TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-
A. Pendahuluan
Seiring dengan berkembangnya zaman, kemajuan teknologi semakin pesat dan mudah diakses oleh semua orang. Kemajuan teknologi ini tentu memiliki dampak besar terhadap banyak aspek kehidupan masyarakat, terutama dalam memandang dan mengawal berbagai kebijakan pemerintah saat ini. Salah satu alasan utama desakan revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran karena pemerintah yang dalam hal ini memeberikan wewenang teerhadao KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), ingin memperluas jangkauan regulasi, terutama ke media digital yang sekarang udah jauh lebih dominan. Dalam draf revisi UU Penyiaran yang sempat ramai dibahas, ada indikasi bahwa KPI bisa memperluas pengawasan ke media digital, bahkan konten kreator di YouTube, TikTok, dan sejenisnya.
Rancangan RUU (Revisi Undang-Undang) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran saat ini telah menjadi pembahasan di Komisi I DPR RI sejak tahun 2024. Pada 19 Maret 2024, Komisi I DPR RI mengadakan diskusi bertajuk “Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi” menekankan pada perlunya pembaruan regulasi penyiaran untuk mengakomodasi perkembangan teknologi digital dan media sosial.
Dalam draft revisi tersebut terdapat beberapa ketentuan yang kontroversial, seperti: larangan penayangan ekslusif jurnalisme investigatif, pelarangan konten penyiaran LGBT, dan penyelesaian sengketa penyiaran oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) bukan lagi dalam ranah Dewan Pers. Pada 30 Oktober 2024, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Ahmad Heryawan, menyatakan bahwa revisi tersebut menjadi prioritas dan ditargetkan selesai dalam periode 2024-2029. Revisi ini memicu protes keras dari insan Pers, organisasi masyarakat sipil, dan penggiat Hak Asasi Manusia karena dinilai akan merusak prinsip kebebasan Pers dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
B. Dasar Hukum Undang-Undang Penyiaran
Terdapat beberapa dasar hukum Undang-Undang Penyiaran yang berlaku saat ini di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
C. Hukum yang dilanggar dalam rencana revisi Undang-Undang Penyiaran
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU ini ada sebagai landasan utama yang mengatur kebebasan Pers di Indonesia. Dalam draft RUU (Rancangan Undang-Undang) Pasal 50B Ayat (2) Huruf C: Melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi, bertentangan dengan prinsip dari UU Nomor 40 Tahun 1999 bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.
Hal ini memicu protes keras dari berbagai kalangan karena larangan terhadap penanyangan investigasi Pers berperan penting dalam prinsip hukum, dimana masyarakat memiliki hak untuk mengawasi proses dan berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, hal ini dapat tercapai melalui media informasi salah satunya adalah penanyangan berita investigasi oleh media.
Hal ini juga berlaku pada Pasal 8A huruf (q) dalam draf Revisi UU Penyiaran, dinyatakan bahwa KPI memiliki kewenangan untuk menangani sengketa jurnalistik yang berkaitan dengan penyiaran. Ketentuan ini dinilai tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), yang mengatur bahwa penyelesaian sengketa pers merupakan wewenang Dewan Pers.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kebebasan pers merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan demokrasi yang sehat. Di Indonesia, kebebasan ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tepatnya dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F, yang memberi hak kepada setiap warga negara untuk bebas menyatakan pendapat serta memperoleh informasi yang benar. Selain itu, Indonesia juga terikat oleh berbagai instrumen internasional yang mengatur perlindungan hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi.
Hal ini tentu bertentangan dengan RUU pasal 28A ayat (1) huruf d, yang mengatur bahwa lembaga penyiaran berlangganan (LPB) tidak diperbolehkan menayangkan konten yang menggambarkan perilaku LGBT. Apabila ketentuan ini dilanggar, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang memberikan sanksi administratif, seperti peringatan tertulis, denda, penghentian sementara siaran, hingga penghentian tayangan yang dianggap melanggar.
D. Kesimpulan
Pada Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas saat ini tentunya memicu protes keras dari kalangan Pers, hal ini karena banyaknya kebijakan yang dianggap tumpang tindih dengan beberapa prinsip dasar Undang-Undang Pers yang ada dan berlaku saat ini. Pers ada sebagai bentuk penyebaran informasi kepada masyarakat dengan kebebasan berekspresi tanpa melanggar unsur-unsur yang sudah ditetapkan oleh pemerintah saat ini. Masyarakat memerlukan Pers sebagai bentuk pengawalan terhadap kebijakan serta berita informasi pada berbagai kebijakan atau kasus hukum yang ada. Beberapa point hukum yang ada pada Rencana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 berpotensi menjadi pasal yang mengikat kebebasan dan kebijakan Pers dalam penyebaran berita informasi. Apabila rencana revisi Undang-Undang ini disahkan, maka kemungkinan akan menimbulkan stigma atau pandangan bahwa pemerintah saat ini bersikap anti kritik dan mengikat kebebasan Dewan Pers dengan mendukung KPI yang selama ini memiliki pandangan buruk dari masyarakat.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sering kali mendapat sorotan negatif dari masyarakat karena sejumlah kebijakan yang dinilai tidak relevan dan terlalu ketat. Banyak orang merasa KPI kerap membuat aturan yang tidak sejalan dengan perkembangan zaman, bahkan terkesan membatasi ruang ekspresi kreatif di dunia penyiaran. Beberapa keputusan juga dianggap tidak konsisten dan kurang transparan, yang memperkuat kesan bahwa KPI lebih seperti “polisi moral” ketimbang lembaga pengawas yang progresif.
Salah satu contoh yang sempat ramai diperbincangkan adalah teguran KPI terhadap tayangan kartun “SpongeBob SquarePants” beberapa adegan dalam kartun tersebut dianggap mengandung unsur kekerasan yang tidak layak untuk anak-anak. Namun, banyak masyarakat justru melihat keputusan ini sebagai bentuk kelebihan dalam menyensor, karena tayangan tersebut dinilai ringan dan menghibur. Kritik pun bermunculan karena KPI dianggap lebih sibuk mengurusi hal-hal kecil, sementara tayangan yang lebih bermasalah justru luput dari perhatian.
Stigma semacam ini terus menguat karena KPI juga dinilai kurang melibatkan publik dan masih terlalu fokus pada media televisi konvensional, padahal kini masyarakat lebih banyak mengakses konten dari platform digital seperti YouTube dan TikTok. Meskipun secara resmi media cetak masih berada di bawah kewenangan Dewan Pers, jika revisi UU Penyiaran disahkan dalam bentuk yang ada sekarang, bukan tidak mungkin KPI akan ikut mengatur konten jurnalistik berbasis digital maupun karya para kreator individu. Hal ini tentu dapat mengaburkan batas antara dunia pers, siaran, dan platform media sosial.
E. Rekomendasi
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang dapat diberikan penulis sebagai bahan pertimbangan terhadap Rancangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
1. Evaluasi kritis terhadap pasal pasal kontroversial Pemerintah bersama DPR RI sebaiknya melakukan peninjauan ulang secara menyeluruh terhadap sejumlah ketentuan dalam RUU Penyiaran yang dianggap tidak sejalan dengan Undang-Undang Pers dan konstitusi negara. Pasal-pasal yang berpotensi mengurangi kebebasan jurnalistik serta membatasi hak masyarakat dalam menerima informasi yang utuh perlu direvisi secara substansial.
2. Penghapusan ketentuan yang bersifat diskriminatif ketentuan yang melarang tayangan berisi unsur LGBT, seperti yang tertuang dalam Pasal 28A ayat (1) huruf d, perlu dicabut atau disesuaikan. Hal ini penting agar tidak melanggar prinsip kesetaraan, hak atas informasi, serta kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan terkait hak asasi manusia.
3. Menjaga independensi penyelesaian sengketa Pers dalam kewenangannya untuk penyelesaian konflik atau sengketa jurnalistik harus tetap menjadi domain Dewan Pers. Pemberian wewenang tersebut kepada KPI dikhawatirkan menimbulkan ketidaksesuaian fungsi lembaga serta berpotensi mencederai independensi media.
4. Mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan regulasi undang-undang penyiaran yang baru, seperti: pakar akademisi, pegiat media, organisasi jurnalis, dan LSM. Dengan melibatkan berbagai perspektif, regulasi yang disusun akan lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat luas.
5. Menyesuaikan regulasi dengan kemajuan teknologi tanpa mengabaikan hak konstitusional. Perubahan regulasi penyiaran harus mampu merespons perkembangan teknologi komunikasi yang cepat. Namun, adaptasi ini tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar seperti kebebasan informasi dan berekspresi yang merupakan pilar utama demokrasi.
Menghindari formulasi pasal yang bersifat ambigu dan tumpang tindih.
VB-Putra Trisna.