nasab dan pernikahan yang sah
Dalam hukum Islam, anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah mendapat nasab daripada ayah biologisnya. Sedangkan, anak yang lahir tanpa perkawinan yang sah, hasil perselingkuhan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologis melainkan dinasabkan hanya kepada ibunya.
Dalam Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim, Anak itu (nasabnya) kepada pemilik ranjang (suami), dan bagi pezina tidak ada hak apa-apa terhadap anak tersebut.
Perihal nasab ini juga disebutkan dalam Q.S Al Ahzab : 5 yang berbunyi :
“panggillah mereka (anak angkat) dengan nama bapak mereka; itulah yang adil disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapaj mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu jika khilaf tentang itu, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Allah tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandung.”
Dengan demikian secara fikih, anak hasil perselingkuhan tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya, tidak memiliki hak waris dari ayah biologisnya dan nafkah menjadi tanggung jawab ibu, bukan ayah biologisnya.
b. Perlindungan hak anak
Meskipun anak luar perkawinan tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya, Islam tetap memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak anak, yaitu hak untuk hidup tanpa harus mendapatkan diskriminasi, hak pengasuhan dan Pendidikan, serta hak mendapatkan perlakuan yang baik dan layak. Dengan demikian, walaupun nasabnya bukan kepada ayah biologisnya, namun Islam tetap menjaga anak luar perkawinan sebagai manusia yang mulia.
3. Perbedaan dan Titik Temu Antara Hukum Perdata dan Hukum Islam
Aspek
Hukum Perdata (Pasca Putusan MK 46/2010)
Hukum Islam
Status Hukum Anak
Diakui jika terbukti hubungan biologis
Diakui hanya sebagai anak ibu
Nasab kepada Ayah
Bisa jika dibuktikan secara ilmiah
Tidak diakui (anak zina)
Nafkah
Menjadi tanggung jawab ayah biologis
Tidak menjadi kewajiban ayah biologis
Waris
Belum jelas, bisa diperjuangkan
Tidak mewarisi dari ayah biologis
Pengakuan Negara
Melalui pengadilan atau akta pengakuan
Tidak relevan dalam konsep nasab
4. Analisis Kritis
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 adalah Langkah progresif dalam menjamin hak anak tanpa diskriminasi. Namun, dari perspektif hukum Islam, pengakuan nasab anak dalam hubungan perselingkuhan tetap problematic. Disinilah terjadi ketegangan antara pendekatan normatif agama dan pendekatan Hak Asasi Manusia dalam hukum positif.
Meski demikian, jalan tengah yang dapat diupayakan adalah:
a. Melakukan pengakuan tanggung jawab tanpa menyebutkan nasab
b. Mengedepankan aspek perlindungan anak, bukan aspek status perkawinan orang tua
c. Mengembangkan hukum Islam kontekstual yang tetap sesuai ketentuan tujuan syariat yaitu menjaga nasab sekaligus melindungi hak anak.
Kesimpulan
Anak luar perkawinan dari hubungan perselingkuhan secara Hukum Perdata memiliki hak fundamental berdasarkan putusan MK yaitu mendapatkan pengakuan dan perlindungan anak, termasuk hubungan dengan ayah biologisnya yang telah dibuktikan melalui Tes DNA. Namun, ditinjau berdasarkan Hukum Islam, prinsip nasab sifatnya ketat sesuai aturan dalam Al-Qur’an dan Hadist, yang mana anak luar perkawinan hasil perselingkuhan tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya dan tidak pula mendapat hak waris atas ayah biologisnya. VB-PT.